(MENGULAS TULISAN F DAN K VON BENDA BECKMANN MYTHS AND STEREOTYPES ABOUT ADAT LAW)[1]
Oleh:
Imam Koeswahyono[2]
- A. Pengantar
Tulisan atas pandangan istilah Hukum Adat C van Vollenhoven (1874-1933) sampai sekarang masih mewarnai kajian mengenai Hukum Adat, baik penekun hukum Adat dalam negeri maupun manca negara. Para penerus konsep dan teori van Vollenhoven yang notabene merupakan mantan muridnya banyak yang dikutip oleh oleh para pemikir Hukum Adat di tanah air yang sebagian merupakan akademisi dan peneliti seperti misalnya: Snouck Hurgronje, ter Haar, FD.Hollemann, Soepomo, AA.Djajadiningrat, MM Djojodigoeno, Koesnoe, Iman Sudiyat dan lain-lain.
C van Vollenhoven yang merumuskan Hukum Adat yakni “serangkaian peraturan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang pada kebiasaan masyarakat Indonesia, yang memiliki sanksi”, merupakan ilmuwan dari Universitas leiden. Pandangannya yang kritis dan berseberangan dengan pandangan pemerintah kolonial Belanda melahirkan aliran (mahzab) Leiden.
Pertarungan kepentingan ekonomi dan politik serta hukum kolonial khususnya dalam lapangan produksi pertanian, pasar dan relasi dagang, pertanahan serta hubungan ketenagakerjaan. Pandangan C van Vollenhoven dan pengikutnya menurut Peter Burn (2004)[3] berlawanan dengan aliran Utrecht yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah kolonial Belanda dimana Hukum Adat harus diletakkan posisinya di bawah kepentingan kolonial. Artinya, Hukum Adat tidak boleh dibiarkan hidup (exist) tanpa “kontrol” pemerintah kolonial. Tulisan dalam jurnal Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde Vol.167 No.2-3 (2011) hlm 167-195 ditulis oleh pasangan F dan K von Benda Beckmann yang berjudul Mitos dan Stereotipe Hukum Adat di Indonesia menarik untuk didiskusikan, karena ada beberapa pendapat mereka yang perlu adanya sikap kritis atas miskonsepsi terhadap pemahaman revitalisasi hukum Adat di Indonesia. Alasan-alasan yang dikemukakan kedua penulis dapat dijabarkan berikut ini:
Pertama, sebagaian besar didasarkan pada didasarkan pada pada konsepsi legalistik mengenai Hukum dan Hukum Adat (Customary Law).
Kedua, kritik-kritik tersebut cenderung membuat generalisasi secara selektif atas interpretasi Adat dalam konteks khusus yaitu; retorika politik, administrasi dan putusan pengadilan. Sebagai tambahan, perdebatan hukum pada karakter dan status (kedudukan) Adat dan Hukum Adat[4].
Ketiga, sasaran utama kritik atas deskripsi Hukum Adat dan signifikansi politik hukum dan administrasi sebagian besar bersifat Anakronistik. F dan K von Benda Beckmann menyarankan agar kritik yang ditempuh salah sasaran untuk melakukan suatu Dekonstruksi.
Pada umumnya kritik tersebut mengabaikan pemikir kolonial dan pengadilan yang acapkali secara keliru menafsirkan sistem norma lokal pada pengertian katagori hukum Belanda. Oleh karena itu, F dan K von Benda Beckmann menyatakan bahwa interpretasi kekinian atas keberlanjutan dan perubahan dalam signifikansi Hukum Adat dipengaruhi oleh analisis masa lampau yang tidak tepat (inadequat). Mengapa demikian?, kedua penulis beralasan bahwa beberapa asumsi dan proposisi kritik dekonstruksi pada awal dan kekinian perlu untuk dievaluasi ulang. Walaupun kedua penulis sepenuhnya menyadari ketidakmungkinan membuat generalisasi untuk seluruh Indonesia.
Suatu pertanyaan mendesak yang dikemukakan oleh F dan K von Benda Beckmann atas pandangan mitos yang membingungkan, membawa pada dua implikasi konsep dan teori mengapa Adat akan berguna jika diberi label Hukum?. Kedua terminologi Hukum Adat tidak mencerminkan realitas kehidupan bangsa Indonesia karena berbicara Hukum Adat menurut van Vollenhoven dan para pengikutnya memisahkan garis yang tegas antara aspek hukum dan non hukum dari Adat. Istilah “Adat” sendiri pertama kali dipergunakan oleh mantan penasehat TS Raffles, Muntinghe tahun 1817[5] yang mengatur; “moralitas, kebiasaan, lembaga-lembaga hukum”.
Ditegaskan oleh Benda Beckmann bahwa van Vollenhoven menggunakan analisis yang luas dengan definisi yang terikat pada konsep definisi pada negara dan membuka kemungkinan ko-eksistensi saling bergantungnya pengaturan hukum yang memperoleh legitimasi berbeda danberdasarkan struktur organisasi yang berbeda yang kini dinamakan “Pluralisme Hukum”. Penulis (F dan K Beckmann) lebih suka mengatakan Hukum Dalam Adat untuk menterjemahkan bukan hukum seperti itu. Atau lebih tepat “bukan hukum”. Karene menurutnya mengacu pandangan bahwa hanya aturan tertulis yang secara konsisten ditegakkan oleh kedaulatan negara adalah hukum. Oleh karena itu, tidak dapat disebut hukum hanya sebatas kebiasaan (Burn, 1989, 2004, 2007). Van Vollenhoven menghindari jebakan semantik dengan istilah Customary Law, karena termasuk didefinisikan dan disahkan oleh legislator, hakim atau pakar hukum.
- B. Permasalahan
Bertitik tolak dari tulisan F dan K von Benda Beckmann sebagaimana dikutip penulis, maka pertanyaan yang penulis kemukakan pada tulisan ini adalah:
- Apa urgensi dari kritik atas telaah ulang konsep dan teori hukum Adat van Vollenhoven ?.
- Bagaimana relevansi telaah ulang konsep dan teori atas Hukum Adat terhadap pembangunan sistem hukum Indonesia dewasa ini ?.
- C. Pembahasan
Pertanyaan pertama F dan K Benda Beckmann dijawab dalam tulisannya mengenai pentingnya telaah ulang atas konsep dan teori hukum Adat dijawab dengan empat alasan yakni:
- Mengambil contoh Ulayat (Beschikkingsrecht) yang awalnya selama kurang lebih 30 tahun pada abad ke 20 diperjuangkan oleh para pakar hukum Adat, walaupun pada hak-hak masyarakat lokal dikembangkan perjuangan hak (violated rights);
- Dalam hal ini pandangan Vollenhoven berlawanan dengan sejawatnya di Utrecht (1920-1930) akibat dari pergeseran kebijakan ekonomi dan administrasi serta ukuran konkrit yang telah lama terjadi sebelum para pakar hukum berdebat tentang masalah ini. Para pejabat dan pengusaha melihat pandangan para pakar hukum ini merupakan ancaman bagi kebebasan mereka untuk membangun dan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia[6];
- Perdebatan di kalangan akademisi mengenai lingkaran hukum dan politik perihal hukum Adat awal dua dasa warsa berlakunya hukum kolonial cenderung membingungkan/ mengaburkan apa yang sesungguhnya bekerja hukum lokal. Hal yang aneh ada sesuatu yang hilang yang sesungguhnya tidak ada apa yang sesungguhnya terjadi di pedesaan Indonesia dan pejabat kolonial sebelum dan sepanjang perdebatan itu berlangsung;
- Kebanyakan pejabat kolonial seperti Nederburgh, Nolst Trenite, S’Jacob serta Peter Burn dan bukan pakar seperti Vollenhoven yang sebagian besar salah tafsir mengenai bagaimana hubungan hak Adat dengan sumber daya alam.
Pendekatan ulang yang bersifat “Etno-Centrisme” merupakan ironi besar dengan secara mendasar memisahkan Hukum Belanda dan Hukum Indonesia seperti halnya dikotomi antara hukum dan kebiasaan.
Pertanyaan kedua dapat dijawab bahwa sangat penting mengambil pelajaran berharga dari kritik atas miskonsepsi hukum Adat bagi pembangunan sistem hukum Indonesia, khususnya posta runtuhnya Orde Baru. Mengapa demikian?, karena pada era transisi ini, menurut hemat penulis pembangunan sistem hukum berjalan di tempat. Salah satu yang nampak bahwa kebanyakan peraturan perundang-undangan sebelum diberlakukannya Undang-undang No.10 tahun 2004 maupun sesudahnya sampai diundangkannya UU No.12 Tahun 2011[7] saling tumpang tindih dan inkonsistensi khususnya yang mengatur mengenai hukum Adat. Apa yang terjadi di balik itu semua, jawabnya adalah cara pandang bahwa masyarakat aseli dalam beragam budaya dan tradisi yang mengarah pada beragam identitas, budaya, tradisi, bahasa, ideologi. Akan tetapi, seperti keberagaman hanya sementara, negara memandang lebih nyataketimbang masyarakat lokal. Masyarakat lokal dipandang sebagai “yang lain” (“liyan” “the other”) yang artinya diterima hidup tetapi dalam batas-batas toleransi demi keamanan nasional dan ideologi birokratik karena dianggap berbahaya[8].
Problematika hubungan masyarakat Adat dan negara terjadi bilamana hukum negara mengakui keberadaan masyarakat Adat dan aturan hukum tidak tertulis yang berlaku. Kewajiban negara sebagaimana diatur pada UUD 1945 acapkali menjadi pemicu konflik vertikal dan horisontal karena kekuasaan negara tidak sepenuhnya mengakomodasi ruang yang cukup atau mengabaikan struktur sosial politik masyarakat Adat. Apalagi bilamana konflik masyarakat Adat dan negara, swasta terjadi, warga masyarakat sebagai pelaku menghambat pembangunan dan ketertiban umum serta mengabaikan kekuasaan negara[9].
Berkaitan dengan pembangunan sistem hukum nasional, maka pandangan Frans Magnis Suseno[10]para pembuat atau penyusun hukum selama dua belas tahun terakhir mengabaikan Pancasila sebagai dasar filosofi negara yang semestinya menjiwai semua produk peraturan perundangan. Kebanyakan produk hukum substansinya tidak berkaitan dengan kesadaran yang sesungguhnya ada pada masyarakat Indonesia. Apalagi kecenderungan peraturan perundangan tidak dapat disebut hukum apabila tidak diletakkan sanksi dalam substansinya. Sanksi adalah segalanya, tanpa sanksi peraturan perundangan tidak akan berlaku di masyarakat. Lebih lanjut menurut beberapa pemerhati masalah sosial, walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial, namun kekuasaan justru ada pada partai politik (Politikokrasi)[11]. Kekuasaan yang amat besar mengabdi pada kepentingan partai politik merupakan hal yang kontra produktif dalam pembangunan dan penyusunan sistem hukum nasional. Alih-alih mengutamakan kepastian hukum dan keadilan, melainkan bagaimana misalnya: sumber daya alam mampu memberikan “kesejahteraan” sepenuhnya pada partai politik. Pengembangan sebuah sistem hukum pada hakikatnya harus berpangkal tolak pada nilai-nilai Pancasila yang bersumberkan nilai masyarakat Adat dan bagaimana nilai-nilai Pancasila mampu terjabarkan dan dapat diaktualisasikan oleh segenap warga bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki.,2010., Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Dari Perspektif Hukum Adat dan Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi republik Indonesia, Jakarta
Anonim.,Tanpa Tahun., Konvensi ILO 169 Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka, ELSAM dan LBBT
Frans Magnis Suseno dkk.,Ignas Tri (Editor).,2006.,Indigenous Peoples (Human Rights Perspective),KOMNAS HAM
Frans dan Keebet von Benda Beckmann.,2011., jurnal Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde Vol.167 No.2-3 (2011) hlm 167-195
MM.Djojodigoeno.,1961., Reorientasi Hukum dan Hukum Adat, PT.Penerbitan Universitas, Jogjakarta
Peter Burn.,2004.,The Leiden Legacy, Cetakan Pertama, KITLV, Djambatan Jakarta
Sandra Kartika, Candra Gautama (Editor).,1999., Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Sekretariat AMAN dan LSPP, Jakarta
Wicipto Setiadi., 2011.,Politik Hukum Perubahan Hirarki Peraturan Perundang-undangan dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Negara, makalah,BPHN-Kemenhukham,Seminar nasional UU No.12 Tahun 2011, Fak.Hukum Unibraw, 04 Oktober 2011, Malang
[1] Disampaikan pada Diskusi Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Selasa, 25 Oktober 2011, Ruang Bag.Hukum Perdata Gedung A lantai 4 Fakultas Hukum Unibraw.
[2] Staf Pengajar Hukum Agraria Rumpun Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Univ.Brawijaya Malang
[3] Periksa Peter Burn.,2004.,The Leiden Legacy, Cetakan Pertama, KITLV, Djambatan Jakarta, hlm….
[4] Periksa F dan K von Benda Beckmann, 2011 hlm.169-170
[5] Ibid.hlm. 171
[6] Ibid.hlm.186
[7] Dalam UU No.12 Tahun 2011 ada ketentuan yang mengatur perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan melalui penyusunan program legislasi tidak hanya dilakukan terhadap undang-undang, tetapi juga terhadap pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden dalam Wicipto Setiadi., 2011.,Politik Hukum Perubahan Hirarki Peraturan Perundang-undangan dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Negara, makalah,BPHN-Kemenhukham, Seminar nasional UU No.12 Tahun 2011, Fak.Hukum Unibraw, 04 Oktober 2011, Malang.hlm.8
[8] Frans Magnis Suseno dkk., Ignas Tri (Editor).,2006., Indigenous Peoples (Human Rights Perspective),KOMNAS HAM, hlm. 109
[9] Rikardo Simarmata dan Stepanus Masiun., 2002, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana, HuMa, Jakarta, hlm.15 – 25
[10] Frans Magnis Suseno dkk, Op.Cit.hlm.109-114
[11] Lihat KOMPAS, 18 Oktober 2011 hlm 1 dan 15 Masyarakat Tak Suka Partai Politik Pusat Oligarki demikian dinyatakan Ketua Mahkamah Konstitusi, KOMPAS 19 Oktober 2011 hlm.1 dan 15 Politisi Masih Mendominasi, judul/ topik lain Kader Partai Harus Bisa Dikontrol