“Membunuh Hukum”

Dimuat dalam Harian Kompas, tanggal 26 Juni 2011

Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, MA

“Mereka diinginkan, karena beragama sama, rajin bekerja, patuh, dan mau dibayar murah. Namun dalam waktu bersamaan mereka ditempatkan sebagai orang berbeda, ‘liyan’, diberi stereotipi sebagai perempuan murahan, amoral, terbelakang, dan bodoh”. Kutipan ini menggambarkan bagaimana pekerja rumah tangga (PRT) migran diposisikan dalam bangunan identitas, dan struktur lapisan sosial dan budaya yang hierarkhis di negara Arab. Situasi inilah yang diteguhkan oleh keterbatasan hukum yang melindungi, dan menjadikan mereka rentan sebagai korban hukum.

“Tragedi Ruyati” dapat dijelaskan dari struktur sosio-kultural dan hukum yang menempatkan PRT Indonesia di dalamnya. Kasus ini jauh lebih kompleks daripada sekedar persoalan “hukum pidana” atau “prosedur konsuler”, seperti yang dipikirkan para elite. Apabila hukum dipahami sebatas prosedur, formalitas, dijauhkan dari realitas masyarakat, maka tidak akan didapat penjelasan yang mencerahkan. Hukum bukan teks mati, ia bersemai dalam ketegangan, perebutan kepentingan dan sengketa. Oleh karenanya keadilan hukum sering tidak identik dengan keadilan substantif (sosial). Keadilan para penegak hukum sering tidak sinkron dengan keadilan masyarakat.

Sejak dari proses perumusan sampai penegakannya, hukum sarat dengan perhitungan politik, ekonomi, sosial dan kultural. Padahal hukum sangat berkuasa menentukan hidup kita, siapakah kita: orang baik atau kriminal. Memandang hukum secara “legistis” saja, akan meniadakan produksi pengetahuan tentang hukum untuk tujuan kemanusiaan. Secara kritikal, hukum adalah alat untuk mendefinisikan kekuasaan kelompok yang lebih kuat dan mengorbankan mereka yang lebih lemah. Buktinya, ada begitu banyak PRT dihukum, tetapi jarang terdengar ada majikan yang dihukum karena melakukan pelanggaran hak dan kekerasan terhadap PRT.

Tulisan ini membahas isu akses keadilan bagi PRT Indonesia di salah satu negara Teluk, yaitu Uni Arab Emirat (UEA), sebagai hasil penelitian. Fokus penelitian adalah problem hukum, akses kepada pengetahuan hukum (untuk melindungi diri), identitas hukum, dan bantuan hukum.

Siapa PRT ?
Bangsa kita menjadi PRT di UAE bersama bangsa Bangladesh dan Ethiopia, dan semakin sedikit Filipino. Pemerintah India sudah sejak enam tahun lalu melarang warganya menjadi PRT. Mereka menjadi bagian dari gelombang migrasi masif, memenuhi kebutuhan negara Arab yang menikmati kemewahan modernisasi dan pasar global. Jutaan rumah tangga Arab mempekerjakan mereka untuk menggantikan peran tradisional yang sudah berabad dijalankan oleh para perempuannya. Ada situasi bikulturalisme, di satu sisi bangsa Arab memasuki abad modern, namun tidak ingin kehilangan identitas kulturalnya. Mereka tetap mengaktifkan struktur sosio-kultural yang membedakan orang di tempat masing-masing berdasarkan ras, etnik, kelas, dan gender. PRT berada dalam struktur yang paling rendah. Terlebih, mereka juga dilihat sebagai warga bangsa ”miskin”. Terbukti dari kekerasan verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan, yang dialami PRT di shelter KBRI.

Bisnis migrasi telah memberi keuntungan bagi begitu banyak pihak sejak dari proses rekrutmen, penempatan sampai kepulangan. Umumnya keinginan pergi bermigrasi bukanlah diri sendiri, melainkan rasa tanggungjawab untuk menempatkan diri sebagai survivor kemiskinan keluarga. Sponsor kampung, diantaranya tokoh desa dan agama, adalah orang pertama yang menjanjikan “surga” di Tanah Terjanji. Tujuan bermigrasi ke Arab diwujudkan oleh agensi tenaga kerja yang kebanyakan beridentitas keturunan Arab. Di Condet, Jakarta Timur, dapat dijumpai semacam “One Stop Trading Center”, bisnis migrasi bertujuan khusus ke negara Arab, lengkap dengan pusat kesehatan, balai latihan kerja, biro perjalanan, pengiriman barang, dan berbagai jasa lain. Sampai di UAE, ada ratusan agensi tenaga kerja menjalankan bisnis migrasi. Semuanya menjadikan perempuan sebagai komoditas.

Problema Hukum
Sumber utama permasalahan adalah, tidak adanya hukum yang mengatur soal PRT baik di Indonesia, maupun UAE. Mengapa? Karena secara sosial, pekerjaan ini dianggap rendah, kotor, berbahaya, dan tidak layak disetarakan dengan pekerjaan formal di pasar kerja. Satu-satunya acuan hukum hanyalah UU Keimigrasian. Hukum yang berlaku adalah regulasi di rumah majikan, dan disitulah mewujud relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan gender. Monitoring perwakilan negara pengirim hanya sampai di depan pintu rumah majikan. Terlebih ketika negara pengirim PRT gagal menempatkan dirinya secara politik setara dengan negara penerima, maka yang potensial menjadi korban adalah PRT.

Ketiadaan hukum juga menyebabkan persoalan PRT ditempatkan di kantor Imigrasi di bawah Kementrian Dalam Negeri, bukan Kementrian Perburuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PRT dianggap bukan persoalan penting.

Terdapat kontrak ganda yang memunculkan ketidakpastian hukum. Ada kontrak yang ditandatangani sebelum PRT berangkat, mengacu pada UU no39/2004. Namun sesampainya di UAE, ada lagi kontrak yang harus ditandatangani oleh PRT dan majikan di depan otoritas imigrasi, ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Bersama itu, test kesehatan dilakukan sekali lagi. Tak sampai di situ, ada lagi kontrak yang ditandatangani ketika majikan mengambil calon PRTnya. Kontrak ini sama sekali tidak melibatkan PRT, dan mengatur hak majikan untuk mendapat ganti PRT baru selama masa percobaan tiga bulan. Besarnya gaji ditulis secara berbeda di ketiga kontrak. Namun yang justru efektif digunakan adalah gaji dalam kontrak antara majikan dan agensi. Di negara itu UMR adalah 1300 dirham, namun PRT kita umumnya mendapat sekitar 600 dhs, dan sudah 20 tahun tidak pernah naik !

Kontrak resmi ditetapkan pemerintah UAE sejak tahun 2007, ketika warga Emirat meresahkan banyaknya PRT yang lari sebelum masa percobaan tiga bulan berakhir. Juga karena banyaknya kasus pelanggaran hak dan kekerasan terhadap PRT. Kontrak itu sebenarnya berisi hal-hal yang menguntungkan baik PRT maupun majikan, tetapi sekaligus menutup peluang perwakilan negara pengirim untuk turut campur mengurusi warganya, karena semuanya menjadi urusan kantor Imigrasi. Meskipun dalam kenyataannya, perwakilan negara-negara tetap menyediakan shelter dan menyelesaikan sengketa bagi para warganya, ketika kantor imigrasi UAE ternyata kewalahan.

Dari sekitar 70 PRT yang lari dari rumah majikan atau agensinya ke shelter KBRI di Abu Dhabi, atau sekitar 100 PRT di KJRI Dubai, hampir tidak ada yang memilki pengetahuan hukum. Pada umumnya mereka lulusan SD atau tidak tamat, diantaranya ada yang buta huruf. Banyak yang tidak paham isi kontrak, terutama kontrak di UAE, karena ditulis dalam bahasa asing. Mereka lari karena tidak tahan mengalami kekerasan (fisik, verbal, seksual) –kekerasan seksual juga dilakukan oleh majikan perempuan–; beban pekerjaan yang terlalu berat; tidak cukup tidur — terutama bulan Ramadhan; tidak cukup makan, dan tidak boleh sholat –karena majikan tidak ingin kehilangan waktu kerja.

Tidak seorangpun yang memegang identitas hukum berupa paspor. Di sini mengemuka adanya pemalsuan nama, umur, alamat. Inilah awal dari tragedi, dan para pihak pemalsu data adalah orang yang paling bertanggungjawab.

Bagaimana dengan PRT yang membutuhkan bantuan hukum? Dalam negara demokrasi, bantuan hukum adalah hak asasi. Ada sekitar 40 PRT kita berada dalam penjara di UAE. Terbanyak adalah karena tuduhan kasus a-susila, dan selebihnya adalah tuduhan pembunuhan bayi, penculikan anak, membakar rumah majikan dan pencurian. Tuduhan a-susila diantaranya kedapatan memiliki hubungan dengan laki-laki, termasuk bermesraan melalui telpon seluler. Padahal sangat sulit menghindar dari laki-laki, karena banyak majikan mempekerjakan puluhan PRT dan supir dari berbagai bangsa di rumah mereka. “Memiliki hubungan” dengan lawan jenis, tidak dapat ditolerir dalam budaya Arab, yang seharusnya menjadi pengetahuan sebelum mereka berangkat.

Dana untuk bantuan hukum termasuk dalam asuransi yang sudah mereka bayar preminya sebelum berangkat. Namun KBRI kita kesulitan membayar pengacara lokal yang sangat mahal. Baru setahun ini KBRI berhasil mengontrak pengacara untuk menangani 15 kasus dalam setahun. Ironis, terdapat akumulasi uang asuransi yang sangat besar karena sukarnya prosedur klaim, tetapi di pihak lain, negara kekurangan uang untuk melindungi warganya.

Hukum Pro-Rakyat
Sudah saatnya melihat kemiskinan dan mengupayakan pengentasannya dari perspektif hukum. Kemiskinan adalah ketiadaan akses kepada keadilan bagi si miskin, akses kepada hukum yang pro-rakyat, pengetahuan hukum, identitas hukum dan bantuan hukum. Membatasi hukum secara legistis, akan menutup kesempatan memahami bersemainya hukum dalam sendi-sendi kehidupan rakyat. Secara keilmuan juga berarti membunuh hukum sebagai produksi pengetahuan yang kaya.

Share Post Ini :

Twitter
Telegram
WhatsApp

Artikel Dan Berita Terkait

Gandeng Empat Kampus, FH UB Perluas Jejaring Kajian Sosio-legal di Indonesia

Oleh: Agus Sahbani Bertempat di auditorium Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang pada 10...

Memahami Ulang Ragam Pendekatan Riset Hukum

Oleh: Normand Edwin Elnizar Secara garis besar, pendekatan riset hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doctrinal dan...

LOG IN

Belum Join Member? Klik tombol dibawah