Oleh: Normand Edwin Elnizar
Secara garis besar, pendekatan riset hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doctrinal dan non-doctrinal. Pendekatan yang kedua itu biasa dikenal dengan sosio-legal. “Di Indonesia biasa ribut soal pendekatan mana yang sah, tapi tidak mulai dari rumusan masalah. Dua pendekatan itu valid digunakan tergantung kebutuhan,” kata Fachrizal Afandi, Ketua Asosiasi Studi Sosio Legal Indonesia (ASSLESI), kepada Hukumonline, Selasa (14/6/2022). Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menegaskan dua kategori pendekatan riset hukum itu tidak saling menegasikan.
“Kalau hanya ingin melihat keharmonisan satu regulasi dengan regulasi lain, bisa saja cukup pendekatan yang bersifat doctrinal. Namun, kalau mau melihat bagaimana implementasinya di masyarakat, bagaimana penafsirannya, harus dengan sosio-legal,” kata dia. Ia mengingatkan pendekatan riset beserta metodenya adalah alat mengumpulkan data. Berkaitan dengan riset hukum, kedua pendekatan sama-sama bertumpu pada analisis normatif berbasis doktrin hukum yang berlaku.
“Metode sosio-legal bisa dikatakan kerja dua kali. Pasti juga melakukan analisis doktrin secara normatif, lalu ditambahkan dengan pendekatan sosio-nya sesuai kebutuhan rumusan masalah,” kata Fachrizal lagi.
Penjelasan ini dibenarkan oleh koleganya sesama dosen. Herlambang Perdana Wiratraman menjelaskan studi hukum di Indonesia sudah lama mengenal dikotomi pendekatan doctrinal dan sosio-legal dengan istilah yang berbeda. “Pembedaannya sudah lama dikenal walaupun penjelasannya juga tidak tepat,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini saat dihubungi Hukumonline.
Istilah yang biasa dipakai adalah penelitian yuridis normatif untuk pendekatan doctrinal dan yuridis empiris untuk pendekatan sosio-legal. “Sayangnya istilah dan penjelasan yuridis empiris yang beredar dalam pendidikan hukum mereduksi pendekatan sosio-legal,” kata Herlambang. Ia menilai dikotomi penelitian bersifat doctrinal dan non-doctrinal juga sering mengundang salah paham. Seolah-olah penelitian sosio-legal/non-doctrinal tidak bersandar pada analisis normatif serta doktrin hukum yang diterima.
Merujuk literatur karya Banakar dan Travers, Herlambang menyebut pendekatan sosio-legal merupakan pendekatan interdisipliner (beberapa disiplin ilmu). Berbeda dengan pendekatan doctrinal yang monodisiplin (satu disiplin ilmu). “Penelitian dengan pendekatan sosio-legal justru juga melakukan analisis doctrinal, tapi diperkaya dengan analisis menggunakan metode disiplin ilmu lain yang relevan terhadap data. Kata ‘sosio’ di situ merujuk penggunaan segala metode disiplin ilmu apa saja yang relevan,” lanjutnya.
Ia menyimpulkan sosio-legal sebenarnya “konsep payung” yang memayungi segala pendekatan terhadap hukum, proses hukum, maupun sistem hukum. Oleh karena itu, Herlambang tidak setuju jika istilah yuridis empiris dianggap sinonim dari sosio-legal.
“Sosio-legal tidak sebatas soal efektivitas hukum seperti yang lazim dijelaskan soal yuridis empiris. Penggunaan ilmu teknik atau ilmu kedokteran untuk riset sosio-legal juga bisa,” katanya.
Penjelasan Herlambang dibenarkan oleh Prof Sulistyowati Irianto. Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia ini mengingatkan perincian ilmu hukum yang biasa diajarkan di kelas Pengantar Ilmu Hukum. “Penelitian sosio-legal itu ada pada wilayah ilmu hukum tentang kenyataan hukum. Berdampingan dengan ilmu hukum tentang kaidah hukum,” kata dosen yang biasa disapa Sulis ini. Ia menegaskan penelitian sosio-legal adalah penelitian hukum yang mempertajam analisis terhadap masalah hukum.
Sulis memberi contoh para advokat adalah profesi yang paling sering menggunakan pendekatan sosio-legal saat berargumentasi saat menangani perkara kliennya. Hanya saja, praktik itu biasanya dilakukan tanpa sadar. “(Terutama) Saat advokat menggunakan pendapat ahli dari berbagai bidang ilmu non-hukum untuk mendukung argumentasi hukum yang dibuatnya, itu jelas pendekatan sosio-legal,” kata Sulis.
Lebih dari Dikotomi
Herlambang melanjutkan dikotomi pendekatan riset hukum juga tidak mutlak. Ia menjelaskan peta dan jenis penelitian hukum yang disusun Kees Waldijk, dosennya saat menuntaskan studi doktor hukum di Universitas Leiden. Setidaknya ada sembilan kemungkinan karakter penelitian hukum.
“Dengan matriks yang demikian, bisa diperoleh kesimpulan bahwa jenis penelitian hukum itu begitu beragam, tak sebatas dikotomis penelitian doktrinal dan non-doktrinal, atau juga yuridis-normatif dan yuridis empiris,” ujarnya. Ia mengingatkan ilmu pengetahuan hukum terus berkembang. Pendekatan teks normatif dan monodisiplin perlu dipertajam pendekatan interdisipliner. Itu sebabnya, konsep payung bernama sosio-legal harus dipahami dengan benar alih-alih (bila tidak bisa) diberi status “anak haram” dalam kajian ilmu hukum di Indonesia.