Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara

Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara:

Diantara Inkonsistensi dan Stigmatisasi

Oleh Edy Ikhsan

  1. Latar: Balas Dendam dan Penguatan Ekonomi Rakyat

Nasionalisasi 1958 merupakan sebuah keputusan sejarah nasional dalam politik Indonesia. Keputusan tersebut diambil di bawah sebuah kondisi politik internal yang tidak stabil dan tatkala ketegangan dengan pemerintah Belanda berada dalam klimaksnya. “Based on the moral strength of nationalism and guided by a government under  the more or less  direct personal blessing of Presiden Soekarno as te real element of political power, the nationalization turned out to be a political victory in the contest with the dutch victory. Furthermore it made  an effective groundwork for the start of implementation of the concept of guided economy[1]

Kritik, kecaman, perlawanan terhadap tindakan nasionalisasi datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, tindakan ini dilihat sebagai sebuah manuver politik pemerintah Soekarno dari situasi keputusasaan dalam meningkatkan ekonomi Indonesia, sementara dari luar, utamanya dari Pemerintahan/ Pengusaha Belanda melakukan perlawanan dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno adalah bertentangan dengan hukum, terutama dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Sejumlah negara memberikan dukungan kepada Belanda, namun dalam seluruh proses hukum yang terjadi, tuntutan Belanda mengalami kegagalan. “Politically  the prospect of nationalization might be said to be real contribution to stabilization.”[2]

Salah satu alasan penting mengapa tindakan nasionalisasi harus dilakukan adalah bahwa pengambil-alihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Dengan 7 pasal yang dituangkan dalam UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No.86 tahun 1958 (undang-undang yang sangat singkat sekali), dan disyahkan pada tanggal 31 Desember 1958, serta berlaku surut (retroaktif) mulai tanggal 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pendangan pemerintah selanjutnya, dikatakan, bahwa nasionalisasi ini pada akahirnya akan bertumpu pada dua tujuan yang saling berhubungan, yakni ekonomi dan keamanan negara. Dengan yang pertama, negara mempunyai peluang untuk meningkatkan ekonomi rakyat melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan konsolidasi menyeluruh asset-asset bangsa. Sementara dengan yang kedua, nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan Republik dari intervensi luar.[3]

Apa yang disebutkan dalam alinea di atas tergambar dari penjelasan H.A Chamid Wijaya salah seorang anggota parlemen dari fraksi Nahdatul Ulama (NU) dalam rapat akhir penyusunan UU Nasionalisasi. Dalam salah satu uraiannya, beliau mengatakan: “Nadat  het Indonesische volk 13 jaar geleden de vrijheid en eigen staat heeft verkregen, kwamen deze idealen naar voren en verlangden zij prioriteit van uitvoering. …Mijnheer de voorzitter, het begin van de maand December 1957 heeft ook zo’n periode betekend, die de wereld voldoende duidelijk heeft gemaakt, dat het Indonesische volk vanaf dat tijdstip nog intensiever  zijn nationaal-economische fundamenten zou oprichten; het verwijderen van van een handicap voor de verwezenlijking van een nationaal economie.[4]

Satu penjelasan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia menyebutkan: “The reasons Indonesia embarked upon these measures were not, however, solely, economic. Psychological factors also played an important role. For centuries Indonesia  had been discriminated against by the colonial power. The people had been deprived of the land which, under adat law, was to be cultivated by the village community, and both men and women had been forced to work for Dutch enterprises under inhuman conditions.”[5] Namun soal tekanan dibawah sisa dominasi kolonial hanyalah satu hal. Kondisi ekonomi yang semakin parah adalah hal lain yang sangat signifikan mendorong tindakan Nasionalisasi ini dilakukan. Menurut sejumlah ahli dalam lapangan ekonomi/keuangan[6] krisis ekonomi telah berlangsung sejak pengambilalihan kekuasaan 1949. “Gedurende  de jaren 1955 en 1956 was de produktie van de cultuurondernemingen geleidelijk gedaald. Voor een del  was dit het gevolg van de toenemende onevenwichtigheid tussen de kostprijzen  en de prijzen op de wereldmarkt. Faktoren die hadden  geleid tot  lagere produktie waren onder meer onvoldoende arbeids reserve en produktiviteit, onwettige occupaties verslechtering van het irrigatiesysteem en de onzekerheid op het gebied van de agrarische wetgeving.[7]

Kekhawatiran Belanda atas hak dan property yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swastanya di Indonesia pasaca kemerdekaan jelas kelihatan dari bagaimana mereka mencoba mekonstruksikan bangunan perlindungan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut di dalam perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Dalam pasal 14 Perjanjian tersebut disebutkan bahwa: “Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.

Namun menurut van de Kerkhof, gagasan pasal 14 itu hanya ilusi belaka dan tidak bisa dijalankan dalam memberikan perlindungan perusahaan Belanda di Indonesia. “The opposition of the Indonesian nasionalists and militant labour unions, illegal occupations of estate lands (“squatting”) and the unwillingness of Dutch authorities to withdraw their troops made implementation of article 14 a slow and frustrating process.”  Empat bulan setelah Perjanjian Linggarjati disepakati, Belanda melakukan agresi pertamanya (Juli 1947), dengan memakai sandi “operation product”, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan perusahaan-  perkebunan dan ladang-ladang minyak potensial di Jawa dan Sumatra. Operasi tersebut berhasil “membebaskan”  sekitar 1000 perkebunan dan pabrik-pabrik, namun kebanyakan dari perusahaan tersebut rusak dan hancur.[8]

Kekisruhan di atas sejumlah kegagalan dalam berbagai perundingan antara Indonesia dan Belanda, utamanya, tentang kedaulatan masing-masing negara di wilayah bekas Hindia Belanda, mencapai klimaksnya dalam urusan Irian Barat dan kegagalan mengimplementasikan Perjanjian Meja Bundar. Di penghujung tahun 1957, Soekarno mengambil sikap yang tegas untuk mengambil alih seluruh perusahaan Belanda di Indonesia sebagai reaksi terhadap sikap Belanda terhadap wilayah paling timur dari nusantara. Melalui UU No.13 tahun 1956, Indonesia membatalkan hubungannya dengan Belanda  berdasarkan Perjanjian Meja Bundar tersebut.[9]

Di Sumatera Utara, melalui Pengumuman Penguasa Militer No PM/Peng 0010/12/57 pengambilalihan aset perusahaan Belanda dimulai. Pengumuman itu singkatnya berbunyi: (1) Perjuangan Pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia, di bawah pimpinan Pemerintah Republik Indonesia; (2) Tindakan dalam rangka pembebasan Irian Barat harus senantiasa dilaksanakan dengan tertib dan teratur.. dst (3) Penguasaan (pengoperan kekuasaan) atas perusahaan-perusahaan dll. milik Belanda hanya dilakukan berdasarkan keputusan Pemerintah atau Penguasa Militer dengan cara yang ditentukan; (4) ….Tindakan-tindakan liar dan di luar hukum tidak luput dari pemeriksaan dan tuntutan menurut hukum yang berlaku di Negara kita; (5) Tindakan sendiri-sendiri terhadap perusahaan Belanda oleh orang-orang atau golongan tidak dibenarkan.. (6) dst…[10]

Kehati-hatian dalam pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda ini tercermin dari satu amanat yang dikeluarkan Panglima T&T-I/Bukit Barisan yang intinya berbunyi:” Perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi sosial, yang bagi kehidupan rakyat dan negara sangat penting artinya. Oleh sebab itu rakyat dan negara sangat berkepentingan akan kelanjutan dan kesempurnaan jalannya perusahaan-perusahaan tersebut. Lepas dari persoalan siapa yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut, adalah  kewajiban Pemerintah, demi keselamatan Rakyat menjamin lancarnya  perjalanan perusahaan-perusahaan tersebut. Harus dicegah dengan sekuat tenaga, perbuatan-perbuatan merusak atau mengganggu perjalanan perusahaan.” Sekitar satu tahun setelah tindakan nyata di lapangan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia tersebut, barulah disahkan UU No.86 tahun 1958 seperti yang disebutkan dalam beberap alinea terdahulu.

  1. Undang-Undang Nasionalisasi: Kecaman dan Pembelaan

Pasal 1 UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 merupakan jantung dari apa yang dimaui oleh negara dalam “balas dendam politik” terhadap Belanda. Pasal 1-nya berbunyi: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan  dinyatakan menjadi milik yang penuh  dan bebas Negara Republik Indonesia.”  Secara tegas juga, UU ini menyatakan bahwa Onteigeningsordonantie (Stb.1920. No.574). Ordonansi Pencabutan Hak, tidak berlaku dalam konteks nasionalisasi ini. Ordonansi ini memberikan jaminan bahwa tiap orang tidak boleh dicabut atau diambil kekayaan, milik atau haknya tanpa proses hukum di depan pengadilan. Menurut Negara, Ordonansi ini hanya berlaku untuk urusan-urusan pribadi (individual  expropiriations), sementara UU Nasionalisasi ini mempunya sifatnya yang umum (general characters). Alasan lainnya adalah bahwa Ordonansi Pencabutan Hak dibentuk dalam sebuah sistem hukum yang berbasis pada supremasi hak-hak individual, sementara UU Nasionalisasi dikembangkan dalam sebuah sistem hukum yang berorientasi pada fungsi sosial dari kepemilikan privat (individu).

Untuk melaksanakan UU ini, Pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah Peraturan Pemerintah. Lima  dari sejumlah Peraturan Pemerintah yang terkait dengan pembahasan ini adalah Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan  Belanda, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda, Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dengan Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian[11]

Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda sekurang-kurangnya mengatur dua hal penting. Yang pertama, tentang Sifat dan isi Perusahaan Belanda yang dinasionalisasi[12] dan Badan/Panitia Penampung Perusahaan, Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Badan Penetapan Ganti Kerugian (pasal 4 s/d pasal 6). Badan/Panitia Penampung Perusahaan yang dimaksud adalah meneruskan Badan yang sudah dibentuk berdasarkan  Peraturan Pemerintah No.23 tahun 1958. Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda akan dibentuk tersendiri untuk menentukan kesegaragaman dalam pelaksanan nasionalisasi perusahaan Belanda. Badan Penetapan Ganti Kerugian sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Wakil Kementrian Kehakiman sebagai Ketua, b. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Wakil Ketua dan c. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Anggota.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 berbunyi:  (ayat 1) “Perusahaan-perusahaan milik  Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi menurut pasal 1 Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda  (UU No.86/1958) adalah: a. Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda dan bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. b. Perusahaan milik sesuatu Badan Hukum yang seluruhnya atau sebagian modal persoraannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warganegara Belanda dan Badan Hukum itu bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. c. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda yang bertempat kediaman di luar wilayah Republik Indonesia. d. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan milik sesuatu Badan Hukum bertempat-kedudukan dalam wilayah Kerajaan Belanda.

Sanusi memerinci pasal di atas dengan mengatakan: “A careful examination of this  article suggests that the categories are based on three criteria: the seat of the enterprises, the ownership,  and the place of domicile of the owner. It is clearly stated that the seat of the enterprises should be in Indonesia. The second criterion is  ownership which is defines as meaning that the enterprises in question should be owned by the Dutch citizen or a Dutch juridical person (Rechtspersoon). The third criterion is the domicile of the owner, it makes no difference they reside in Indonesia or in the Netherlands Kingdom, or anywhere else.

Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, disingkat “Banas”. Tugas penting yang diemban oleh Banas adalah menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dengan menentukan garis kebijaksanaan dan mengawasi Badan-Badan Penampung, menentukan perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I (Pemerintah Provinsi), menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat pemberlakuan UU Nasionalisasi dan pendelegasian penyelesaian persoalan-persoalan dimaksud kepada Pengurus Harian.[13]

Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda menyebutkan adanya 38 perkebunan tembakau yang dinasionalisasi, dan 22 diantaranya adalah perkebunan tembakau yang berada di Sumatera Utara. Dalam dasar pertimbangan Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa perusahaan pertanian/perkebunan tembakau adalah merupakan cabang produksi yang penting

bagi masyarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Keduapuluh dua perkebunan tembakau dimaksud adalah sebagai berikut:

No.Nama PerkebunanLokasiPemilik
1.Bandar KlippaDeli/SerdangNV Vereenigde Deli Mij
2.Bulu TjinaDeli/SerdangIdem
3.HelvetiaDeli/SerdangIdem
4.Klambir LimaDeli/SerdangIdem
5.KloempangDeli/SerdangIdem
6.Kwala BegomitLangkatIdem
7.Kwala BingeiLangkatIdem
8.MariendalDeli/SerdangIdem
9.Medan EstateDeli/SerdangIdem
10.Padang BrahrangLangkatIdem
11.Rotterdam ABDeli/SerdangIdem
12.SaentisDeli/SerdangIdem
13.SampaliDeli/SerdangIdem
14.TandemDeli/SerdangIdem
15.Tandem IlirDeli/SerdangIdem
16.Tandjoeng DjatiLangkatIdem
17.Timbang LangkatLangkatNV. Sinembah Mij.
18.Batang KwisDeli/serdang`Idem
19.Kwala NamoeDeli/SerdangIdem
20.Pagar MarbauDeli/SerdangIdem
21.PatoembahDeli/SerdangIdem
22.Tanjong MorawaDeli/SerdangIdem

UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 bukan tidak mendapatkan kecaman dan tantangan yang hebat dari sisi juridis. Secara material, UU ini setidaknya mengandung kecacatan dalam beberapa hal: pertama, walaupun berulang kali dikatakan dalam UU No.86 tahun 1958 bahwa tindakan Nasionaliasi konsisten dengan pembatalan hubungan Indonesia – Belanda berdasarkan perjanjian Konprensi Meja Bundar (KMB) cq. UU  No.13 Tahun 1956, namun jika dikonfrontir dengan pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 yang berbunyi : “Kepentingan bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-undangan  yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. Hak, konsesi, izin  dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara. Perlakuan  sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat didasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apapun.”, tidak menunjukkan suatu sikap konsistensi. Dengan kata lain, pasal 7 tersebut masih  mewajibkan negara untuk mengindahkan hak-hak yang dimiliki perusahaan Belanda walaupun dengan catatan tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara.  Selain itu sebenarnya dengan UU No.13 tahun 1956 saja, Belanda sudah tidak mendapatkan hak privelege yang membedakan mereka dengan warganegara atau perusahaan asing lainnya seperti yang selama ini mereka dapatkan.

Kedua, Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia jelas untuk melakukan kampanye pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Kampanye ini dilakukan dengan cara-cara bagaimana kepemilikan privat tersebut diambil secara “paksa” untuk dijadikan milik negara. Indonesia juga menolak untuk mengajukan sengketa dengan Belanda ini ke depan Mahkamah Internasional. Cara-cara ini dilihat sebagai sesuatu yang diambil secara sepihak dan dengan maksud untuk menghapuskan hak-hak privat orang lain (dalam hal ini individu atau badan hukum Belanda). Dalam konteks ini, Indonesia bisa dikategorikan telah melakukan detournement de pouvoir (penyalah gunaan kekuasaan, abuse of power).

Ketiga, prakteknya, nasionalisasi bermakna penghapusan seluruh hak-hak perdata dari individu dan perusahaan Belanda. Ini berarti bahwa perusahaan, harus merelakan seluruh kekayaan, kantor-kantor, dokumen-dokumen, surat-surat berharga, uang, data-data keuangan dan segala benda-benda yang dimiliki mereka di Indonesia. Semua surat-surat korespondensi diambil dan dibuka oleh pegawai Indonesia yang ditunjuk, tindakan mana bertentangan dengan  pasal 17  UUD Sementara 1950 dan pasal 234 KUH Pidana. Pendek kata mereka kehilangan seluruh hak-hak sebagai pemilik berdasarkan pasal 570 KUH Perdata.[14]

Keempat, Keputusan Menteri Pertama No.485/MP/1959 menyatakan bahwa jika di dalam perusahaan tersebut ada pemilik asing non Belanda, maka kompensasi akan dibayar terlebih dahulu  kepada orang asing bukan berkebangsaan Belanda. Hal ini bertentangan dengan pasal 2 dari UU Nasionalisasi yang secara tersirat menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam pembayaran kompensasi. Selain itu, Nasionalisasi dianggap merupakan pelanggaran (violation) terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, utamanya adalah prinsip-prinsip non dsikriminasi.

Terkait dengan sifat nasionalisasi yang diskriminasi, Henri Rolin, mengatakan bahwa Undang-Undang tersebut secara jelas ilegal dengan alasan bahwa ia hanya menyentuh satu golongan orang dan badan hukum Belanda. Mc Nair dan Verdross menekankan lebih lanjut apa yang dikatan Rolin dengan mengatakan bahwa dikatakan diskriminasi dan ilegal karena ukuran untuk nasionalisasi tersebut  ditujukan hanya pada untuk kelompok asing.[15] Keputusan nasionaliasi yang dianggap diskriminatif tersebut sangat tidak sesuai secara momentum perdamaian dalam hukum Internasional. Selain itu, prinsip non diskriminasi dalam nasionalisasi sudah dianut oleh kebanyakan ahli –ahli teori dan peradilan internasional atau arbitrase.[16] Apalagi dalam isi Konprensi Meja Bundar, diterakan juga soal garansi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Inilah yang menyebabkan menurut sejumlah ahli Hukum Internasional, the nationalization was incompatible with Indonesia’s obligation vis a vis  the Netherlands arising from treaties whic are still in force.[17]

Sejumlah argumentasi juridis di atas dalam realitasnya ternyata tidak dengan serta merta mampu membingkai opini utama atas cara-cara atau tindakan nasionalisasi yang dipakai Indonesia pada saat itu. Ada sejumlah argumentasi yang dipergunakan melawan pikiran, pendapat dan teori yang digunakan. Pertama, Soal nasionalisasi adalah soal penting untuk melepaskan diri secara utuh dari cengkeraman Asing dan ini merupakan sebuah kesadaran bersama yang dimiliki oleh mayoritas rakyat Indonesia. Ia sudah menjadi rechtbewustzijn (Kesadaran Hukum) dari rakyat Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya menjadi sumber bagi filsafat hukum tapi juga bagi hukum positif. Dan sejalan dengan hal tersebut maka, kehadiran UU Nasionalisasi sebagai sebuah perangkat UU resmi yang dihasilkan oleh rezim yang resmi bisa membatalkan produk-produk hukum lain yang lebih rendah atau setara dengannya. Pasal 570 KUHPerdata dan pasal 44[18] dalam KUH Dagang misalnya, dengan berlakunya UU Nasionalisasi, secara normatif, kehilangan kekuatannya. Doktrin Lex Posterior derogat Lex Anteriori berlaku dalam konteks ini.

Kedua, Dalam pendekatan konstitusional, Gugatan yang mengatakan bahwa UU Nasionalisasi itu ilegal adalah tidak beralasan. Malah sebaliknya produk-produk hukum  kolonial-lah yang sebenarnya bertentangan dengan banyak sendi-sendi keadilan sosial rakyat. Ini bisa ditunjukkan melalui misalnya  pasal 570 KUH Perdata yang memberikan hak absolut kepada individu untuk menguasai benda/kekayaan berbasis zakelijke rechten. Sebaliknya UU Nasionalisasi yang beralaskan UUD Sementara 1950 bisa merujuk kepada pasal 26 ayat 3 yang menyatakan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Selain itu UU Nasionaliasi ini juga sudah menyesuaikan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam pasal 27 UUD Sementara 1950 yang berbunyi: Pentjabutan hal milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.” Apabila sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun, baik untuk selama-lamanja maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum; maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang, ketjuali djika ditentukan jang sebaliknja oleh aturan-aturan itu.” Cara menunjukkan langsung pasal-pasal penting dalam konstitusi ini penting untuk memperlihatkan mana yang ilegal dan mana yang tidak dalam kasus ini.

Ketiga, terkait dengan tudingan diskriminasi yang dilancarkan kepada UU Nasionalisasi ini, faktanya tidak seperti apa yang kelihatan muncul di permukaan. Situasi empirisnya menunjukkan bahwa Perusahaan Belanda masih menikmati sebuah posisi ekonomi yang cukup tinggi dibanding modal asing lainnya. Diperkiraan Belanda masih mengontrot 30 sampai dengan 40 persen ekonomi Indonesia.[19] Selain itu, UU Nasionalisasi ini juga bisa berlaku untuk pengusaha asing Non-Belanda, dan itu bisa terlihat dari penyebutan “wholly or partly Dutch-Owned”  (Sepenuhnya atau Sebahagian dimiliki oleh Belanda) dalam UU Nasionaliasi.

Keempat, Ada anggapan yang mengatakan bahwa illegality dari UU Nasionaliasi terletak pada penghentian prematur atas kontrak konsesi yang ada. Secara umum (internasional) diakui bahwa kontrak konsesi menimbulkan hak dan kewajiban yang tidak bisa dicampuradukkan atau diintervensi secara langsung oleh UU Negara, melainkan semestinyalah merujuk kepada aturan-aturan dalam kontrak konsesi (lex contractus), kecuali di dalam kontrak konsesi tersebut dinyatakan lain. Sayang sekali butir-butir tersebut tidak ditemukan dalam UU Nasionalisasi, dan oleh karena itu Indonesia, tidak bisa di bawa ke dalam sidang arbitrase internasional. Argumentasi terakhir dari sisi pemerintah Indonesia ini menunjukkan secara jelas dimana posisi negara saat kontrak konsesi tersebut dibuat. Atau dengan kata lain, mengapa klausule dalam alinea di atas tidak tercantum dalam kontrak konsesi. Hal tersebut seluruhnya  dikarenakan negara (Indonesia) memang tidak atau bukan dari contracting partners dalam kontrak konsesi tersebut, melainkan dalam kasus kontrak konsesi perkebunan adalah Kesultanan dan Perusahaan Asing. Ini satu sisi yang tidak banyak menjadi tinjauan dari scholars yang menulis tentang Nasionalisasi 1957/1958.

  1. Kasus Bremen: Anasir Hukum Adat dalam Peradilan Asing

Gugatan yang dilakukan oleh Vereningde Deli Mij dan Senembah Mij terhadap Pemerintah Indonesia, dipicu oleh pemindahan pasar lelang tembakau dari Belanda (Amsterdam dan Rotterdam) ke Jerman (Bremen), pembentukan German-Indonesian Tobacco Trading Company of Bremen dan masuknya 5000 bal tembakau pertama ke pelabuhan Bremen, hasil panen tahun 1958. Gugatan ini adalah titik kulminasi setelah sejumlah kejadian-kejadian pasca nasionalisasi, antara lain: Baik Deli Mij maupun Senembah Mij tidak lagi mau mengakui perjanjian yang ada dengan pemerintah Indonesia terkait ekspor tembakau dengan alasan mereka tidak terikat lagi dengan perjanjian yang ada pasca nasionalisasi, Kedua perusahaan menggugat Cabang Bank Indonesia di Amsterdam dan menolak untuk membayar semua hutang-hutang mereka, yang ditaksir mencapai angka 80.000.000 (Delapan puluh Juta) Gulden (H.Fls, Holland Florijns).

Dasar hukum para penggugat untuk memajukan tuntutan ini ialah bahwa mereka ini menganggap diri mereka sebagai eigenaren yang sah dari tembakau sengketa. Tembakau ini adalah hasil daripada tanah-tanah  perkebunan mereka di Sumatera. Mereka mempunyai  hak-hak konsesi perkebunan (landbouwconcessie) atas tanah bersangkutan.  Hak-hak ini menurut pendirian para penggugat adalah hak-hak yang bersifat kebendaan (zakelijken aard). Walau seorang lain telah menanam tembakau di atasnya dan kemudian telah menggarapnya, tembakau ini tetap menjadi hak eigendom dari para penggugat.[20]

Ada tiga tuntutan utama dari pihak Deli dan Senembah Mij dalam kasus yang sangat terkenal ini. Pertama, Meminta kepada Bremen District Court untuk menyatakan bahwa 5000 bal tembakau tersebut adalah milik Deli dan Senembah Mij. Kedua, Menyatakan bahwa UU Nasionalisasi No.86 Tahun 1958 adalah bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum terutama dalam konteks ekstra-teritorial. Ketiga, memberlakukan pasal 30 Hukum Perdata Jerman, yakni untuk menempatkan kasus ini sebagai pelanggaran hukum Internasional yang genting. Dalam konteks ini juga mereka meminta pengadilan mengeluarkan putusan sela agar tembakau yang dipersengkatan disita terlebih dahulu dan memutuskan bahwa UU Nasionalisasi bertentangan dengan Hukum Internasional.

Dalam isu terkait siapa yang sebenarnya harus dianggap sebagai pemilik tembakau tersebut, menurut Pemerintah Indonesia, mestilah diketahui terlebih dahulu hukum manakah yang sebenarnya harus diperlakukan  untuk tanah-tanah dengan hak konsesi pertanian ini. Setidaknya, Pemerintah Indonesia  menggunakan  tiga argumentasi atau dalil utama dalam pembelaan mereka di depan Pengadilan Bremen tersebut, yakni: Pertama, terkait persoalan hukum agraria antar-golongan: “Tanah-tanah konsesi pertanian ini merupakan tanah-tanah  yang termasuk domein swapraja (zelfbestuur) Sultan Deli dalam rangka susunan  tata kenegaraan yang berlaku tatkala diciptakan hak-hak tersebut. Tanah-tanah dari swapraja ini adalah tanah-tanah yang takluk di bawah hukum adat.”[21] Kedua, terkait berlakunya azas-azas Hukum Adat: “Jika Hukum adat  yang harus diperlakukan untuk  hubungan dengan asil panen ini, maka pihak yang menanam, yang mengerjakan dan kemudian mengarap adalah  pihak yang harus dipandang sebagai yang berhak atas panen , “Wie zaait die maait”, demikian salah satu sendi yang yang dapat dipertahankan dalam hukum adat.”[22]

Ketiga, terkait  hak konsesi pertanian bersifat hak pribadi: Pihak perusahaan Belanda mendalilkan bahwa konsesi perkebunan antara para Sultan beserta orang-orang besarnya dan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut sebagai hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dengan kata lain sebagai hak-hak erfpacht. Dengan demikian, seperti yang tertuang dalam pasal 721 KUH Perdat, seorang erfpachter  menikmati segala hak yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah ( De erfpachter oefent alle de regten uit, welke aan de eigendom van het erf verknocht zijn). Karena bersifat kebendaan, maka hak-mereka atas hasil tanaman dipandang lebih teguh, karena mempunyai suatu vruchttrekkingsrecht), namun pihak Indonesia membantah dan mengatakan ahwa sifat dari sebuah konsesi adalah merupakan hak perseorangan (persoonlijkrecht) yang dikenal dalam sistem hukum eropah.

Putusan Hakim dalam konteks ini menjadi sangat menarik bukan pada siapa yang dimenangkan melainkan ada pada cara pandang  yang dipakai, dimana berbagai anasir hukum lokal (adat) Indonesia dan hukum privat Belanda menjadi tulang punggung dalam pengambilan keputusan. Pandangan Hakim di Bremen adalah sebagai berikut: Pertama, Hukum Adat mengenal bahwa jika seseorang menyatakan hak kepemilikan atas sesuatu barang hasil pertanian maka yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dia yang menebar benih/bibit dan menanam produk tersebut. Hukum adat berkata: “Siapa yang menebar benih, dia yang memanen (wie zaait, die maait).” Dalam konteks ini, penggugat tidak bisa membuktikan bahwa mereka yang menebar bibit, menanam dan memanen produk tersebut akibat nasionalisasi pada Desember 1957. Kedua, Hukum perdata Barat tidak mengakui hak kekayaan atas sesuatu yang dihasilkan dari sebuah lahan konsesi yang tidak lagi dikuasai oleh pemegang konsesi saat panen itu berlangsung.

Atas dua pijakan di atas, Hakim Bremen seterusnya mengatakan bahwa konsesi dan seluruh administrasi perkebunan yang dikelola oleh PPN Baru atau administrasi Militer lokal adalah mewakili kepentingan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini bukanlah wali dari dua perusahaan yang mengajukan gugatan. Pemilik tanah, hasil panen dan administrasi perkebunan tersebut adalah pemerintah Indonesia. Maka jika kemudian pemerintah Indonesia, menanam, memanen, mengekspor hasil pertanian tersebut bukanlah untuk menjalankan tugas untuk dan atas nama penggugat, melainkan karena kewenangan yang mereka miliki sendiri.

Dalam uraian yang lain, Hakim Bremen mengatakan bahwa keputusan mungkin akan berbeda jika grant konsesi yang diajukan oleh penggugat memiliki sifat hak kebendaan (zakelijke rechten), yang tentunya tidak akan serta merta hilang atau berakhir akibat hilangnya hak penguasaan atas lahan. Pengadilan setelah melalui penelusuran literatur hukum dan jurisprudensi Indonesia menyatakan bahwa konsesi tersebut bersifat persoonlijke rechten. Sayang sekali, penggugat tidak berusaha mengajukan permohonan untuk melakukan perubahan dari persoonlijke rechten ke zakelijke rechten sesaat setelah  adanya negosiasi ulang berkaitan dengan pengelolaan perkebunan pada tahun 1951.[23]

Pengadilan Bremen tidak melihat sedikitpun bahwa kasus ini adalah sesuatu yang doubtful, dan oleh karena itu tidak ada kebutuhan utuk memberlakukan pasal 100 Hukum Perdata Jerman yang membuka peluang untuk mengajukan banding ke peradilan yang lebih tinggi atas pertimbangan bahwa kasus yang ditangani mememiliki karakter yang meragukan.[24] Bagi Hakim Jerman, legalitas dan validitas UU Nasionalisasi tahun 1958 tidak diragukan lagi sepanjang benda-benda yang dinasionaliasasi tersebut berada di negara yang melakukan nasionalisasi (Indonesia). Selain itu hakim berpandangan bahwa pasal 30 Hukum Perdata Jerman yang mengatur bahwa peraturan hukum luar negeri dapat dikesampingan oleh hakim Jerman, bilamana pemakaian ini akan merupakan pelanggaran terhadap  kesusilaan atau melawan tujuan  dari pada perundang-undangan Jerman serta hanya bisa dipakai dalam kasus-kasus yang  memenuhi satu unsur yang disebut inlandsbeziehungen, yakni sesuatu yang terkait dengan urusan dalam negeri Jerman, tidak bisa dipergunakan dalam konteks ini karena unsur tersebut tidak terpenuhi.[25]

  1. Salah Kaprah Nasionalisasi dan Hilangnya Hak Tanah Adat

Pemakaian anasir hukum adat dalam pembelaan-pembelaan hukum oleh para advokat yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam persidangan di Bremen di atas, secara tersirat, menunjukkan pengakuan Pemerintah Indonesia atas hak-hak yang dimiliki pemerintahan Swapraja dan masyarakat hukum yang menaunginya. Namun pengakuan tersebut yang juga diikuti oleh para hakim Bremen, tidak menunjukkan korelasinya dalam praktek sehari-hari di lapangan kehidupan masyarakat. Kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur dengan segala hak-hak yang dimilikinya dalam hubungan hukum dengan perusahaan-perusahaan Belanda, diabaikan dan tidak menjadi satu dasar pertimbanganpun dalam perbincangan di seputar nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.[26]

Asumsi juridis terkait pengabaian tersebut boleh jadi dikaitkan dengan satu anggapan umum bahwa kekuasaan daerah-daerah swapraja tersebut telah hilang dengan dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat 2 UU tesebut berbunyi: “Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.”  Dan dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan :

“Di samping itu perlu di sini dijelaskan bahwa antara Kotapraja tidak diadakan perbedaan tingkat, kecuali mengenai ibukota Negara, yang mempunyai kedudukan dan riwayat sendiri. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini, menentukan bahwa daerah Swapraja itu dengan undang-undang pembentukan dapat dijadikan Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa. Hal itu berarti, bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada azasnya telah memenuhi kehendak pasal 132 Undang-undang Dasar Sementara. Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/ pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.”[27]

Apakah penghapusan seperti apa yang dijelaskan oleh UU No 1 Tahun 1957 tersebut dengan serta merta menihilkan hubungan-hubungan keperdataan yang telah terbentuk sebelumnya? Bagaimana menempatkan kontrak konsesi perkebunan antara Kesultanan-Kesultanan di Sumatera Timur dahulu dengan para pengusaha Belanda, yang jelas-jelas diakui sebagai hak perseorangan (persoonlijk rech) dan bukan hak kebendaan (zakelijk recht) oleh para penulis terdahulu dan Majelis Hakim Jerman di Bremen? Atau apakah Nasionalisasi boleh menegasikan hak-hak privat dari satu kelompok yang jelas-jelas merupakan anak bangsanya sendiri?

Dalam disertasi Robert van De Waal disebutkan bahwa de landbouw concessie  is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam disertasi tersebut juga ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan langkat yang mencakup 5493 perkebunan, tidak ada satupun yang berbentuk hak erfpacht (yang setelah tahun 1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak awal dituliskan dalam baynak bukti tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi. Dengan demikian jelaslah bahwa konversi konsesi menjadi HGU pada nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dalam mengambil dan menyatakan bahwa tanah-tanah eks konsesi adalah dibawah kepemilikan Pemerintah Indonesia[28].

Selain itu dapat ditegaskan juga bahwa di dalam hukum perdata internasional dikenal azas yang berbunyi “Lex rei sitae”. Menurut kaedah ini maka tercipta dan hapusnya dan karenanya juga beralihnya, hak-hak dan hak-hak atas benda-benda di atur oleh hukum daripada tempat dimana hak atau benda bersangkutan terletak. Kaedah tentang “lex situs” ini berlaku baik untuk benda-benda bergerak dan tidak bergerak. Lex situs ini juga dapat diperlakukan berkenaan dengan peralihan hak-hak benda yang didasarkan atas nasionalisasi. Negara didalam wilayah mana terletak benda yang terkena oleh nasionalisasi adalah yang akan memutuskan apakah suatu perundang-undangan nasionalisasi  secara effektif telah  mengalihkan hak milik kepada fihak negara. Martin Wolff telah mengaskan hal ini. Penulis ini menetapkan lebih jauh bahwa sepanjang dekrit konfiskasi bersangkutan berkenaan dengan benda-benda yang terletak di dalam wilayah negara yang melakukan konfiskasi itu, maka akibatnya ialah peralihan titel hak milik kepada negara yang bersangkutan dan ini akan diakui dimana-manapun (this will be respected everywhere) juga dalam hal bahwa benda-benda yang dikonfiskasi adalah kepunyaan daripada seorang asing dan bukan dari warganegara, negara yang melakukan konfiskasi[29].

Pasal 1 UU No.86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda menyatakan bahwa: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas negara Republik Indonesia. Dalam pasal 1 PP No.2/1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (LN 1959, No.5) dinyatakan yang dikenakan nasionalisasi adalah seluruh kekayaan dan harta cadangan baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang merupakan hak atau piutang. Norma hukum yang sangat jelas ini membimbing kita kepada sebuah kesimpulan bahwa harta/kekayaan atau apapun yang melekat pada perusahaan Belanda tersebut, namun bukan merupakan kekayaannya, seperti tanah konsesi dan hak-hak yang melekat pada pemilik sah yakni Kesultanan Deli dan kesultanan-kesultanan lainnya pada masa itu dengan pasti dan sah tidak bisa dinasionalisasikan menjadi milik Republik Indonesia.

Kelihatannya pemerintah Indonesia saat itu menyamaratakan saja kualitas daerah swapraja yang ada di Jawa dan Sumatera (khususnya daerah-daerah swapraja di pesisir timur Sumatra Utara). Padahal konstruksi perjanjian konsesi yang ada antara kesultanan-kesultanan tersebut dengan para pengusaha Belanda, sama sekali hampir tidak ditemukan di wilayah manapun di Jawa. Dengan kata lain, kontrak-kontrak jangka panjang perkebunan yang di pegang oleh perusahaan Belanda di Jawa dibangun berdasarkan hak-hak kebendaan sejenis erfpacht di atas daerah-daerah langsung yang dikuasai Gubernemen dan pihak-pihak yang ada di dalamnya hanyalah pemerintah Gubernemen dan pengusaha-pengusaha Belanda, sementara konsesi yang dibuat di Sumatera Timur dulu adalah kontrak privat jangka panjang antara dua subjek hukum perdata, yakni kesultanan dan pengusaha-pengusaha Belanda.

Nasionalisasi, Indonesianisasi, Konfiskasi atau apapun namanya, pada akhirnya menyebabkan hilangnya satu hak orisinil yang ratusan tahun dimiliki oleh orang-orang Melayu di daerah ini, lebih disebabkan kebutaan atas fakta hukum dan sejarah penguasaan tanah serta  stigmatisasi yang dihujamkan ke tengah-tengah jantung kehidupan Kesultanan dan masyarakat adat di wilayah ini sebagai kelompok komparador Belanda, feodal dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Satu stigma yang satu dekade sebelum Nasionalisasi pernah dilayangkan dan mengakibatkan terbunuhnya keluarga-keluarga kerajaan dan masyarakat biasa orang Melayu di Sumatera Timur.[30]


[1] Sanusi Achmad, The Dynamics of The Nationalization of Dutch-Owned Enterprises in Indonesia: A Political, Legal, Economic Development and Administrative Analysis. Indiana University, 1963, hal.121.

[2] Ibid. Hal.123.

[3] Ibid. Hal.127. Lihat dasar “Menimbang” dari UU Nasionaliasi  Perusahaan Belanda No.86 Tahun 1958.

[4] Lebih lanjut lihatlah Vertaling Parlementaire Stukken m.b.t.  Wet op de Nasionalisatie van Nederlandse Bedrijven. ‘S-Gravenhage, 6 February 1959.

[5] The Bremen Tobacco Case. Departement of  Information, Republic Indonesia, Jakarta, 1960: hal. 18.

[6] Gordijn, Wim. Ambil Alih: Overname van Nederlandse Bedrijven in Indonesie in 1957/1958.  Doktoral Werkgroup “Nederlanders in Indonesie 1950-1960. Leiden, KITLV 2010: Hal. 4.

[7]  NRC, 19 Agustus 1957.

[8] Lihat van de Kerkhof, Jasper. Indonesianisasi of Dutch Ecnomic Interests, 1930-1960: The Case of Internatio,. Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde, 161.2/3. Leiden, KITLV, 2005:  Hal.188. Lihat Juga, Bank,J.Th. Rubber, Rijk and Religie; De Koloniale Trilogie in de Indonsische Kwestie 1945-1949.  Bijdragen en Mededelingen betreffende de Geschiedenis der Nederlanden, 1996: Hal. 230-259. Usaha-usaha untuk Belanda untuk tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia terus berlanjut dengan Perjanjian Renville (1948) dan Agresi kedua menyusul pada bulan desember 1948, dan akhirnya ditutup dengan Perjanjian Meja Bundar di Den Haag, dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949).

[9] Pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 berbunyi: “(ayat 1) Kepentingan Bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-Undangan yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. (ayat 2)  Hak, Konsesi, Ijin dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan Negara. (ayat 3) Perlakuan sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat di dasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apa juapun.

[10] Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut, keluarlah sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusn Penguasa Militer No.PM/KPTS-0042/12/57 tentang Mengawasi Langsung semua Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0045/12/57 tentang Mengambil Over Wewenang Beheer pada Semua Macam Perusahaan-Perusahaan Belanda, Peraturan Penguasa Militer No. PM/PR-006/12/57 tentang Pembatasan Kebebasan Bergerak bagi Warga Negara Belanda.

[11] Selanjutnya dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Peternakan dan Susu (11 perusahaan),  PP No.18 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas (9 perusahaan terkena nasionalisasi termasuk seluruh jaringan/cabang di daerah). PP. No.39 Tahun 1959,  Nasionalisasi Bang Dagang Nasional (Nationale Handelsbank). PP. No.50 tahun 1959, Nasionalisasi perusahaan pertambangan (seratus enam puluh satu perusahaan terkena nasionalisasi). PP No.1 Tahun 1960, Nasionalisasi perusahaan Farmasi  (sembilan perusahaan terkena nasionalisasi) dan ( PP. No. 13 Tahun 1960, Nasionalisasi  PT.Escompto Bank.

[13] Dewan Pimpinan Banas langsung dipegang oleh Perdana Menteri dengan sejumlah Kementerian terkait, sementara Pengurus Harian dipercayakan kepada Menteri Keuangan, Menteri Negara Urusan Stabilitas Ekonomi dan Wakil Kementrian Pertahanan. Lihat Pasal 2 PP No.3 tahun 1959.  Sebelumnya satu badan adminsitrasi untuk mengurus Perkebunan dibentuk, yakni Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 10 tahun 1957

[14] Pasal 17 UUD Sementara 1950 berbunyi:” Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat-menjurat tidak boleh diganggu gugat, selainnja dari atas perintah hakim atau kekuasaan lain jang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan dan undang-undang dalam hal-hal jang diterangkan dalam peraturan itu.” Pasal 234 KUH Pidana berisi menyatakan bahwa:” Barang siapa dengan sengaja menarik dari alamatnya, membuka, atau merusak suzat-surat atau barang-barang lain yang diserahkan ke kantor pos atau kantor telegram, atau yang telah dimasukan dalam kotak pos atau dipercayakan kepada seorang pembawa surat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Dan Pasal 570 KUH Perdata berisi:” Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

[15] The Netherlands International Law Review, Vol.VI, July 1959, hal.287. Lemaire, seorang ahli Hukum Belanda, membuat satu karangan khusus yang disampaikan dalam sebuah ceramah di Leiden, untuk menunjukkan bagaimana kecamannnya terhadap tindakan Nasionalisasi dari sudut pandang Hukum Perdata Internasional. Lihat Lemaire, WLG. De Onderbeheerstellingen en de Nasionalisaties van de Nederlandse Bedrijven in Indonesia. Leiden, Rechtsgeleerd Magazijn Themis. Aflevering 4, 1959.

[16] Friedman. S.. Expropriation in International Law. London, Stevens, 1953: hal.132, 190. Herz, J.H. Expropriation  of Foreign Property. American Journal of International Law, Vol.35. 1941. Hal. 249, 251, 253.

[17] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 149.

[18] Pasal 44 berbunyi : “Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero, atau yang lain-lainnya  yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa penerima upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris.

[19] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 158.

[20] Siong, Gouw Giok. Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia. Jakarta, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia, 1960: hal. 152.

[21] Ibid. Hal.153.

[22] Siapa yang menanam, melakukan pekerjaan dan kemudian menggara panen tembakau tahun 1958 ini? PPN Baru! Segi Hukum ini disarankan oleh, ahli Hukum Adat, Prof.Dr. Soekanto SH, Gurubesar Hukum pada Universitas Indonesia. Pihak Penggugat rupanya agak tercengan terhadap alasan penggunaan hukum adat ini. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa hukum adat akan dikeluarkan sebagai pembelaan. Sejhak semula  seluruh pembelaan mereka  telah didasarkan  atas hukum Barat, hukum Eropah,  pasal-pasal yang dikenal dalam Burgerlijk Wetboek.  Lebih lanjut lihat Siong, Ibid.

[23] Domke, Martin menyatakan hal yang relatif sama: “ In the opinion of the German Court, concession rights did not give a jus in rem to the Dutch Companies, since they had not availed themselves  of a registration of their rights  in the nature of heredity rights to lease (erfpachtrechte) whic procedure was available under Indonesian law. Moreover , on September 1, 1951, a Land Return Agreement was concluded between the Indonesian State and the Plantation holders, whereby the Dutch Companies, in exchange o partial return of plantations, were allowed to retain all other concessions, the greater part of which had already expired, or were about to expire within a short time, for an additional thirty years.” Lihat Domke, Martin. Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts. The American Journal of International Law. Vol.54 No.2 , April 1960. Hal.309.

[24] Article 100 (2)  of The Basic Law of The Federal Republic Germany, The Born Constitution of 1949 provides that: “ if in a litigation it is doubtful whether a rule of international law forms part of federal law and whether it creates direct rights and duties for the individual (Art.25), thecourt shall obtain the decision of the Federal Constitutional Court.”

[25] Ibid. Hal.176. lihat juga, Siong, Op.cit. Hal. 163.

[26] Dalam notulensi  rapat Parlemen Indonesia tentang Nasionalisasi, tak satupun diungkap soal hak-hak tanah adat (tanah swapraja) yang menjadi objek perjanjian antara Kesultanan dengan Pengusaha Belanda. Notulensi setebal lebih kurang 100 halaman itu disana-sini hanya membahas soal-soal terkait argumentasi politik untuk pembebasan Irian Barat, Perusahaan-Perusahaan Belanda yang akan dinasionalisasi dan hal-hal lain terkait kompensasi yang akan dilakukan. Lebih jauh lihat Vertaling dst.. Loc.cit.

[27] UU No.1 Tahun 1957 yang disebutkan di atas sekaligus menghapus UU pertama yang mengatur Pemerintahan Daerah, yakni UU No. 22 tahun 1948, UU Negara Indonesia Timur No.44 Tahun 1950 dan  peraturan-peraturan lainnya mengenai Pemenrintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tanggaya sendiri.

[28] Van de Waal, Robert. Richtlijnen voor Een Ontwikkelinsplan voor de Oostkust van Sumatra. Wageningen, 20 November 1950. Hal. 54 dst.)

[29] Wolff, Martin. Private International Law, Oxford, 1950, cetakan kedua, hal.522 dst. Kata “bukan dari warga negara yang melakukan konfiskasi, sengaja dicetak tebal oleh penulis, untuk menunjukkan bahwa nasionalisasi tidak bisa diberlakukan kepada hak-hak dan benda-benda yang merupakan milik dari warga negara yang melakukan nasionalisasi tersebut.

[30] Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu.

Diantara Inkonsistensi dan Stigmatisasi

Oleh Edy Ikhsan

  1. Latar: Balas Dendam dan Penguatan Ekonomi Rakyat

Nasionalisasi 1958 merupakan sebuah keputusan sejarah nasional dalam politik Indonesia. Keputusan tersebut diambil di bawah sebuah kondisi politik internal yang tidak stabil dan tatkala ketegangan dengan pemerintah Belanda berada dalam klimaksnya. “Based on the moral strength of nationalism and guided by a government under  the more or less  direct personal blessing of Presiden Soekarno as te real element of political power, the nationalization turned out to be a political victory in the contest with the dutch victory. Furthermore it made  an effective groundwork for the start of implementation of the concept of guided economy[1]

Kritik, kecaman, perlawanan terhadap tindakan nasionalisasi datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, tindakan ini dilihat sebagai sebuah manuver politik pemerintah Soekarno dari situasi keputusasaan dalam meningkatkan ekonomi Indonesia, sementara dari luar, utamanya dari Pemerintahan/ Pengusaha Belanda melakukan perlawanan dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno adalah bertentangan dengan hukum, terutama dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Sejumlah negara memberikan dukungan kepada Belanda, namun dalam seluruh proses hukum yang terjadi, tuntutan Belanda mengalami kegagalan. “Politically  the prospect of nationalization might be said to be real contribution to stabilization.”[2]

Salah satu alasan penting mengapa tindakan nasionalisasi harus dilakukan adalah bahwa pengambil-alihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Dengan 7 pasal yang dituangkan dalam UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No.86 tahun 1958 (undang-undang yang sangat singkat sekali), dan disyahkan pada tanggal 31 Desember 1958, serta berlaku surut (retroaktif) mulai tanggal 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pendangan pemerintah selanjutnya, dikatakan, bahwa nasionalisasi ini pada akahirnya akan bertumpu pada dua tujuan yang saling berhubungan, yakni ekonomi dan keamanan negara. Dengan yang pertama, negara mempunyai peluang untuk meningkatkan ekonomi rakyat melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan konsolidasi menyeluruh asset-asset bangsa. Sementara dengan yang kedua, nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan Republik dari intervensi luar.[3]

Apa yang disebutkan dalam alinea di atas tergambar dari penjelasan H.A Chamid Wijaya salah seorang anggota parlemen dari fraksi Nahdatul Ulama (NU) dalam rapat akhir penyusunan UU Nasionalisasi. Dalam salah satu uraiannya, beliau mengatakan: “Nadat  het Indonesische volk 13 jaar geleden de vrijheid en eigen staat heeft verkregen, kwamen deze idealen naar voren en verlangden zij prioriteit van uitvoering. …Mijnheer de voorzitter, het begin van de maand December 1957 heeft ook zo’n periode betekend, die de wereld voldoende duidelijk heeft gemaakt, dat het Indonesische volk vanaf dat tijdstip nog intensiever  zijn nationaal-economische fundamenten zou oprichten; het verwijderen van van een handicap voor de verwezenlijking van een nationaal economie.[4]

Satu penjelasan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia menyebutkan: “The reasons Indonesia embarked upon these measures were not, however, solely, economic. Psychological factors also played an important role. For centuries Indonesia  had been discriminated against by the colonial power. The people had been deprived of the land which, under adat law, was to be cultivated by the village community, and both men and women had been forced to work for Dutch enterprises under inhuman conditions.”[5] Namun soal tekanan dibawah sisa dominasi kolonial hanyalah satu hal. Kondisi ekonomi yang semakin parah adalah hal lain yang sangat signifikan mendorong tindakan Nasionalisasi ini dilakukan. Menurut sejumlah ahli dalam lapangan ekonomi/keuangan[6] krisis ekonomi telah berlangsung sejak pengambilalihan kekuasaan 1949. “Gedurende  de jaren 1955 en 1956 was de produktie van de cultuurondernemingen geleidelijk gedaald. Voor een del  was dit het gevolg van de toenemende onevenwichtigheid tussen de kostprijzen  en de prijzen op de wereldmarkt. Faktoren die hadden  geleid tot  lagere produktie waren onder meer onvoldoende arbeids reserve en produktiviteit, onwettige occupaties verslechtering van het irrigatiesysteem en de onzekerheid op het gebied van de agrarische wetgeving.[7]

Kekhawatiran Belanda atas hak dan property yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swastanya di Indonesia pasaca kemerdekaan jelas kelihatan dari bagaimana mereka mencoba mekonstruksikan bangunan perlindungan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut di dalam perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Dalam pasal 14 Perjanjian tersebut disebutkan bahwa: “Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.

Namun menurut van de Kerkhof, gagasan pasal 14 itu hanya ilusi belaka dan tidak bisa dijalankan dalam memberikan perlindungan perusahaan Belanda di Indonesia. “The opposition of the Indonesian nasionalists and militant labour unions, illegal occupations of estate lands (“squatting”) and the unwillingness of Dutch authorities to withdraw their troops made implementation of article 14 a slow and frustrating process.”  Empat bulan setelah Perjanjian Linggarjati disepakati, Belanda melakukan agresi pertamanya (Juli 1947), dengan memakai sandi “operation product”, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan perusahaan-  perkebunan dan ladang-ladang minyak potensial di Jawa dan Sumatra. Operasi tersebut berhasil “membebaskan”  sekitar 1000 perkebunan dan pabrik-pabrik, namun kebanyakan dari perusahaan tersebut rusak dan hancur.[8]

Kekisruhan di atas sejumlah kegagalan dalam berbagai perundingan antara Indonesia dan Belanda, utamanya, tentang kedaulatan masing-masing negara di wilayah bekas Hindia Belanda, mencapai klimaksnya dalam urusan Irian Barat dan kegagalan mengimplementasikan Perjanjian Meja Bundar. Di penghujung tahun 1957, Soekarno mengambil sikap yang tegas untuk mengambil alih seluruh perusahaan Belanda di Indonesia sebagai reaksi terhadap sikap Belanda terhadap wilayah paling timur dari nusantara. Melalui UU No.13 tahun 1956, Indonesia membatalkan hubungannya dengan Belanda  berdasarkan Perjanjian Meja Bundar tersebut.[9]

Di Sumatera Utara, melalui Pengumuman Penguasa Militer No PM/Peng 0010/12/57 pengambilalihan aset perusahaan Belanda dimulai. Pengumuman itu singkatnya berbunyi: (1) Perjuangan Pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia, di bawah pimpinan Pemerintah Republik Indonesia; (2) Tindakan dalam rangka pembebasan Irian Barat harus senantiasa dilaksanakan dengan tertib dan teratur.. dst (3) Penguasaan (pengoperan kekuasaan) atas perusahaan-perusahaan dll. milik Belanda hanya dilakukan berdasarkan keputusan Pemerintah atau Penguasa Militer dengan cara yang ditentukan; (4) ….Tindakan-tindakan liar dan di luar hukum tidak luput dari pemeriksaan dan tuntutan menurut hukum yang berlaku di Negara kita; (5) Tindakan sendiri-sendiri terhadap perusahaan Belanda oleh orang-orang atau golongan tidak dibenarkan.. (6) dst…[10]

Kehati-hatian dalam pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda ini tercermin dari satu amanat yang dikeluarkan Panglima T&T-I/Bukit Barisan yang intinya berbunyi:” Perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi sosial, yang bagi kehidupan rakyat dan negara sangat penting artinya. Oleh sebab itu rakyat dan negara sangat berkepentingan akan kelanjutan dan kesempurnaan jalannya perusahaan-perusahaan tersebut. Lepas dari persoalan siapa yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut, adalah  kewajiban Pemerintah, demi keselamatan Rakyat menjamin lancarnya  perjalanan perusahaan-perusahaan tersebut. Harus dicegah dengan sekuat tenaga, perbuatan-perbuatan merusak atau mengganggu perjalanan perusahaan.” Sekitar satu tahun setelah tindakan nyata di lapangan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia tersebut, barulah disahkan UU No.86 tahun 1958 seperti yang disebutkan dalam beberap alinea terdahulu.

  1. Undang-Undang Nasionalisasi: Kecaman dan Pembelaan

Pasal 1 UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 merupakan jantung dari apa yang dimaui oleh negara dalam “balas dendam politik” terhadap Belanda. Pasal 1-nya berbunyi: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan  dinyatakan menjadi milik yang penuh  dan bebas Negara Republik Indonesia.”  Secara tegas juga, UU ini menyatakan bahwa Onteigeningsordonantie (Stb.1920. No.574). Ordonansi Pencabutan Hak, tidak berlaku dalam konteks nasionalisasi ini. Ordonansi ini memberikan jaminan bahwa tiap orang tidak boleh dicabut atau diambil kekayaan, milik atau haknya tanpa proses hukum di depan pengadilan. Menurut Negara, Ordonansi ini hanya berlaku untuk urusan-urusan pribadi (individual  expropiriations), sementara UU Nasionalisasi ini mempunya sifatnya yang umum (general characters). Alasan lainnya adalah bahwa Ordonansi Pencabutan Hak dibentuk dalam sebuah sistem hukum yang berbasis pada supremasi hak-hak individual, sementara UU Nasionalisasi dikembangkan dalam sebuah sistem hukum yang berorientasi pada fungsi sosial dari kepemilikan privat (individu).

Untuk melaksanakan UU ini, Pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah Peraturan Pemerintah. Lima  dari sejumlah Peraturan Pemerintah yang terkait dengan pembahasan ini adalah Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan  Belanda, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda, Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dengan Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian[11]

Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda sekurang-kurangnya mengatur dua hal penting. Yang pertama, tentang Sifat dan isi Perusahaan Belanda yang dinasionalisasi[12] dan Badan/Panitia Penampung Perusahaan, Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Badan Penetapan Ganti Kerugian (pasal 4 s/d pasal 6). Badan/Panitia Penampung Perusahaan yang dimaksud adalah meneruskan Badan yang sudah dibentuk berdasarkan  Peraturan Pemerintah No.23 tahun 1958. Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda akan dibentuk tersendiri untuk menentukan kesegaragaman dalam pelaksanan nasionalisasi perusahaan Belanda. Badan Penetapan Ganti Kerugian sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Wakil Kementrian Kehakiman sebagai Ketua, b. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Wakil Ketua dan c. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Anggota.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 berbunyi:  (ayat 1) “Perusahaan-perusahaan milik  Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi menurut pasal 1 Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda  (UU No.86/1958) adalah: a. Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda dan bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. b. Perusahaan milik sesuatu Badan Hukum yang seluruhnya atau sebagian modal persoraannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warganegara Belanda dan Badan Hukum itu bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. c. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda yang bertempat kediaman di luar wilayah Republik Indonesia. d. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan milik sesuatu Badan Hukum bertempat-kedudukan dalam wilayah Kerajaan Belanda.

Sanusi memerinci pasal di atas dengan mengatakan: “A careful examination of this  article suggests that the categories are based on three criteria: the seat of the enterprises, the ownership,  and the place of domicile of the owner. It is clearly stated that the seat of the enterprises should be in Indonesia. The second criterion is  ownership which is defines as meaning that the enterprises in question should be owned by the Dutch citizen or a Dutch juridical person (Rechtspersoon). The third criterion is the domicile of the owner, it makes no difference they reside in Indonesia or in the Netherlands Kingdom, or anywhere else.

Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, disingkat “Banas”. Tugas penting yang diemban oleh Banas adalah menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dengan menentukan garis kebijaksanaan dan mengawasi Badan-Badan Penampung, menentukan perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I (Pemerintah Provinsi), menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat pemberlakuan UU Nasionalisasi dan pendelegasian penyelesaian persoalan-persoalan dimaksud kepada Pengurus Harian.[13]

Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda menyebutkan adanya 38 perkebunan tembakau yang dinasionalisasi, dan 22 diantaranya adalah perkebunan tembakau yang berada di Sumatera Utara. Dalam dasar pertimbangan Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa perusahaan pertanian/perkebunan tembakau adalah merupakan cabang produksi yang penting

bagi masyarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Keduapuluh dua perkebunan tembakau dimaksud adalah sebagai berikut:

No.Nama PerkebunanLokasiPemilik
1.Bandar KlippaDeli/SerdangNV Vereenigde Deli Mij
2.Bulu TjinaDeli/SerdangIdem
3.HelvetiaDeli/SerdangIdem
4.Klambir LimaDeli/SerdangIdem
5.KloempangDeli/SerdangIdem
6.Kwala BegomitLangkatIdem
7.Kwala BingeiLangkatIdem
8.MariendalDeli/SerdangIdem
9.Medan EstateDeli/SerdangIdem
10.Padang BrahrangLangkatIdem
11.Rotterdam ABDeli/SerdangIdem
12.SaentisDeli/SerdangIdem
13.SampaliDeli/SerdangIdem
14.TandemDeli/SerdangIdem
15.Tandem IlirDeli/SerdangIdem
16.Tandjoeng DjatiLangkatIdem
17.Timbang LangkatLangkatNV. Sinembah Mij.
18.Batang KwisDeli/serdang`Idem
19.Kwala NamoeDeli/SerdangIdem
20.Pagar MarbauDeli/SerdangIdem
21.PatoembahDeli/SerdangIdem
22.Tanjong MorawaDeli/SerdangIdem

UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 bukan tidak mendapatkan kecaman dan tantangan yang hebat dari sisi juridis. Secara material, UU ini setidaknya mengandung kecacatan dalam beberapa hal: pertama, walaupun berulang kali dikatakan dalam UU No.86 tahun 1958 bahwa tindakan Nasionaliasi konsisten dengan pembatalan hubungan Indonesia – Belanda berdasarkan perjanjian Konprensi Meja Bundar (KMB) cq. UU  No.13 Tahun 1956, namun jika dikonfrontir dengan pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 yang berbunyi : “Kepentingan bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-undangan  yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. Hak, konsesi, izin  dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara. Perlakuan  sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat didasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apapun.”, tidak menunjukkan suatu sikap konsistensi. Dengan kata lain, pasal 7 tersebut masih  mewajibkan negara untuk mengindahkan hak-hak yang dimiliki perusahaan Belanda walaupun dengan catatan tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara.  Selain itu sebenarnya dengan UU No.13 tahun 1956 saja, Belanda sudah tidak mendapatkan hak privelege yang membedakan mereka dengan warganegara atau perusahaan asing lainnya seperti yang selama ini mereka dapatkan.

Kedua, Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia jelas untuk melakukan kampanye pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Kampanye ini dilakukan dengan cara-cara bagaimana kepemilikan privat tersebut diambil secara “paksa” untuk dijadikan milik negara. Indonesia juga menolak untuk mengajukan sengketa dengan Belanda ini ke depan Mahkamah Internasional. Cara-cara ini dilihat sebagai sesuatu yang diambil secara sepihak dan dengan maksud untuk menghapuskan hak-hak privat orang lain (dalam hal ini individu atau badan hukum Belanda). Dalam konteks ini, Indonesia bisa dikategorikan telah melakukan detournement de pouvoir (penyalah gunaan kekuasaan, abuse of power).

Ketiga, prakteknya, nasionalisasi bermakna penghapusan seluruh hak-hak perdata dari individu dan perusahaan Belanda. Ini berarti bahwa perusahaan, harus merelakan seluruh kekayaan, kantor-kantor, dokumen-dokumen, surat-surat berharga, uang, data-data keuangan dan segala benda-benda yang dimiliki mereka di Indonesia. Semua surat-surat korespondensi diambil dan dibuka oleh pegawai Indonesia yang ditunjuk, tindakan mana bertentangan dengan  pasal 17  UUD Sementara 1950 dan pasal 234 KUH Pidana. Pendek kata mereka kehilangan seluruh hak-hak sebagai pemilik berdasarkan pasal 570 KUH Perdata.[14]

Keempat, Keputusan Menteri Pertama No.485/MP/1959 menyatakan bahwa jika di dalam perusahaan tersebut ada pemilik asing non Belanda, maka kompensasi akan dibayar terlebih dahulu  kepada orang asing bukan berkebangsaan Belanda. Hal ini bertentangan dengan pasal 2 dari UU Nasionalisasi yang secara tersirat menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam pembayaran kompensasi. Selain itu, Nasionalisasi dianggap merupakan pelanggaran (violation) terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, utamanya adalah prinsip-prinsip non dsikriminasi.

Terkait dengan sifat nasionalisasi yang diskriminasi, Henri Rolin, mengatakan bahwa Undang-Undang tersebut secara jelas ilegal dengan alasan bahwa ia hanya menyentuh satu golongan orang dan badan hukum Belanda. Mc Nair dan Verdross menekankan lebih lanjut apa yang dikatan Rolin dengan mengatakan bahwa dikatakan diskriminasi dan ilegal karena ukuran untuk nasionalisasi tersebut  ditujukan hanya pada untuk kelompok asing.[15] Keputusan nasionaliasi yang dianggap diskriminatif tersebut sangat tidak sesuai secara momentum perdamaian dalam hukum Internasional. Selain itu, prinsip non diskriminasi dalam nasionalisasi sudah dianut oleh kebanyakan ahli –ahli teori dan peradilan internasional atau arbitrase.[16] Apalagi dalam isi Konprensi Meja Bundar, diterakan juga soal garansi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Inilah yang menyebabkan menurut sejumlah ahli Hukum Internasional, the nationalization was incompatible with Indonesia’s obligation vis a vis  the Netherlands arising from treaties whic are still in force.[17]

Sejumlah argumentasi juridis di atas dalam realitasnya ternyata tidak dengan serta merta mampu membingkai opini utama atas cara-cara atau tindakan nasionalisasi yang dipakai Indonesia pada saat itu. Ada sejumlah argumentasi yang dipergunakan melawan pikiran, pendapat dan teori yang digunakan. Pertama, Soal nasionalisasi adalah soal penting untuk melepaskan diri secara utuh dari cengkeraman Asing dan ini merupakan sebuah kesadaran bersama yang dimiliki oleh mayoritas rakyat Indonesia. Ia sudah menjadi rechtbewustzijn (Kesadaran Hukum) dari rakyat Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya menjadi sumber bagi filsafat hukum tapi juga bagi hukum positif. Dan sejalan dengan hal tersebut maka, kehadiran UU Nasionalisasi sebagai sebuah perangkat UU resmi yang dihasilkan oleh rezim yang resmi bisa membatalkan produk-produk hukum lain yang lebih rendah atau setara dengannya. Pasal 570 KUHPerdata dan pasal 44[18] dalam KUH Dagang misalnya, dengan berlakunya UU Nasionalisasi, secara normatif, kehilangan kekuatannya. Doktrin Lex Posterior derogat Lex Anteriori berlaku dalam konteks ini.

Kedua, Dalam pendekatan konstitusional, Gugatan yang mengatakan bahwa UU Nasionalisasi itu ilegal adalah tidak beralasan. Malah sebaliknya produk-produk hukum  kolonial-lah yang sebenarnya bertentangan dengan banyak sendi-sendi keadilan sosial rakyat. Ini bisa ditunjukkan melalui misalnya  pasal 570 KUH Perdata yang memberikan hak absolut kepada individu untuk menguasai benda/kekayaan berbasis zakelijke rechten. Sebaliknya UU Nasionalisasi yang beralaskan UUD Sementara 1950 bisa merujuk kepada pasal 26 ayat 3 yang menyatakan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Selain itu UU Nasionaliasi ini juga sudah menyesuaikan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam pasal 27 UUD Sementara 1950 yang berbunyi: Pentjabutan hal milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.” Apabila sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun, baik untuk selama-lamanja maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum; maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang, ketjuali djika ditentukan jang sebaliknja oleh aturan-aturan itu.” Cara menunjukkan langsung pasal-pasal penting dalam konstitusi ini penting untuk memperlihatkan mana yang ilegal dan mana yang tidak dalam kasus ini.

Ketiga, terkait dengan tudingan diskriminasi yang dilancarkan kepada UU Nasionalisasi ini, faktanya tidak seperti apa yang kelihatan muncul di permukaan. Situasi empirisnya menunjukkan bahwa Perusahaan Belanda masih menikmati sebuah posisi ekonomi yang cukup tinggi dibanding modal asing lainnya. Diperkiraan Belanda masih mengontrot 30 sampai dengan 40 persen ekonomi Indonesia.[19] Selain itu, UU Nasionalisasi ini juga bisa berlaku untuk pengusaha asing Non-Belanda, dan itu bisa terlihat dari penyebutan “wholly or partly Dutch-Owned”  (Sepenuhnya atau Sebahagian dimiliki oleh Belanda) dalam UU Nasionaliasi.

Keempat, Ada anggapan yang mengatakan bahwa illegality dari UU Nasionaliasi terletak pada penghentian prematur atas kontrak konsesi yang ada. Secara umum (internasional) diakui bahwa kontrak konsesi menimbulkan hak dan kewajiban yang tidak bisa dicampuradukkan atau diintervensi secara langsung oleh UU Negara, melainkan semestinyalah merujuk kepada aturan-aturan dalam kontrak konsesi (lex contractus), kecuali di dalam kontrak konsesi tersebut dinyatakan lain. Sayang sekali butir-butir tersebut tidak ditemukan dalam UU Nasionalisasi, dan oleh karena itu Indonesia, tidak bisa di bawa ke dalam sidang arbitrase internasional. Argumentasi terakhir dari sisi pemerintah Indonesia ini menunjukkan secara jelas dimana posisi negara saat kontrak konsesi tersebut dibuat. Atau dengan kata lain, mengapa klausule dalam alinea di atas tidak tercantum dalam kontrak konsesi. Hal tersebut seluruhnya  dikarenakan negara (Indonesia) memang tidak atau bukan dari contracting partners dalam kontrak konsesi tersebut, melainkan dalam kasus kontrak konsesi perkebunan adalah Kesultanan dan Perusahaan Asing. Ini satu sisi yang tidak banyak menjadi tinjauan dari scholars yang menulis tentang Nasionalisasi 1957/1958.

  1. Kasus Bremen: Anasir Hukum Adat dalam Peradilan Asing

Gugatan yang dilakukan oleh Vereningde Deli Mij dan Senembah Mij terhadap Pemerintah Indonesia, dipicu oleh pemindahan pasar lelang tembakau dari Belanda (Amsterdam dan Rotterdam) ke Jerman (Bremen), pembentukan German-Indonesian Tobacco Trading Company of Bremen dan masuknya 5000 bal tembakau pertama ke pelabuhan Bremen, hasil panen tahun 1958. Gugatan ini adalah titik kulminasi setelah sejumlah kejadian-kejadian pasca nasionalisasi, antara lain: Baik Deli Mij maupun Senembah Mij tidak lagi mau mengakui perjanjian yang ada dengan pemerintah Indonesia terkait ekspor tembakau dengan alasan mereka tidak terikat lagi dengan perjanjian yang ada pasca nasionalisasi, Kedua perusahaan menggugat Cabang Bank Indonesia di Amsterdam dan menolak untuk membayar semua hutang-hutang mereka, yang ditaksir mencapai angka 80.000.000 (Delapan puluh Juta) Gulden (H.Fls, Holland Florijns).

Dasar hukum para penggugat untuk memajukan tuntutan ini ialah bahwa mereka ini menganggap diri mereka sebagai eigenaren yang sah dari tembakau sengketa. Tembakau ini adalah hasil daripada tanah-tanah  perkebunan mereka di Sumatera. Mereka mempunyai  hak-hak konsesi perkebunan (landbouwconcessie) atas tanah bersangkutan.  Hak-hak ini menurut pendirian para penggugat adalah hak-hak yang bersifat kebendaan (zakelijken aard). Walau seorang lain telah menanam tembakau di atasnya dan kemudian telah menggarapnya, tembakau ini tetap menjadi hak eigendom dari para penggugat.[20]

Ada tiga tuntutan utama dari pihak Deli dan Senembah Mij dalam kasus yang sangat terkenal ini. Pertama, Meminta kepada Bremen District Court untuk menyatakan bahwa 5000 bal tembakau tersebut adalah milik Deli dan Senembah Mij. Kedua, Menyatakan bahwa UU Nasionalisasi No.86 Tahun 1958 adalah bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum terutama dalam konteks ekstra-teritorial. Ketiga, memberlakukan pasal 30 Hukum Perdata Jerman, yakni untuk menempatkan kasus ini sebagai pelanggaran hukum Internasional yang genting. Dalam konteks ini juga mereka meminta pengadilan mengeluarkan putusan sela agar tembakau yang dipersengkatan disita terlebih dahulu dan memutuskan bahwa UU Nasionalisasi bertentangan dengan Hukum Internasional.

Dalam isu terkait siapa yang sebenarnya harus dianggap sebagai pemilik tembakau tersebut, menurut Pemerintah Indonesia, mestilah diketahui terlebih dahulu hukum manakah yang sebenarnya harus diperlakukan  untuk tanah-tanah dengan hak konsesi pertanian ini. Setidaknya, Pemerintah Indonesia  menggunakan  tiga argumentasi atau dalil utama dalam pembelaan mereka di depan Pengadilan Bremen tersebut, yakni: Pertama, terkait persoalan hukum agraria antar-golongan: “Tanah-tanah konsesi pertanian ini merupakan tanah-tanah  yang termasuk domein swapraja (zelfbestuur) Sultan Deli dalam rangka susunan  tata kenegaraan yang berlaku tatkala diciptakan hak-hak tersebut. Tanah-tanah dari swapraja ini adalah tanah-tanah yang takluk di bawah hukum adat.”[21] Kedua, terkait berlakunya azas-azas Hukum Adat: “Jika Hukum adat  yang harus diperlakukan untuk  hubungan dengan asil panen ini, maka pihak yang menanam, yang mengerjakan dan kemudian mengarap adalah  pihak yang harus dipandang sebagai yang berhak atas panen , “Wie zaait die maait”, demikian salah satu sendi yang yang dapat dipertahankan dalam hukum adat.”[22]

Ketiga, terkait  hak konsesi pertanian bersifat hak pribadi: Pihak perusahaan Belanda mendalilkan bahwa konsesi perkebunan antara para Sultan beserta orang-orang besarnya dan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut sebagai hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dengan kata lain sebagai hak-hak erfpacht. Dengan demikian, seperti yang tertuang dalam pasal 721 KUH Perdat, seorang erfpachter  menikmati segala hak yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah ( De erfpachter oefent alle de regten uit, welke aan de eigendom van het erf verknocht zijn). Karena bersifat kebendaan, maka hak-mereka atas hasil tanaman dipandang lebih teguh, karena mempunyai suatu vruchttrekkingsrecht), namun pihak Indonesia membantah dan mengatakan ahwa sifat dari sebuah konsesi adalah merupakan hak perseorangan (persoonlijkrecht) yang dikenal dalam sistem hukum eropah.

Putusan Hakim dalam konteks ini menjadi sangat menarik bukan pada siapa yang dimenangkan melainkan ada pada cara pandang  yang dipakai, dimana berbagai anasir hukum lokal (adat) Indonesia dan hukum privat Belanda menjadi tulang punggung dalam pengambilan keputusan. Pandangan Hakim di Bremen adalah sebagai berikut: Pertama, Hukum Adat mengenal bahwa jika seseorang menyatakan hak kepemilikan atas sesuatu barang hasil pertanian maka yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dia yang menebar benih/bibit dan menanam produk tersebut. Hukum adat berkata: “Siapa yang menebar benih, dia yang memanen (wie zaait, die maait).” Dalam konteks ini, penggugat tidak bisa membuktikan bahwa mereka yang menebar bibit, menanam dan memanen produk tersebut akibat nasionalisasi pada Desember 1957. Kedua, Hukum perdata Barat tidak mengakui hak kekayaan atas sesuatu yang dihasilkan dari sebuah lahan konsesi yang tidak lagi dikuasai oleh pemegang konsesi saat panen itu berlangsung.

Atas dua pijakan di atas, Hakim Bremen seterusnya mengatakan bahwa konsesi dan seluruh administrasi perkebunan yang dikelola oleh PPN Baru atau administrasi Militer lokal adalah mewakili kepentingan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini bukanlah wali dari dua perusahaan yang mengajukan gugatan. Pemilik tanah, hasil panen dan administrasi perkebunan tersebut adalah pemerintah Indonesia. Maka jika kemudian pemerintah Indonesia, menanam, memanen, mengekspor hasil pertanian tersebut bukanlah untuk menjalankan tugas untuk dan atas nama penggugat, melainkan karena kewenangan yang mereka miliki sendiri.

Dalam uraian yang lain, Hakim Bremen mengatakan bahwa keputusan mungkin akan berbeda jika grant konsesi yang diajukan oleh penggugat memiliki sifat hak kebendaan (zakelijke rechten), yang tentunya tidak akan serta merta hilang atau berakhir akibat hilangnya hak penguasaan atas lahan. Pengadilan setelah melalui penelusuran literatur hukum dan jurisprudensi Indonesia menyatakan bahwa konsesi tersebut bersifat persoonlijke rechten. Sayang sekali, penggugat tidak berusaha mengajukan permohonan untuk melakukan perubahan dari persoonlijke rechten ke zakelijke rechten sesaat setelah  adanya negosiasi ulang berkaitan dengan pengelolaan perkebunan pada tahun 1951.[23]

Pengadilan Bremen tidak melihat sedikitpun bahwa kasus ini adalah sesuatu yang doubtful, dan oleh karena itu tidak ada kebutuhan utuk memberlakukan pasal 100 Hukum Perdata Jerman yang membuka peluang untuk mengajukan banding ke peradilan yang lebih tinggi atas pertimbangan bahwa kasus yang ditangani mememiliki karakter yang meragukan.[24] Bagi Hakim Jerman, legalitas dan validitas UU Nasionalisasi tahun 1958 tidak diragukan lagi sepanjang benda-benda yang dinasionaliasasi tersebut berada di negara yang melakukan nasionalisasi (Indonesia). Selain itu hakim berpandangan bahwa pasal 30 Hukum Perdata Jerman yang mengatur bahwa peraturan hukum luar negeri dapat dikesampingan oleh hakim Jerman, bilamana pemakaian ini akan merupakan pelanggaran terhadap  kesusilaan atau melawan tujuan  dari pada perundang-undangan Jerman serta hanya bisa dipakai dalam kasus-kasus yang  memenuhi satu unsur yang disebut inlandsbeziehungen, yakni sesuatu yang terkait dengan urusan dalam negeri Jerman, tidak bisa dipergunakan dalam konteks ini karena unsur tersebut tidak terpenuhi.[25]

  1. Salah Kaprah Nasionalisasi dan Hilangnya Hak Tanah Adat

Pemakaian anasir hukum adat dalam pembelaan-pembelaan hukum oleh para advokat yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam persidangan di Bremen di atas, secara tersirat, menunjukkan pengakuan Pemerintah Indonesia atas hak-hak yang dimiliki pemerintahan Swapraja dan masyarakat hukum yang menaunginya. Namun pengakuan tersebut yang juga diikuti oleh para hakim Bremen, tidak menunjukkan korelasinya dalam praktek sehari-hari di lapangan kehidupan masyarakat. Kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur dengan segala hak-hak yang dimilikinya dalam hubungan hukum dengan perusahaan-perusahaan Belanda, diabaikan dan tidak menjadi satu dasar pertimbanganpun dalam perbincangan di seputar nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.[26]

Asumsi juridis terkait pengabaian tersebut boleh jadi dikaitkan dengan satu anggapan umum bahwa kekuasaan daerah-daerah swapraja tersebut telah hilang dengan dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat 2 UU tesebut berbunyi: “Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.”  Dan dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan :

“Di samping itu perlu di sini dijelaskan bahwa antara Kotapraja tidak diadakan perbedaan tingkat, kecuali mengenai ibukota Negara, yang mempunyai kedudukan dan riwayat sendiri. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini, menentukan bahwa daerah Swapraja itu dengan undang-undang pembentukan dapat dijadikan Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa. Hal itu berarti, bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada azasnya telah memenuhi kehendak pasal 132 Undang-undang Dasar Sementara. Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/ pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.”[27]

Apakah penghapusan seperti apa yang dijelaskan oleh UU No 1 Tahun 1957 tersebut dengan serta merta menihilkan hubungan-hubungan keperdataan yang telah terbentuk sebelumnya? Bagaimana menempatkan kontrak konsesi perkebunan antara Kesultanan-Kesultanan di Sumatera Timur dahulu dengan para pengusaha Belanda, yang jelas-jelas diakui sebagai hak perseorangan (persoonlijk rech) dan bukan hak kebendaan (zakelijk recht) oleh para penulis terdahulu dan Majelis Hakim Jerman di Bremen? Atau apakah Nasionalisasi boleh menegasikan hak-hak privat dari satu kelompok yang jelas-jelas merupakan anak bangsanya sendiri?

Dalam disertasi Robert van De Waal disebutkan bahwa de landbouw concessie  is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam disertasi tersebut juga ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan langkat yang mencakup 5493 perkebunan, tidak ada satupun yang berbentuk hak erfpacht (yang setelah tahun 1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak awal dituliskan dalam baynak bukti tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi. Dengan demikian jelaslah bahwa konversi konsesi menjadi HGU pada nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dalam mengambil dan menyatakan bahwa tanah-tanah eks konsesi adalah dibawah kepemilikan Pemerintah Indonesia[28].

Selain itu dapat ditegaskan juga bahwa di dalam hukum perdata internasional dikenal azas yang berbunyi “Lex rei sitae”. Menurut kaedah ini maka tercipta dan hapusnya dan karenanya juga beralihnya, hak-hak dan hak-hak atas benda-benda di atur oleh hukum daripada tempat dimana hak atau benda bersangkutan terletak. Kaedah tentang “lex situs” ini berlaku baik untuk benda-benda bergerak dan tidak bergerak. Lex situs ini juga dapat diperlakukan berkenaan dengan peralihan hak-hak benda yang didasarkan atas nasionalisasi. Negara didalam wilayah mana terletak benda yang terkena oleh nasionalisasi adalah yang akan memutuskan apakah suatu perundang-undangan nasionalisasi  secara effektif telah  mengalihkan hak milik kepada fihak negara. Martin Wolff telah mengaskan hal ini. Penulis ini menetapkan lebih jauh bahwa sepanjang dekrit konfiskasi bersangkutan berkenaan dengan benda-benda yang terletak di dalam wilayah negara yang melakukan konfiskasi itu, maka akibatnya ialah peralihan titel hak milik kepada negara yang bersangkutan dan ini akan diakui dimana-manapun (this will be respected everywhere) juga dalam hal bahwa benda-benda yang dikonfiskasi adalah kepunyaan daripada seorang asing dan bukan dari warganegara, negara yang melakukan konfiskasi[29].

Pasal 1 UU No.86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda menyatakan bahwa: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas negara Republik Indonesia. Dalam pasal 1 PP No.2/1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (LN 1959, No.5) dinyatakan yang dikenakan nasionalisasi adalah seluruh kekayaan dan harta cadangan baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang merupakan hak atau piutang. Norma hukum yang sangat jelas ini membimbing kita kepada sebuah kesimpulan bahwa harta/kekayaan atau apapun yang melekat pada perusahaan Belanda tersebut, namun bukan merupakan kekayaannya, seperti tanah konsesi dan hak-hak yang melekat pada pemilik sah yakni Kesultanan Deli dan kesultanan-kesultanan lainnya pada masa itu dengan pasti dan sah tidak bisa dinasionalisasikan menjadi milik Republik Indonesia.

Kelihatannya pemerintah Indonesia saat itu menyamaratakan saja kualitas daerah swapraja yang ada di Jawa dan Sumatera (khususnya daerah-daerah swapraja di pesisir timur Sumatra Utara). Padahal konstruksi perjanjian konsesi yang ada antara kesultanan-kesultanan tersebut dengan para pengusaha Belanda, sama sekali hampir tidak ditemukan di wilayah manapun di Jawa. Dengan kata lain, kontrak-kontrak jangka panjang perkebunan yang di pegang oleh perusahaan Belanda di Jawa dibangun berdasarkan hak-hak kebendaan sejenis erfpacht di atas daerah-daerah langsung yang dikuasai Gubernemen dan pihak-pihak yang ada di dalamnya hanyalah pemerintah Gubernemen dan pengusaha-pengusaha Belanda, sementara konsesi yang dibuat di Sumatera Timur dulu adalah kontrak privat jangka panjang antara dua subjek hukum perdata, yakni kesultanan dan pengusaha-pengusaha Belanda.

Nasionalisasi, Indonesianisasi, Konfiskasi atau apapun namanya, pada akhirnya menyebabkan hilangnya satu hak orisinil yang ratusan tahun dimiliki oleh orang-orang Melayu di daerah ini, lebih disebabkan kebutaan atas fakta hukum dan sejarah penguasaan tanah serta  stigmatisasi yang dihujamkan ke tengah-tengah jantung kehidupan Kesultanan dan masyarakat adat di wilayah ini sebagai kelompok komparador Belanda, feodal dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Satu stigma yang satu dekade sebelum Nasionalisasi pernah dilayangkan dan mengakibatkan terbunuhnya keluarga-keluarga kerajaan dan masyarakat biasa orang Melayu di Sumatera Timur.[30]


[1] Sanusi Achmad, The Dynamics of The Nationalization of Dutch-Owned Enterprises in Indonesia: A Political, Legal, Economic Development and Administrative Analysis. Indiana University, 1963, hal.121.

[2] Ibid. Hal.123.

[3] Ibid. Hal.127. Lihat dasar “Menimbang” dari UU Nasionaliasi  Perusahaan Belanda No.86 Tahun 1958.

[4] Lebih lanjut lihatlah Vertaling Parlementaire Stukken m.b.t.  Wet op de Nasionalisatie van Nederlandse Bedrijven. ‘S-Gravenhage, 6 February 1959.

[5] The Bremen Tobacco Case. Departement of  Information, Republic Indonesia, Jakarta, 1960: hal. 18.

[6] Gordijn, Wim. Ambil Alih: Overname van Nederlandse Bedrijven in Indonesie in 1957/1958.  Doktoral Werkgroup “Nederlanders in Indonesie 1950-1960. Leiden, KITLV 2010: Hal. 4.

[7]  NRC, 19 Agustus 1957.

[8] Lihat van de Kerkhof, Jasper. Indonesianisasi of Dutch Ecnomic Interests, 1930-1960: The Case of Internatio,. Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde, 161.2/3. Leiden, KITLV, 2005:  Hal.188. Lihat Juga, Bank,J.Th. Rubber, Rijk and Religie; De Koloniale Trilogie in de Indonsische Kwestie 1945-1949.  Bijdragen en Mededelingen betreffende de Geschiedenis der Nederlanden, 1996: Hal. 230-259. Usaha-usaha untuk Belanda untuk tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia terus berlanjut dengan Perjanjian Renville (1948) dan Agresi kedua menyusul pada bulan desember 1948, dan akhirnya ditutup dengan Perjanjian Meja Bundar di Den Haag, dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949).

[9] Pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 berbunyi: “(ayat 1) Kepentingan Bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-Undangan yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. (ayat 2)  Hak, Konsesi, Ijin dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan Negara. (ayat 3) Perlakuan sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat di dasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apa juapun.

[10] Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut, keluarlah sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusn Penguasa Militer No.PM/KPTS-0042/12/57 tentang Mengawasi Langsung semua Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0045/12/57 tentang Mengambil Over Wewenang Beheer pada Semua Macam Perusahaan-Perusahaan Belanda, Peraturan Penguasa Militer No. PM/PR-006/12/57 tentang Pembatasan Kebebasan Bergerak bagi Warga Negara Belanda.

[11] Selanjutnya dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Peternakan dan Susu (11 perusahaan),  PP No.18 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas (9 perusahaan terkena nasionalisasi termasuk seluruh jaringan/cabang di daerah). PP. No.39 Tahun 1959,  Nasionalisasi Bang Dagang Nasional (Nationale Handelsbank). PP. No.50 tahun 1959, Nasionalisasi perusahaan pertambangan (seratus enam puluh satu perusahaan terkena nasionalisasi). PP No.1 Tahun 1960, Nasionalisasi perusahaan Farmasi  (sembilan perusahaan terkena nasionalisasi) dan ( PP. No. 13 Tahun 1960, Nasionalisasi  PT.Escompto Bank.

[13] Dewan Pimpinan Banas langsung dipegang oleh Perdana Menteri dengan sejumlah Kementerian terkait, sementara Pengurus Harian dipercayakan kepada Menteri Keuangan, Menteri Negara Urusan Stabilitas Ekonomi dan Wakil Kementrian Pertahanan. Lihat Pasal 2 PP No.3 tahun 1959.  Sebelumnya satu badan adminsitrasi untuk mengurus Perkebunan dibentuk, yakni Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 10 tahun 1957

[14] Pasal 17 UUD Sementara 1950 berbunyi:” Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat-menjurat tidak boleh diganggu gugat, selainnja dari atas perintah hakim atau kekuasaan lain jang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan dan undang-undang dalam hal-hal jang diterangkan dalam peraturan itu.” Pasal 234 KUH Pidana berisi menyatakan bahwa:” Barang siapa dengan sengaja menarik dari alamatnya, membuka, atau merusak suzat-surat atau barang-barang lain yang diserahkan ke kantor pos atau kantor telegram, atau yang telah dimasukan dalam kotak pos atau dipercayakan kepada seorang pembawa surat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Dan Pasal 570 KUH Perdata berisi:” Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

[15] The Netherlands International Law Review, Vol.VI, July 1959, hal.287. Lemaire, seorang ahli Hukum Belanda, membuat satu karangan khusus yang disampaikan dalam sebuah ceramah di Leiden, untuk menunjukkan bagaimana kecamannnya terhadap tindakan Nasionalisasi dari sudut pandang Hukum Perdata Internasional. Lihat Lemaire, WLG. De Onderbeheerstellingen en de Nasionalisaties van de Nederlandse Bedrijven in Indonesia. Leiden, Rechtsgeleerd Magazijn Themis. Aflevering 4, 1959.

[16] Friedman. S.. Expropriation in International Law. London, Stevens, 1953: hal.132, 190. Herz, J.H. Expropriation  of Foreign Property. American Journal of International Law, Vol.35. 1941. Hal. 249, 251, 253.

[17] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 149.

[18] Pasal 44 berbunyi : “Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero, atau yang lain-lainnya  yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa penerima upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris.

[19] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 158.

[20] Siong, Gouw Giok. Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia. Jakarta, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia, 1960: hal. 152.

[21] Ibid. Hal.153.

[22] Siapa yang menanam, melakukan pekerjaan dan kemudian menggara panen tembakau tahun 1958 ini? PPN Baru! Segi Hukum ini disarankan oleh, ahli Hukum Adat, Prof.Dr. Soekanto SH, Gurubesar Hukum pada Universitas Indonesia. Pihak Penggugat rupanya agak tercengan terhadap alasan penggunaan hukum adat ini. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa hukum adat akan dikeluarkan sebagai pembelaan. Sejhak semula  seluruh pembelaan mereka  telah didasarkan  atas hukum Barat, hukum Eropah,  pasal-pasal yang dikenal dalam Burgerlijk Wetboek.  Lebih lanjut lihat Siong, Ibid.

[23] Domke, Martin menyatakan hal yang relatif sama: “ In the opinion of the German Court, concession rights did not give a jus in rem to the Dutch Companies, since they had not availed themselves  of a registration of their rights  in the nature of heredity rights to lease (erfpachtrechte) whic procedure was available under Indonesian law. Moreover , on September 1, 1951, a Land Return Agreement was concluded between the Indonesian State and the Plantation holders, whereby the Dutch Companies, in exchange o partial return of plantations, were allowed to retain all other concessions, the greater part of which had already expired, or were about to expire within a short time, for an additional thirty years.” Lihat Domke, Martin. Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts. The American Journal of International Law. Vol.54 No.2 , April 1960. Hal.309.

[24] Article 100 (2)  of The Basic Law of The Federal Republic Germany, The Born Constitution of 1949 provides that: “ if in a litigation it is doubtful whether a rule of international law forms part of federal law and whether it creates direct rights and duties for the individual (Art.25), thecourt shall obtain the decision of the Federal Constitutional Court.”

[25] Ibid. Hal.176. lihat juga, Siong, Op.cit. Hal. 163.

[26] Dalam notulensi  rapat Parlemen Indonesia tentang Nasionalisasi, tak satupun diungkap soal hak-hak tanah adat (tanah swapraja) yang menjadi objek perjanjian antara Kesultanan dengan Pengusaha Belanda. Notulensi setebal lebih kurang 100 halaman itu disana-sini hanya membahas soal-soal terkait argumentasi politik untuk pembebasan Irian Barat, Perusahaan-Perusahaan Belanda yang akan dinasionalisasi dan hal-hal lain terkait kompensasi yang akan dilakukan. Lebih jauh lihat Vertaling dst.. Loc.cit.

[27] UU No.1 Tahun 1957 yang disebutkan di atas sekaligus menghapus UU pertama yang mengatur Pemerintahan Daerah, yakni UU No. 22 tahun 1948, UU Negara Indonesia Timur No.44 Tahun 1950 dan  peraturan-peraturan lainnya mengenai Pemenrintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tanggaya sendiri.

[28] Van de Waal, Robert. Richtlijnen voor Een Ontwikkelinsplan voor de Oostkust van Sumatra. Wageningen, 20 November 1950. Hal. 54 dst.)

[29] Wolff, Martin. Private International Law, Oxford, 1950, cetakan kedua, hal.522 dst. Kata “bukan dari warga negara yang melakukan konfiskasi, sengaja dicetak tebal oleh penulis, untuk menunjukkan bahwa nasionalisasi tidak bisa diberlakukan kepada hak-hak dan benda-benda yang merupakan milik dari warga negara yang melakukan nasionalisasi tersebut.

[30] Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu.

Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara:

Diantara Inkonsistensi dan Stigmatisasi

Oleh Edy Ikhsan

  1. Latar: Balas Dendam dan Penguatan Ekonomi Rakyat

Nasionalisasi 1958 merupakan sebuah keputusan sejarah nasional dalam politik Indonesia. Keputusan tersebut diambil di bawah sebuah kondisi politik internal yang tidak stabil dan tatkala ketegangan dengan pemerintah Belanda berada dalam klimaksnya. “Based on the moral strength of nationalism and guided by a government under  the more or less  direct personal blessing of Presiden Soekarno as te real element of political power, the nationalization turned out to be a political victory in the contest with the dutch victory. Furthermore it made  an effective groundwork for the start of implementation of the concept of guided economy[1]

Kritik, kecaman, perlawanan terhadap tindakan nasionalisasi datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, tindakan ini dilihat sebagai sebuah manuver politik pemerintah Soekarno dari situasi keputusasaan dalam meningkatkan ekonomi Indonesia, sementara dari luar, utamanya dari Pemerintahan/ Pengusaha Belanda melakukan perlawanan dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno adalah bertentangan dengan hukum, terutama dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Sejumlah negara memberikan dukungan kepada Belanda, namun dalam seluruh proses hukum yang terjadi, tuntutan Belanda mengalami kegagalan. “Politically  the prospect of nationalization might be said to be real contribution to stabilization.”[2]

Salah satu alasan penting mengapa tindakan nasionalisasi harus dilakukan adalah bahwa pengambil-alihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Dengan 7 pasal yang dituangkan dalam UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No.86 tahun 1958 (undang-undang yang sangat singkat sekali), dan disyahkan pada tanggal 31 Desember 1958, serta berlaku surut (retroaktif) mulai tanggal 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pendangan pemerintah selanjutnya, dikatakan, bahwa nasionalisasi ini pada akahirnya akan bertumpu pada dua tujuan yang saling berhubungan, yakni ekonomi dan keamanan negara. Dengan yang pertama, negara mempunyai peluang untuk meningkatkan ekonomi rakyat melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan konsolidasi menyeluruh asset-asset bangsa. Sementara dengan yang kedua, nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan Republik dari intervensi luar.[3]

Apa yang disebutkan dalam alinea di atas tergambar dari penjelasan H.A Chamid Wijaya salah seorang anggota parlemen dari fraksi Nahdatul Ulama (NU) dalam rapat akhir penyusunan UU Nasionalisasi. Dalam salah satu uraiannya, beliau mengatakan: “Nadat  het Indonesische volk 13 jaar geleden de vrijheid en eigen staat heeft verkregen, kwamen deze idealen naar voren en verlangden zij prioriteit van uitvoering. …Mijnheer de voorzitter, het begin van de maand December 1957 heeft ook zo’n periode betekend, die de wereld voldoende duidelijk heeft gemaakt, dat het Indonesische volk vanaf dat tijdstip nog intensiever  zijn nationaal-economische fundamenten zou oprichten; het verwijderen van van een handicap voor de verwezenlijking van een nationaal economie.[4]

Satu penjelasan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia menyebutkan: “The reasons Indonesia embarked upon these measures were not, however, solely, economic. Psychological factors also played an important role. For centuries Indonesia  had been discriminated against by the colonial power. The people had been deprived of the land which, under adat law, was to be cultivated by the village community, and both men and women had been forced to work for Dutch enterprises under inhuman conditions.”[5] Namun soal tekanan dibawah sisa dominasi kolonial hanyalah satu hal. Kondisi ekonomi yang semakin parah adalah hal lain yang sangat signifikan mendorong tindakan Nasionalisasi ini dilakukan. Menurut sejumlah ahli dalam lapangan ekonomi/keuangan[6] krisis ekonomi telah berlangsung sejak pengambilalihan kekuasaan 1949. “Gedurende  de jaren 1955 en 1956 was de produktie van de cultuurondernemingen geleidelijk gedaald. Voor een del  was dit het gevolg van de toenemende onevenwichtigheid tussen de kostprijzen  en de prijzen op de wereldmarkt. Faktoren die hadden  geleid tot  lagere produktie waren onder meer onvoldoende arbeids reserve en produktiviteit, onwettige occupaties verslechtering van het irrigatiesysteem en de onzekerheid op het gebied van de agrarische wetgeving.[7]

Kekhawatiran Belanda atas hak dan property yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swastanya di Indonesia pasaca kemerdekaan jelas kelihatan dari bagaimana mereka mencoba mekonstruksikan bangunan perlindungan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut di dalam perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Dalam pasal 14 Perjanjian tersebut disebutkan bahwa: “Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.

Namun menurut van de Kerkhof, gagasan pasal 14 itu hanya ilusi belaka dan tidak bisa dijalankan dalam memberikan perlindungan perusahaan Belanda di Indonesia. “The opposition of the Indonesian nasionalists and militant labour unions, illegal occupations of estate lands (“squatting”) and the unwillingness of Dutch authorities to withdraw their troops made implementation of article 14 a slow and frustrating process.”  Empat bulan setelah Perjanjian Linggarjati disepakati, Belanda melakukan agresi pertamanya (Juli 1947), dengan memakai sandi “operation product”, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan perusahaan-  perkebunan dan ladang-ladang minyak potensial di Jawa dan Sumatra. Operasi tersebut berhasil “membebaskan”  sekitar 1000 perkebunan dan pabrik-pabrik, namun kebanyakan dari perusahaan tersebut rusak dan hancur.[8]

Kekisruhan di atas sejumlah kegagalan dalam berbagai perundingan antara Indonesia dan Belanda, utamanya, tentang kedaulatan masing-masing negara di wilayah bekas Hindia Belanda, mencapai klimaksnya dalam urusan Irian Barat dan kegagalan mengimplementasikan Perjanjian Meja Bundar. Di penghujung tahun 1957, Soekarno mengambil sikap yang tegas untuk mengambil alih seluruh perusahaan Belanda di Indonesia sebagai reaksi terhadap sikap Belanda terhadap wilayah paling timur dari nusantara. Melalui UU No.13 tahun 1956, Indonesia membatalkan hubungannya dengan Belanda  berdasarkan Perjanjian Meja Bundar tersebut.[9]

Di Sumatera Utara, melalui Pengumuman Penguasa Militer No PM/Peng 0010/12/57 pengambilalihan aset perusahaan Belanda dimulai. Pengumuman itu singkatnya berbunyi: (1) Perjuangan Pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia, di bawah pimpinan Pemerintah Republik Indonesia; (2) Tindakan dalam rangka pembebasan Irian Barat harus senantiasa dilaksanakan dengan tertib dan teratur.. dst (3) Penguasaan (pengoperan kekuasaan) atas perusahaan-perusahaan dll. milik Belanda hanya dilakukan berdasarkan keputusan Pemerintah atau Penguasa Militer dengan cara yang ditentukan; (4) ….Tindakan-tindakan liar dan di luar hukum tidak luput dari pemeriksaan dan tuntutan menurut hukum yang berlaku di Negara kita; (5) Tindakan sendiri-sendiri terhadap perusahaan Belanda oleh orang-orang atau golongan tidak dibenarkan.. (6) dst…[10]

Kehati-hatian dalam pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda ini tercermin dari satu amanat yang dikeluarkan Panglima T&T-I/Bukit Barisan yang intinya berbunyi:” Perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi sosial, yang bagi kehidupan rakyat dan negara sangat penting artinya. Oleh sebab itu rakyat dan negara sangat berkepentingan akan kelanjutan dan kesempurnaan jalannya perusahaan-perusahaan tersebut. Lepas dari persoalan siapa yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut, adalah  kewajiban Pemerintah, demi keselamatan Rakyat menjamin lancarnya  perjalanan perusahaan-perusahaan tersebut. Harus dicegah dengan sekuat tenaga, perbuatan-perbuatan merusak atau mengganggu perjalanan perusahaan.” Sekitar satu tahun setelah tindakan nyata di lapangan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia tersebut, barulah disahkan UU No.86 tahun 1958 seperti yang disebutkan dalam beberap alinea terdahulu.

  1. Undang-Undang Nasionalisasi: Kecaman dan Pembelaan

Pasal 1 UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 merupakan jantung dari apa yang dimaui oleh negara dalam “balas dendam politik” terhadap Belanda. Pasal 1-nya berbunyi: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan  dinyatakan menjadi milik yang penuh  dan bebas Negara Republik Indonesia.”  Secara tegas juga, UU ini menyatakan bahwa Onteigeningsordonantie (Stb.1920. No.574). Ordonansi Pencabutan Hak, tidak berlaku dalam konteks nasionalisasi ini. Ordonansi ini memberikan jaminan bahwa tiap orang tidak boleh dicabut atau diambil kekayaan, milik atau haknya tanpa proses hukum di depan pengadilan. Menurut Negara, Ordonansi ini hanya berlaku untuk urusan-urusan pribadi (individual  expropiriations), sementara UU Nasionalisasi ini mempunya sifatnya yang umum (general characters). Alasan lainnya adalah bahwa Ordonansi Pencabutan Hak dibentuk dalam sebuah sistem hukum yang berbasis pada supremasi hak-hak individual, sementara UU Nasionalisasi dikembangkan dalam sebuah sistem hukum yang berorientasi pada fungsi sosial dari kepemilikan privat (individu).

Untuk melaksanakan UU ini, Pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah Peraturan Pemerintah. Lima  dari sejumlah Peraturan Pemerintah yang terkait dengan pembahasan ini adalah Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan  Belanda, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda, Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dengan Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian[11]

Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda sekurang-kurangnya mengatur dua hal penting. Yang pertama, tentang Sifat dan isi Perusahaan Belanda yang dinasionalisasi[12] dan Badan/Panitia Penampung Perusahaan, Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Badan Penetapan Ganti Kerugian (pasal 4 s/d pasal 6). Badan/Panitia Penampung Perusahaan yang dimaksud adalah meneruskan Badan yang sudah dibentuk berdasarkan  Peraturan Pemerintah No.23 tahun 1958. Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda akan dibentuk tersendiri untuk menentukan kesegaragaman dalam pelaksanan nasionalisasi perusahaan Belanda. Badan Penetapan Ganti Kerugian sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Wakil Kementrian Kehakiman sebagai Ketua, b. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Wakil Ketua dan c. Wakil Kementrian Keuangan sebagai Anggota.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1959 berbunyi:  (ayat 1) “Perusahaan-perusahaan milik  Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi menurut pasal 1 Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda  (UU No.86/1958) adalah: a. Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda dan bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. b. Perusahaan milik sesuatu Badan Hukum yang seluruhnya atau sebagian modal persoraannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warganegara Belanda dan Badan Hukum itu bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. c. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan  warganegara Belanda yang bertempat kediaman di luar wilayah Republik Indonesia. d. Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan milik sesuatu Badan Hukum bertempat-kedudukan dalam wilayah Kerajaan Belanda.

Sanusi memerinci pasal di atas dengan mengatakan: “A careful examination of this  article suggests that the categories are based on three criteria: the seat of the enterprises, the ownership,  and the place of domicile of the owner. It is clearly stated that the seat of the enterprises should be in Indonesia. The second criterion is  ownership which is defines as meaning that the enterprises in question should be owned by the Dutch citizen or a Dutch juridical person (Rechtspersoon). The third criterion is the domicile of the owner, it makes no difference they reside in Indonesia or in the Netherlands Kingdom, or anywhere else.

Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1959 tentang Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, disingkat “Banas”. Tugas penting yang diemban oleh Banas adalah menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dengan menentukan garis kebijaksanaan dan mengawasi Badan-Badan Penampung, menentukan perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I (Pemerintah Provinsi), menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat pemberlakuan UU Nasionalisasi dan pendelegasian penyelesaian persoalan-persoalan dimaksud kepada Pengurus Harian.[13]

Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda menyebutkan adanya 38 perkebunan tembakau yang dinasionalisasi, dan 22 diantaranya adalah perkebunan tembakau yang berada di Sumatera Utara. Dalam dasar pertimbangan Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa perusahaan pertanian/perkebunan tembakau adalah merupakan cabang produksi yang penting

bagi masyarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Keduapuluh dua perkebunan tembakau dimaksud adalah sebagai berikut:

No.Nama PerkebunanLokasiPemilik
1.Bandar KlippaDeli/SerdangNV Vereenigde Deli Mij
2.Bulu TjinaDeli/SerdangIdem
3.HelvetiaDeli/SerdangIdem
4.Klambir LimaDeli/SerdangIdem
5.KloempangDeli/SerdangIdem
6.Kwala BegomitLangkatIdem
7.Kwala BingeiLangkatIdem
8.MariendalDeli/SerdangIdem
9.Medan EstateDeli/SerdangIdem
10.Padang BrahrangLangkatIdem
11.Rotterdam ABDeli/SerdangIdem
12.SaentisDeli/SerdangIdem
13.SampaliDeli/SerdangIdem
14.TandemDeli/SerdangIdem
15.Tandem IlirDeli/SerdangIdem
16.Tandjoeng DjatiLangkatIdem
17.Timbang LangkatLangkatNV. Sinembah Mij.
18.Batang KwisDeli/serdang`Idem
19.Kwala NamoeDeli/SerdangIdem
20.Pagar MarbauDeli/SerdangIdem
21.PatoembahDeli/SerdangIdem
22.Tanjong MorawaDeli/SerdangIdem

UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958 bukan tidak mendapatkan kecaman dan tantangan yang hebat dari sisi juridis. Secara material, UU ini setidaknya mengandung kecacatan dalam beberapa hal: pertama, walaupun berulang kali dikatakan dalam UU No.86 tahun 1958 bahwa tindakan Nasionaliasi konsisten dengan pembatalan hubungan Indonesia – Belanda berdasarkan perjanjian Konprensi Meja Bundar (KMB) cq. UU  No.13 Tahun 1956, namun jika dikonfrontir dengan pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 yang berbunyi : “Kepentingan bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-undangan  yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. Hak, konsesi, izin  dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara. Perlakuan  sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat didasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apapun.”, tidak menunjukkan suatu sikap konsistensi. Dengan kata lain, pasal 7 tersebut masih  mewajibkan negara untuk mengindahkan hak-hak yang dimiliki perusahaan Belanda walaupun dengan catatan tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan negara.  Selain itu sebenarnya dengan UU No.13 tahun 1956 saja, Belanda sudah tidak mendapatkan hak privelege yang membedakan mereka dengan warganegara atau perusahaan asing lainnya seperti yang selama ini mereka dapatkan.

Kedua, Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia jelas untuk melakukan kampanye pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Kampanye ini dilakukan dengan cara-cara bagaimana kepemilikan privat tersebut diambil secara “paksa” untuk dijadikan milik negara. Indonesia juga menolak untuk mengajukan sengketa dengan Belanda ini ke depan Mahkamah Internasional. Cara-cara ini dilihat sebagai sesuatu yang diambil secara sepihak dan dengan maksud untuk menghapuskan hak-hak privat orang lain (dalam hal ini individu atau badan hukum Belanda). Dalam konteks ini, Indonesia bisa dikategorikan telah melakukan detournement de pouvoir (penyalah gunaan kekuasaan, abuse of power).

Ketiga, prakteknya, nasionalisasi bermakna penghapusan seluruh hak-hak perdata dari individu dan perusahaan Belanda. Ini berarti bahwa perusahaan, harus merelakan seluruh kekayaan, kantor-kantor, dokumen-dokumen, surat-surat berharga, uang, data-data keuangan dan segala benda-benda yang dimiliki mereka di Indonesia. Semua surat-surat korespondensi diambil dan dibuka oleh pegawai Indonesia yang ditunjuk, tindakan mana bertentangan dengan  pasal 17  UUD Sementara 1950 dan pasal 234 KUH Pidana. Pendek kata mereka kehilangan seluruh hak-hak sebagai pemilik berdasarkan pasal 570 KUH Perdata.[14]

Keempat, Keputusan Menteri Pertama No.485/MP/1959 menyatakan bahwa jika di dalam perusahaan tersebut ada pemilik asing non Belanda, maka kompensasi akan dibayar terlebih dahulu  kepada orang asing bukan berkebangsaan Belanda. Hal ini bertentangan dengan pasal 2 dari UU Nasionalisasi yang secara tersirat menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam pembayaran kompensasi. Selain itu, Nasionalisasi dianggap merupakan pelanggaran (violation) terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, utamanya adalah prinsip-prinsip non dsikriminasi.

Terkait dengan sifat nasionalisasi yang diskriminasi, Henri Rolin, mengatakan bahwa Undang-Undang tersebut secara jelas ilegal dengan alasan bahwa ia hanya menyentuh satu golongan orang dan badan hukum Belanda. Mc Nair dan Verdross menekankan lebih lanjut apa yang dikatan Rolin dengan mengatakan bahwa dikatakan diskriminasi dan ilegal karena ukuran untuk nasionalisasi tersebut  ditujukan hanya pada untuk kelompok asing.[15] Keputusan nasionaliasi yang dianggap diskriminatif tersebut sangat tidak sesuai secara momentum perdamaian dalam hukum Internasional. Selain itu, prinsip non diskriminasi dalam nasionalisasi sudah dianut oleh kebanyakan ahli –ahli teori dan peradilan internasional atau arbitrase.[16] Apalagi dalam isi Konprensi Meja Bundar, diterakan juga soal garansi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Inilah yang menyebabkan menurut sejumlah ahli Hukum Internasional, the nationalization was incompatible with Indonesia’s obligation vis a vis  the Netherlands arising from treaties whic are still in force.[17]

Sejumlah argumentasi juridis di atas dalam realitasnya ternyata tidak dengan serta merta mampu membingkai opini utama atas cara-cara atau tindakan nasionalisasi yang dipakai Indonesia pada saat itu. Ada sejumlah argumentasi yang dipergunakan melawan pikiran, pendapat dan teori yang digunakan. Pertama, Soal nasionalisasi adalah soal penting untuk melepaskan diri secara utuh dari cengkeraman Asing dan ini merupakan sebuah kesadaran bersama yang dimiliki oleh mayoritas rakyat Indonesia. Ia sudah menjadi rechtbewustzijn (Kesadaran Hukum) dari rakyat Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya menjadi sumber bagi filsafat hukum tapi juga bagi hukum positif. Dan sejalan dengan hal tersebut maka, kehadiran UU Nasionalisasi sebagai sebuah perangkat UU resmi yang dihasilkan oleh rezim yang resmi bisa membatalkan produk-produk hukum lain yang lebih rendah atau setara dengannya. Pasal 570 KUHPerdata dan pasal 44[18] dalam KUH Dagang misalnya, dengan berlakunya UU Nasionalisasi, secara normatif, kehilangan kekuatannya. Doktrin Lex Posterior derogat Lex Anteriori berlaku dalam konteks ini.

Kedua, Dalam pendekatan konstitusional, Gugatan yang mengatakan bahwa UU Nasionalisasi itu ilegal adalah tidak beralasan. Malah sebaliknya produk-produk hukum  kolonial-lah yang sebenarnya bertentangan dengan banyak sendi-sendi keadilan sosial rakyat. Ini bisa ditunjukkan melalui misalnya  pasal 570 KUH Perdata yang memberikan hak absolut kepada individu untuk menguasai benda/kekayaan berbasis zakelijke rechten. Sebaliknya UU Nasionalisasi yang beralaskan UUD Sementara 1950 bisa merujuk kepada pasal 26 ayat 3 yang menyatakan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Selain itu UU Nasionaliasi ini juga sudah menyesuaikan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam pasal 27 UUD Sementara 1950 yang berbunyi: Pentjabutan hal milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.” Apabila sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun, baik untuk selama-lamanja maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum; maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang, ketjuali djika ditentukan jang sebaliknja oleh aturan-aturan itu.” Cara menunjukkan langsung pasal-pasal penting dalam konstitusi ini penting untuk memperlihatkan mana yang ilegal dan mana yang tidak dalam kasus ini.

Ketiga, terkait dengan tudingan diskriminasi yang dilancarkan kepada UU Nasionalisasi ini, faktanya tidak seperti apa yang kelihatan muncul di permukaan. Situasi empirisnya menunjukkan bahwa Perusahaan Belanda masih menikmati sebuah posisi ekonomi yang cukup tinggi dibanding modal asing lainnya. Diperkiraan Belanda masih mengontrot 30 sampai dengan 40 persen ekonomi Indonesia.[19] Selain itu, UU Nasionalisasi ini juga bisa berlaku untuk pengusaha asing Non-Belanda, dan itu bisa terlihat dari penyebutan “wholly or partly Dutch-Owned”  (Sepenuhnya atau Sebahagian dimiliki oleh Belanda) dalam UU Nasionaliasi.

Keempat, Ada anggapan yang mengatakan bahwa illegality dari UU Nasionaliasi terletak pada penghentian prematur atas kontrak konsesi yang ada. Secara umum (internasional) diakui bahwa kontrak konsesi menimbulkan hak dan kewajiban yang tidak bisa dicampuradukkan atau diintervensi secara langsung oleh UU Negara, melainkan semestinyalah merujuk kepada aturan-aturan dalam kontrak konsesi (lex contractus), kecuali di dalam kontrak konsesi tersebut dinyatakan lain. Sayang sekali butir-butir tersebut tidak ditemukan dalam UU Nasionalisasi, dan oleh karena itu Indonesia, tidak bisa di bawa ke dalam sidang arbitrase internasional. Argumentasi terakhir dari sisi pemerintah Indonesia ini menunjukkan secara jelas dimana posisi negara saat kontrak konsesi tersebut dibuat. Atau dengan kata lain, mengapa klausule dalam alinea di atas tidak tercantum dalam kontrak konsesi. Hal tersebut seluruhnya  dikarenakan negara (Indonesia) memang tidak atau bukan dari contracting partners dalam kontrak konsesi tersebut, melainkan dalam kasus kontrak konsesi perkebunan adalah Kesultanan dan Perusahaan Asing. Ini satu sisi yang tidak banyak menjadi tinjauan dari scholars yang menulis tentang Nasionalisasi 1957/1958.

  1. Kasus Bremen: Anasir Hukum Adat dalam Peradilan Asing

Gugatan yang dilakukan oleh Vereningde Deli Mij dan Senembah Mij terhadap Pemerintah Indonesia, dipicu oleh pemindahan pasar lelang tembakau dari Belanda (Amsterdam dan Rotterdam) ke Jerman (Bremen), pembentukan German-Indonesian Tobacco Trading Company of Bremen dan masuknya 5000 bal tembakau pertama ke pelabuhan Bremen, hasil panen tahun 1958. Gugatan ini adalah titik kulminasi setelah sejumlah kejadian-kejadian pasca nasionalisasi, antara lain: Baik Deli Mij maupun Senembah Mij tidak lagi mau mengakui perjanjian yang ada dengan pemerintah Indonesia terkait ekspor tembakau dengan alasan mereka tidak terikat lagi dengan perjanjian yang ada pasca nasionalisasi, Kedua perusahaan menggugat Cabang Bank Indonesia di Amsterdam dan menolak untuk membayar semua hutang-hutang mereka, yang ditaksir mencapai angka 80.000.000 (Delapan puluh Juta) Gulden (H.Fls, Holland Florijns).

Dasar hukum para penggugat untuk memajukan tuntutan ini ialah bahwa mereka ini menganggap diri mereka sebagai eigenaren yang sah dari tembakau sengketa. Tembakau ini adalah hasil daripada tanah-tanah  perkebunan mereka di Sumatera. Mereka mempunyai  hak-hak konsesi perkebunan (landbouwconcessie) atas tanah bersangkutan.  Hak-hak ini menurut pendirian para penggugat adalah hak-hak yang bersifat kebendaan (zakelijken aard). Walau seorang lain telah menanam tembakau di atasnya dan kemudian telah menggarapnya, tembakau ini tetap menjadi hak eigendom dari para penggugat.[20]

Ada tiga tuntutan utama dari pihak Deli dan Senembah Mij dalam kasus yang sangat terkenal ini. Pertama, Meminta kepada Bremen District Court untuk menyatakan bahwa 5000 bal tembakau tersebut adalah milik Deli dan Senembah Mij. Kedua, Menyatakan bahwa UU Nasionalisasi No.86 Tahun 1958 adalah bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum terutama dalam konteks ekstra-teritorial. Ketiga, memberlakukan pasal 30 Hukum Perdata Jerman, yakni untuk menempatkan kasus ini sebagai pelanggaran hukum Internasional yang genting. Dalam konteks ini juga mereka meminta pengadilan mengeluarkan putusan sela agar tembakau yang dipersengkatan disita terlebih dahulu dan memutuskan bahwa UU Nasionalisasi bertentangan dengan Hukum Internasional.

Dalam isu terkait siapa yang sebenarnya harus dianggap sebagai pemilik tembakau tersebut, menurut Pemerintah Indonesia, mestilah diketahui terlebih dahulu hukum manakah yang sebenarnya harus diperlakukan  untuk tanah-tanah dengan hak konsesi pertanian ini. Setidaknya, Pemerintah Indonesia  menggunakan  tiga argumentasi atau dalil utama dalam pembelaan mereka di depan Pengadilan Bremen tersebut, yakni: Pertama, terkait persoalan hukum agraria antar-golongan: “Tanah-tanah konsesi pertanian ini merupakan tanah-tanah  yang termasuk domein swapraja (zelfbestuur) Sultan Deli dalam rangka susunan  tata kenegaraan yang berlaku tatkala diciptakan hak-hak tersebut. Tanah-tanah dari swapraja ini adalah tanah-tanah yang takluk di bawah hukum adat.”[21] Kedua, terkait berlakunya azas-azas Hukum Adat: “Jika Hukum adat  yang harus diperlakukan untuk  hubungan dengan asil panen ini, maka pihak yang menanam, yang mengerjakan dan kemudian mengarap adalah  pihak yang harus dipandang sebagai yang berhak atas panen , “Wie zaait die maait”, demikian salah satu sendi yang yang dapat dipertahankan dalam hukum adat.”[22]

Ketiga, terkait  hak konsesi pertanian bersifat hak pribadi: Pihak perusahaan Belanda mendalilkan bahwa konsesi perkebunan antara para Sultan beserta orang-orang besarnya dan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut sebagai hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dengan kata lain sebagai hak-hak erfpacht. Dengan demikian, seperti yang tertuang dalam pasal 721 KUH Perdat, seorang erfpachter  menikmati segala hak yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah ( De erfpachter oefent alle de regten uit, welke aan de eigendom van het erf verknocht zijn). Karena bersifat kebendaan, maka hak-mereka atas hasil tanaman dipandang lebih teguh, karena mempunyai suatu vruchttrekkingsrecht), namun pihak Indonesia membantah dan mengatakan ahwa sifat dari sebuah konsesi adalah merupakan hak perseorangan (persoonlijkrecht) yang dikenal dalam sistem hukum eropah.

Putusan Hakim dalam konteks ini menjadi sangat menarik bukan pada siapa yang dimenangkan melainkan ada pada cara pandang  yang dipakai, dimana berbagai anasir hukum lokal (adat) Indonesia dan hukum privat Belanda menjadi tulang punggung dalam pengambilan keputusan. Pandangan Hakim di Bremen adalah sebagai berikut: Pertama, Hukum Adat mengenal bahwa jika seseorang menyatakan hak kepemilikan atas sesuatu barang hasil pertanian maka yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dia yang menebar benih/bibit dan menanam produk tersebut. Hukum adat berkata: “Siapa yang menebar benih, dia yang memanen (wie zaait, die maait).” Dalam konteks ini, penggugat tidak bisa membuktikan bahwa mereka yang menebar bibit, menanam dan memanen produk tersebut akibat nasionalisasi pada Desember 1957. Kedua, Hukum perdata Barat tidak mengakui hak kekayaan atas sesuatu yang dihasilkan dari sebuah lahan konsesi yang tidak lagi dikuasai oleh pemegang konsesi saat panen itu berlangsung.

Atas dua pijakan di atas, Hakim Bremen seterusnya mengatakan bahwa konsesi dan seluruh administrasi perkebunan yang dikelola oleh PPN Baru atau administrasi Militer lokal adalah mewakili kepentingan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini bukanlah wali dari dua perusahaan yang mengajukan gugatan. Pemilik tanah, hasil panen dan administrasi perkebunan tersebut adalah pemerintah Indonesia. Maka jika kemudian pemerintah Indonesia, menanam, memanen, mengekspor hasil pertanian tersebut bukanlah untuk menjalankan tugas untuk dan atas nama penggugat, melainkan karena kewenangan yang mereka miliki sendiri.

Dalam uraian yang lain, Hakim Bremen mengatakan bahwa keputusan mungkin akan berbeda jika grant konsesi yang diajukan oleh penggugat memiliki sifat hak kebendaan (zakelijke rechten), yang tentunya tidak akan serta merta hilang atau berakhir akibat hilangnya hak penguasaan atas lahan. Pengadilan setelah melalui penelusuran literatur hukum dan jurisprudensi Indonesia menyatakan bahwa konsesi tersebut bersifat persoonlijke rechten. Sayang sekali, penggugat tidak berusaha mengajukan permohonan untuk melakukan perubahan dari persoonlijke rechten ke zakelijke rechten sesaat setelah  adanya negosiasi ulang berkaitan dengan pengelolaan perkebunan pada tahun 1951.[23]

Pengadilan Bremen tidak melihat sedikitpun bahwa kasus ini adalah sesuatu yang doubtful, dan oleh karena itu tidak ada kebutuhan utuk memberlakukan pasal 100 Hukum Perdata Jerman yang membuka peluang untuk mengajukan banding ke peradilan yang lebih tinggi atas pertimbangan bahwa kasus yang ditangani mememiliki karakter yang meragukan.[24] Bagi Hakim Jerman, legalitas dan validitas UU Nasionalisasi tahun 1958 tidak diragukan lagi sepanjang benda-benda yang dinasionaliasasi tersebut berada di negara yang melakukan nasionalisasi (Indonesia). Selain itu hakim berpandangan bahwa pasal 30 Hukum Perdata Jerman yang mengatur bahwa peraturan hukum luar negeri dapat dikesampingan oleh hakim Jerman, bilamana pemakaian ini akan merupakan pelanggaran terhadap  kesusilaan atau melawan tujuan  dari pada perundang-undangan Jerman serta hanya bisa dipakai dalam kasus-kasus yang  memenuhi satu unsur yang disebut inlandsbeziehungen, yakni sesuatu yang terkait dengan urusan dalam negeri Jerman, tidak bisa dipergunakan dalam konteks ini karena unsur tersebut tidak terpenuhi.[25]

  1. Salah Kaprah Nasionalisasi dan Hilangnya Hak Tanah Adat

Pemakaian anasir hukum adat dalam pembelaan-pembelaan hukum oleh para advokat yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam persidangan di Bremen di atas, secara tersirat, menunjukkan pengakuan Pemerintah Indonesia atas hak-hak yang dimiliki pemerintahan Swapraja dan masyarakat hukum yang menaunginya. Namun pengakuan tersebut yang juga diikuti oleh para hakim Bremen, tidak menunjukkan korelasinya dalam praktek sehari-hari di lapangan kehidupan masyarakat. Kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur dengan segala hak-hak yang dimilikinya dalam hubungan hukum dengan perusahaan-perusahaan Belanda, diabaikan dan tidak menjadi satu dasar pertimbanganpun dalam perbincangan di seputar nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.[26]

Asumsi juridis terkait pengabaian tersebut boleh jadi dikaitkan dengan satu anggapan umum bahwa kekuasaan daerah-daerah swapraja tersebut telah hilang dengan dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat 2 UU tesebut berbunyi: “Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.”  Dan dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan :

“Di samping itu perlu di sini dijelaskan bahwa antara Kotapraja tidak diadakan perbedaan tingkat, kecuali mengenai ibukota Negara, yang mempunyai kedudukan dan riwayat sendiri. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini, menentukan bahwa daerah Swapraja itu dengan undang-undang pembentukan dapat dijadikan Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa. Hal itu berarti, bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada azasnya telah memenuhi kehendak pasal 132 Undang-undang Dasar Sementara. Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/ pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.”[27]

Apakah penghapusan seperti apa yang dijelaskan oleh UU No 1 Tahun 1957 tersebut dengan serta merta menihilkan hubungan-hubungan keperdataan yang telah terbentuk sebelumnya? Bagaimana menempatkan kontrak konsesi perkebunan antara Kesultanan-Kesultanan di Sumatera Timur dahulu dengan para pengusaha Belanda, yang jelas-jelas diakui sebagai hak perseorangan (persoonlijk rech) dan bukan hak kebendaan (zakelijk recht) oleh para penulis terdahulu dan Majelis Hakim Jerman di Bremen? Atau apakah Nasionalisasi boleh menegasikan hak-hak privat dari satu kelompok yang jelas-jelas merupakan anak bangsanya sendiri?

Dalam disertasi Robert van De Waal disebutkan bahwa de landbouw concessie  is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam disertasi tersebut juga ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan langkat yang mencakup 5493 perkebunan, tidak ada satupun yang berbentuk hak erfpacht (yang setelah tahun 1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak awal dituliskan dalam baynak bukti tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi. Dengan demikian jelaslah bahwa konversi konsesi menjadi HGU pada nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dalam mengambil dan menyatakan bahwa tanah-tanah eks konsesi adalah dibawah kepemilikan Pemerintah Indonesia[28].

Selain itu dapat ditegaskan juga bahwa di dalam hukum perdata internasional dikenal azas yang berbunyi “Lex rei sitae”. Menurut kaedah ini maka tercipta dan hapusnya dan karenanya juga beralihnya, hak-hak dan hak-hak atas benda-benda di atur oleh hukum daripada tempat dimana hak atau benda bersangkutan terletak. Kaedah tentang “lex situs” ini berlaku baik untuk benda-benda bergerak dan tidak bergerak. Lex situs ini juga dapat diperlakukan berkenaan dengan peralihan hak-hak benda yang didasarkan atas nasionalisasi. Negara didalam wilayah mana terletak benda yang terkena oleh nasionalisasi adalah yang akan memutuskan apakah suatu perundang-undangan nasionalisasi  secara effektif telah  mengalihkan hak milik kepada fihak negara. Martin Wolff telah mengaskan hal ini. Penulis ini menetapkan lebih jauh bahwa sepanjang dekrit konfiskasi bersangkutan berkenaan dengan benda-benda yang terletak di dalam wilayah negara yang melakukan konfiskasi itu, maka akibatnya ialah peralihan titel hak milik kepada negara yang bersangkutan dan ini akan diakui dimana-manapun (this will be respected everywhere) juga dalam hal bahwa benda-benda yang dikonfiskasi adalah kepunyaan daripada seorang asing dan bukan dari warganegara, negara yang melakukan konfiskasi[29].

Pasal 1 UU No.86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda menyatakan bahwa: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas negara Republik Indonesia. Dalam pasal 1 PP No.2/1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (LN 1959, No.5) dinyatakan yang dikenakan nasionalisasi adalah seluruh kekayaan dan harta cadangan baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang merupakan hak atau piutang. Norma hukum yang sangat jelas ini membimbing kita kepada sebuah kesimpulan bahwa harta/kekayaan atau apapun yang melekat pada perusahaan Belanda tersebut, namun bukan merupakan kekayaannya, seperti tanah konsesi dan hak-hak yang melekat pada pemilik sah yakni Kesultanan Deli dan kesultanan-kesultanan lainnya pada masa itu dengan pasti dan sah tidak bisa dinasionalisasikan menjadi milik Republik Indonesia.

Kelihatannya pemerintah Indonesia saat itu menyamaratakan saja kualitas daerah swapraja yang ada di Jawa dan Sumatera (khususnya daerah-daerah swapraja di pesisir timur Sumatra Utara). Padahal konstruksi perjanjian konsesi yang ada antara kesultanan-kesultanan tersebut dengan para pengusaha Belanda, sama sekali hampir tidak ditemukan di wilayah manapun di Jawa. Dengan kata lain, kontrak-kontrak jangka panjang perkebunan yang di pegang oleh perusahaan Belanda di Jawa dibangun berdasarkan hak-hak kebendaan sejenis erfpacht di atas daerah-daerah langsung yang dikuasai Gubernemen dan pihak-pihak yang ada di dalamnya hanyalah pemerintah Gubernemen dan pengusaha-pengusaha Belanda, sementara konsesi yang dibuat di Sumatera Timur dulu adalah kontrak privat jangka panjang antara dua subjek hukum perdata, yakni kesultanan dan pengusaha-pengusaha Belanda.

Nasionalisasi, Indonesianisasi, Konfiskasi atau apapun namanya, pada akhirnya menyebabkan hilangnya satu hak orisinil yang ratusan tahun dimiliki oleh orang-orang Melayu di daerah ini, lebih disebabkan kebutaan atas fakta hukum dan sejarah penguasaan tanah serta  stigmatisasi yang dihujamkan ke tengah-tengah jantung kehidupan Kesultanan dan masyarakat adat di wilayah ini sebagai kelompok komparador Belanda, feodal dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Satu stigma yang satu dekade sebelum Nasionalisasi pernah dilayangkan dan mengakibatkan terbunuhnya keluarga-keluarga kerajaan dan masyarakat biasa orang Melayu di Sumatera Timur.[30]


[1] Sanusi Achmad, The Dynamics of The Nationalization of Dutch-Owned Enterprises in Indonesia: A Political, Legal, Economic Development and Administrative Analysis. Indiana University, 1963, hal.121.

[2] Ibid. Hal.123.

[3] Ibid. Hal.127. Lihat dasar “Menimbang” dari UU Nasionaliasi  Perusahaan Belanda No.86 Tahun 1958.

[4] Lebih lanjut lihatlah Vertaling Parlementaire Stukken m.b.t.  Wet op de Nasionalisatie van Nederlandse Bedrijven. ‘S-Gravenhage, 6 February 1959.

[5] The Bremen Tobacco Case. Departement of  Information, Republic Indonesia, Jakarta, 1960: hal. 18.

[6] Gordijn, Wim. Ambil Alih: Overname van Nederlandse Bedrijven in Indonesie in 1957/1958.  Doktoral Werkgroup “Nederlanders in Indonesie 1950-1960. Leiden, KITLV 2010: Hal. 4.

[7]  NRC, 19 Agustus 1957.

[8] Lihat van de Kerkhof, Jasper. Indonesianisasi of Dutch Ecnomic Interests, 1930-1960: The Case of Internatio,. Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde, 161.2/3. Leiden, KITLV, 2005:  Hal.188. Lihat Juga, Bank,J.Th. Rubber, Rijk and Religie; De Koloniale Trilogie in de Indonsische Kwestie 1945-1949.  Bijdragen en Mededelingen betreffende de Geschiedenis der Nederlanden, 1996: Hal. 230-259. Usaha-usaha untuk Belanda untuk tetap menancapkan pengaruhnya di Indonesia terus berlanjut dengan Perjanjian Renville (1948) dan Agresi kedua menyusul pada bulan desember 1948, dan akhirnya ditutup dengan Perjanjian Meja Bundar di Den Haag, dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949).

[9] Pasal 7 UU No.13 Tahun 1956 berbunyi: “(ayat 1) Kepentingan Bangsa Belanda  yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-Undangan yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. (ayat 2)  Hak, Konsesi, Ijin dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan Negara. (ayat 3) Perlakuan sebagaimana dimaksudkan di atas tidak dapat di dasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apa juapun.

[10] Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut, keluarlah sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusn Penguasa Militer No.PM/KPTS-0042/12/57 tentang Mengawasi Langsung semua Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Keputusan Penguasa Militer No. PM/KPTS-0045/12/57 tentang Mengambil Over Wewenang Beheer pada Semua Macam Perusahaan-Perusahaan Belanda, Peraturan Penguasa Militer No. PM/PR-006/12/57 tentang Pembatasan Kebebasan Bergerak bagi Warga Negara Belanda.

[11] Selanjutnya dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Peternakan dan Susu (11 perusahaan),  PP No.18 Tahun 1959, Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas (9 perusahaan terkena nasionalisasi termasuk seluruh jaringan/cabang di daerah). PP. No.39 Tahun 1959,  Nasionalisasi Bang Dagang Nasional (Nationale Handelsbank). PP. No.50 tahun 1959, Nasionalisasi perusahaan pertambangan (seratus enam puluh satu perusahaan terkena nasionalisasi). PP No.1 Tahun 1960, Nasionalisasi perusahaan Farmasi  (sembilan perusahaan terkena nasionalisasi) dan ( PP. No. 13 Tahun 1960, Nasionalisasi  PT.Escompto Bank.

[13] Dewan Pimpinan Banas langsung dipegang oleh Perdana Menteri dengan sejumlah Kementerian terkait, sementara Pengurus Harian dipercayakan kepada Menteri Keuangan, Menteri Negara Urusan Stabilitas Ekonomi dan Wakil Kementrian Pertahanan. Lihat Pasal 2 PP No.3 tahun 1959.  Sebelumnya satu badan adminsitrasi untuk mengurus Perkebunan dibentuk, yakni Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 10 tahun 1957

[14] Pasal 17 UUD Sementara 1950 berbunyi:” Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat-menjurat tidak boleh diganggu gugat, selainnja dari atas perintah hakim atau kekuasaan lain jang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan dan undang-undang dalam hal-hal jang diterangkan dalam peraturan itu.” Pasal 234 KUH Pidana berisi menyatakan bahwa:” Barang siapa dengan sengaja menarik dari alamatnya, membuka, atau merusak suzat-surat atau barang-barang lain yang diserahkan ke kantor pos atau kantor telegram, atau yang telah dimasukan dalam kotak pos atau dipercayakan kepada seorang pembawa surat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Dan Pasal 570 KUH Perdata berisi:” Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

[15] The Netherlands International Law Review, Vol.VI, July 1959, hal.287. Lemaire, seorang ahli Hukum Belanda, membuat satu karangan khusus yang disampaikan dalam sebuah ceramah di Leiden, untuk menunjukkan bagaimana kecamannnya terhadap tindakan Nasionalisasi dari sudut pandang Hukum Perdata Internasional. Lihat Lemaire, WLG. De Onderbeheerstellingen en de Nasionalisaties van de Nederlandse Bedrijven in Indonesia. Leiden, Rechtsgeleerd Magazijn Themis. Aflevering 4, 1959.

[16] Friedman. S.. Expropriation in International Law. London, Stevens, 1953: hal.132, 190. Herz, J.H. Expropriation  of Foreign Property. American Journal of International Law, Vol.35. 1941. Hal. 249, 251, 253.

[17] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 149.

[18] Pasal 44 berbunyi : “Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero, atau yang lain-lainnya  yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa penerima upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris.

[19] Sanusi, Ahmad. Op.cit. Hal. 158.

[20] Siong, Gouw Giok. Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia. Jakarta, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia, 1960: hal. 152.

[21] Ibid. Hal.153.

[22] Siapa yang menanam, melakukan pekerjaan dan kemudian menggara panen tembakau tahun 1958 ini? PPN Baru! Segi Hukum ini disarankan oleh, ahli Hukum Adat, Prof.Dr. Soekanto SH, Gurubesar Hukum pada Universitas Indonesia. Pihak Penggugat rupanya agak tercengan terhadap alasan penggunaan hukum adat ini. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa hukum adat akan dikeluarkan sebagai pembelaan. Sejhak semula  seluruh pembelaan mereka  telah didasarkan  atas hukum Barat, hukum Eropah,  pasal-pasal yang dikenal dalam Burgerlijk Wetboek.  Lebih lanjut lihat Siong, Ibid.

[23] Domke, Martin menyatakan hal yang relatif sama: “ In the opinion of the German Court, concession rights did not give a jus in rem to the Dutch Companies, since they had not availed themselves  of a registration of their rights  in the nature of heredity rights to lease (erfpachtrechte) whic procedure was available under Indonesian law. Moreover , on September 1, 1951, a Land Return Agreement was concluded between the Indonesian State and the Plantation holders, whereby the Dutch Companies, in exchange o partial return of plantations, were allowed to retain all other concessions, the greater part of which had already expired, or were about to expire within a short time, for an additional thirty years.” Lihat Domke, Martin. Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts. The American Journal of International Law. Vol.54 No.2 , April 1960. Hal.309.

[24] Article 100 (2)  of The Basic Law of The Federal Republic Germany, The Born Constitution of 1949 provides that: “ if in a litigation it is doubtful whether a rule of international law forms part of federal law and whether it creates direct rights and duties for the individual (Art.25), thecourt shall obtain the decision of the Federal Constitutional Court.”

[25] Ibid. Hal.176. lihat juga, Siong, Op.cit. Hal. 163.

[26] Dalam notulensi  rapat Parlemen Indonesia tentang Nasionalisasi, tak satupun diungkap soal hak-hak tanah adat (tanah swapraja) yang menjadi objek perjanjian antara Kesultanan dengan Pengusaha Belanda. Notulensi setebal lebih kurang 100 halaman itu disana-sini hanya membahas soal-soal terkait argumentasi politik untuk pembebasan Irian Barat, Perusahaan-Perusahaan Belanda yang akan dinasionalisasi dan hal-hal lain terkait kompensasi yang akan dilakukan. Lebih jauh lihat Vertaling dst.. Loc.cit.

[27] UU No.1 Tahun 1957 yang disebutkan di atas sekaligus menghapus UU pertama yang mengatur Pemerintahan Daerah, yakni UU No. 22 tahun 1948, UU Negara Indonesia Timur No.44 Tahun 1950 dan  peraturan-peraturan lainnya mengenai Pemenrintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tanggaya sendiri.

[28] Van de Waal, Robert. Richtlijnen voor Een Ontwikkelinsplan voor de Oostkust van Sumatra. Wageningen, 20 November 1950. Hal. 54 dst.)

[29] Wolff, Martin. Private International Law, Oxford, 1950, cetakan kedua, hal.522 dst. Kata “bukan dari warga negara yang melakukan konfiskasi, sengaja dicetak tebal oleh penulis, untuk menunjukkan bahwa nasionalisasi tidak bisa diberlakukan kepada hak-hak dan benda-benda yang merupakan milik dari warga negara yang melakukan nasionalisasi tersebut.

[30] Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu.

Share Post Ini :

Twitter
Telegram
WhatsApp

Artikel Dan Berita Terkait

Gandeng Empat Kampus, FH UB Perluas Jejaring Kajian Sosio-legal di Indonesia

Oleh: Agus Sahbani Bertempat di auditorium Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang pada 10...

Memahami Ulang Ragam Pendekatan Riset Hukum

Oleh: Normand Edwin Elnizar Secara garis besar, pendekatan riset hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doctrinal dan...

LOG IN

Belum Join Member? Klik tombol dibawah