MENGGUGAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA RELEVANSINYA DENGAN SUMBER DAYA TANAH PERLINDUNGAN ATAU ANCAMAN ?

Oleh:
Imam Koeswah

YogyakartaSpecial Region (DIY) has a very important role in the history of the formation of the state of Indonesia, through deals between HB IX with Sukarno, had an advanced state capital. Some time last position was questioned by the central government by rolling the Bill of Privileges Yogyakarta. Although the crucial issue revolves around the governor and deputy governor who chaired by the Sultan and Pakualam with determination, turned into the election, the idea of Governor and Deputy Governor of the President and not the principal has a relationship with the future status of land rights owned by the Sultan and Pakualam (right of Andarbeni/ Inlandsch Bezitsrecht) which lasted until the enactment of legal unification in DIY land through the implementation of Act No.5 of 1960.
Although the de iure land law unification has occurred, but it is ipso facto dualism land law is ongoing. Threats against the existence of legal institutions, Kasultanan & Pakualaman land rights, as well as the more typical smooth entry of land resourceinto the capitalist market. Thus,will the obstruction of access to public lands under, otherwise destruction of the Kasultanan & Pakualamanas a center of Javanese culture a matter of time.

Key words: Special region,unification, pluralism, land rights

A.    Latar Belakang

       Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia menurut Pasal 18 UUD 1945 memiliki sejarah yang panjang yang khas ditinjau dari budaya-tradisi Jawa, sistem pemerintahan, peran dan kontribusi yang amat penting pada berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperbincangkan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lepas dari bagaimana peran raja (baca: Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bhuwana Kalifatullah Sayyidin Panatagama). Dengan demikian maka kedudukan Sultan sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin agama, atau tegasnya Umaro’ dan Ulama’. Hal demikian sudah barang tentu berlainan dengan kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Monarki Konstitusional seperti pada beberapa negara di Eropa Barat: Belgia, Belanda, Inggris, Spanyol yang hanya sebagai simbol dengan beberapa hak-hak privelege. Disamping itu, masalah pertanahan yang menurut konsep dan budaya bangsa menjadi hal yang amat penting dengan pepatah “Sakdhumuk bathuk sanyari bhumi, ditohi pati, pecahing dhadha wutahing ludira”, Makna dari ungkapan tersebut adalah: utamanya kedudukan tanah dalam konteks masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang agraris, nilainya setara dengan harga diri manusia yang dicerminkan dengan dahi, akan dikukuhi sampai pecahnya dada, tumpahnya darah.

        Dalam perkembangan selanjutnya terutama posta kemerdekaan Indonesia, seiring dengan pasang surut perkembangan politik, sosial, ekonomi serta budaya sejalan pula dengan perkembangan ilmu dan teknologi, DIY telah berubah menjadi kota pelajar yang metropolis, semakin padatnya hunian, lalu-lintas, carut-marutnya penataan ruang, beralih fungsi/ konversinya secara cepat sumber daya tanah pertanian menjadi non pertanian, bertambah pesatnya jumlah penduduk sebagai salah satu implikasi dari status DIY sebagai daerah tujuan wisata dan kota pelajar, serta akibat-akibat pergeseran sosial dan budaya yang mengikis keaslian budaya Jawa yang khas.

  1. Permasalahan

       Berkaitan dengan gagasan pemerintah pusat untuk mengubah status kepala daerah di DIY dari tradisi yang telah berlangsung sejak kemerdekaan Indonesia dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945 yakni Sultan sebagai Gubernur dan Pakualam sebagai Wakil Gubernur dengan penetapan menjadi pemilihan sebagaimana berlaku di provinsi yang lain. Bagaimana implikasi yang bakal terjadi apabila Undang-undang tentang Keistimewaan DIY diberlakukan terhadap status tanah dan hubungan hukum antara warga masyarakat DIY sebagai subyek hak atas tanah dengan tanah sebagai obyek ?

  1. Pembahasan

C.1. Telaah Status DIY Dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia

        Saat Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengirim surat kepada Presiden RI. Berdasarkan isi kawat, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman bergabung ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dengan tujuan mewujudkan  satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta . Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia . Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

       Mengacu pada ketentuan Pasal Bab VI tentang Pemerintah Daerah Pasal 18 B Ayat (1) yang dinyatakan: negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya pada bagian penjelasan angka II dinyatakan bahwa:

    Dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen seperti Desa di Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan yang aseli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu dengan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

       Apa yang termaktub pada Pasal 18 B Ayat (1) dan penjelasan UUD 1945 menyuratkan makna bahwa dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity) atau kesatuan dalam keberagaman memberikan keleluasaan pada masing-masing wilayah berdasarkan kesejarahan, karakteristik corak kemasyarakatan dan budayanya dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa. Berkaitan dengan kondisi negara Indonesia yang pluralitas, Soetandyo Wignyosoebroto menyatakan bahwa:

    “Socio-cultural plurality, however, does not make it easy to empower local cultures or mobilize them as part of a national political cuture. Indeed it may complicate such efforts. In a country with a multiple cultures like Indonesia, each development of political culture willl always place people in a stituation where they have to make difficult chiices between their preferences. Such dilemmas are often confusing. At the hands of nationalists who prioritize unity in all aspects of life, the principle of bhineka tunggal ika (unity in diversity) has been used more to justify activities in the name of unitary aims than to appreciate diversity in Indonesia cultures and traditions[3]

       Pertanyaan bagaimana dengan status DIY sebelum negara Indonesia berdiri yakni ketika Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) oleh pemerintah kolonial Belanda telah diberikan status sebagai daerah istimewa berdasarkan Rijksblad yang disebut daerah Swapraja, oleh Soepomo disebut “Pranatan[4]”. Pertimbangan lain mengapa DIY berbeda dengan Surakarta kemudian diberikan status sebagai daerah istimewa menurut Koesnadi Hardjasoemantri merupakan dua pilar sejarah di masa krisis agresi militer ke II kolonial Belanda  tahun 1948/ 1949 tepatnya 19 Desember 1948 sekalipun berhasil menawan presiden dan wakil presiden, namun tidak berhasil membentuk pemerintahan karena tak seorangpun bersedia menajdi pegawai Belanda[5].  Karakter masyarakat DIY walaupun kental ciri budaya Jawa yang patuh, santun, tidak suka berterus terang, namun soal nasionalisme sangat kuat yang dimanifestasikan dengan penolakan terhadap penjajahan asing[6]. Sebagai pusat budaya Jawa maka DIY dapat dikatakan sebagai barometer budaya yang melahirkan karya-karya monumental di bidang seni: tari, musik, drama, prosa, pusi, lukis dan sebagainya. Disamping itu, DIY juga menjadi referensi lembaga hukum Adat berasal dari istilah yang diperkenalkan Van Vollenhoven sebagai Adat Recht: “ keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi Bumi Putera dan orang Timur Asing yang mempunyai upaya pemaksa, lagi pula tidak dikodifikasikan[7]”.

       Pertanyaan selanjutnya, bagaimana relevansi Hukum Adat di DIY khususnya yang bersangkut paut dengan sumber daya tanah, menurut pendapat penulis sangat penting ditelaah karena dari faktor kesejarahan, realita pelaksanaannya kini (das sein) akan menjadi bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan di masa mendatang (das sollen).

Menurut hasil penelitian Triwidodo Utomo terdapat tiga pembabakan pengaturan pertanahan di DIY menurut kronologi sejarah yang intinya adalah sebagai berikut:

       Periode pertama[8] berlangsung hingga tahun 1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik raja; sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebi­dang tanah, tetapi hanya sekedar menggarapnya. Oleh karenanya zaman ini meru­pakan zaman penderitaan bagi rakyat kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat masih diwajibkan bekerja di perusahaan-perusa­haan pertanian.

       Periode kedua ditandai dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918 hingga tahun 1950-an. Seperti telah dipaparkan pada halaman 55-56, pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil tanah untuk penduduk desa. Peraturan perundangan yang mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1)   Sakabehe bumi kang wus kapranata maneh kang wus terang dienggo uwong cilik dienggoni utawa diolah ajeg utawa nganggo bera pangolahe, kadidene kang kasebut ing register kelurahan, iku padha diparingake marang kalurahan anyar mawa wewenang panggadhuh cara Jawa, dene bumi kang diparingake marang siji-sijine kalurahan mau, bumi kang kalebu ing wewengkone kalurahan miturut register kalurahan.

(Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kalura­han, diberikan kepada kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht. Adapun tanah yang diberikan kepada masing-masing kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).

(2)   wewenange penggadhuh kasebut ingadeg-adeg ndhuwur iki kasirnaake menawa saka panemune Bupati kang ambawahake bumine 10 tahun urut-urutan ora diolah utawa ora dienggoni.

(hak anggadhuh tersebut ayat 1 menjadi gugur/hapus jika menurut pendapat Bupati yang membawahi dalam jangka waktu 10 tahun berturut-turut tidak diolah atau tidak ditempati).

Pasal 4

Kejaba wewenange penggadhuh tumrap bumi lungguhe lurah sarta perabot kelurahan tuwin bumi kang diparingake minangka dadi pensiune (pengarem-arem) para bekel kang dilereni, iku wenang penggadhuh kang kasebut ing bab 3 diparingake marang kalurahan mawa anglestareake wewenange kang padha nganggo bumi ing nalika tumindake pembangune pranatan anyar, wewenange nganggo bumi kang dienggo nalika iku, ditetepake turun temurun, sarta siji-sijine kalurahan sepira kang dadi wajibe dhewe-dhewe, dipasra­hi amranata dhewe ngatase angliyaake bumi sajerone sawetara lawase sarta angliyerake wewenange nganggo bumi mau, semono iku mawa angelingi pepacak kang wis utawa kang bakal ingsun dhawuhake, utawa kang panin­dake terang dhawuhingsung.

(Kecuali hak anggadhuh atas tanah lungguh lurah dan perabot kelurahan serta tanah yang diberikan sebagai tanah pensiun para bekel yang diberhenti­kan, hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang tersebut pada pasal 3 diberikan kepada kalurahan dengan melestarikan hak para pemakai tanah pada saat berlakunya reorganisasi, hak pakai itu ditetapkan turun temurun (erfelijk gebruiksrecht), dan kelurahan diserahi mengatur sendiri mengenai ‘angliyaake’ tanah untuk sementara waktu (tijdelijke voorveending) dan ‘angliyer­ake’ hak pakai tanah (overdracht van dat gebruiksrecht), dengan mengingat peraturan yang sudah atau akan ditetapkan kemudian.

Pasal 5

(1)   ing samangsa-mangsa ingsung kena mundhut kondur bumi sawatara bageyan kang padha diparingake marang kalurahan mawa wewenang penggadhuh, menawa bumi mau bakal diparingake marang kabudidayan tetanen iku bakal ingsun paringi wewenang ing atase bumi mau miturut pranatan bab pamajege bumi, mungguh laku-lakune kang kasebut ing ndhuwur iki bakal kapranatan kamot ing pranatan.

(Sewaktu-waktu hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang diberikan kepada kalurahan dapat ditarik kembali jika tanah itu diperlukan untuk perusahaan pertanian/landbouw onderneming menurut aturan penyewaan tanah/grondhuur reglement).

(2)   padha anduweni bageyan bumi ing kalurahan kang bumine diparingake marang kabudidayan tetanen kasebut ing ndhuwur iki, padha kena diwajibake anindaake pegaweyan mawa bayaran tumrap kaperluane kabudidayen tetanen kasebut ing ater-ater ndhuwur iki. Mungguh tumin­dake ing pegaweyan mau tumeka ing wektu kang bakal ketetepake ing tembe.

(Orang-orang yang tanahnya diserahkan kepada perusahaan pertanian itu dapat diwajibkan bekerja pada perusahaan tersebut dengan menerima upah, sedang pelaksanaan pekerjaan itu sampai dengan waktu yang akan ditetapkan kemudian).

Pasal 6

Kejaba tumrap lelakon kang kasebut ing bab 5, ingsun ora bakal mundhut bumikang dianggo uwong cilik kang katemtoake ing bab 3, menawa ora tumrap kaperluane ngakeh, semono iku mawa amaringi karugian kang tinam­toake dening Pepatihingsun, sabiyantu kalayan Kanjeng Tuan Residen ing Ngayogyakarta, sawuse karembug dening kumisi juru taksir, dene panindake kang bakal tinamtoake ing tembe kamot ing layange undang-undang Pepatihingsun.

(Selain untuk keperluan dimaksud pasal 5, Pemerintah tidak akan menarik kembali tanah-tanah yang dipergunakan oleh penduduk, apabila tidak untuk kepentingan umum dan dengan ganti rugi yang ditetapkan oleh Patih Kera­jaan dengan persetujuan Residen di Yogyakarta dan telah mendengar penda­pat komisi taksir. Pelaksanaan hal ini akan diatur kemudian dengan peraturan Patih Kerajaan).

Pasal 7

(1)   Bumi sak cukupe sabisa-bisane amba-ambane saproliman bumi kabeh kudu lestari dadi milike kalurahan, kang sapisan minangka kanggo lung­guhe lurah sarta prabot kalurahan, kang kapindho dadi minangka pengar­em-arem para bekel sak alame dhewa kang kabekelane kasirnaake jalaran saka pembangune pranatan anyar, kang katelu kanggo anyukupi kaper­luane kang tumraping akeh.

(Sedapat mungkin seluas-luasnya 1/5 tanah keseluruhan harus tetap dikuasai kalurahan, pertama untuk lungguh lurah dan pamong, kedua untuk tanah pensiun bagi bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan ketiga untuk mencukupi kebutuhan kelurahan / kepentingan umum)

(2)   Pambagene kanggo anyukupi kaperluan telung bab kasebut ing adeg-adeg ndhuwur iki katindakake kalurahan sawise dimufakati Bupati kang ambawahake.

(Pembagian tanah untuk tiga keperluan tersebut diatas dilaksanakan kalurahan setelah disetujui oleh Bupati yang membawahi).

        Mengenai proses perubahan pertanahan di wilayah Paku Alaman diatur dalam Rijksblad Paku Alaman 1918 No. 18 tanggal 17 Agustus 1918 yang isinya sama atau hampir sama dengan ketentuan diatas.

         Periode akhir periode kedua ini tidak bisa dipastikan waktunya, disebabkan karena sekitar tahun 1950-an terjadi banyak peristiwa penting yang berkaitan dengan bidang agraria seperti dihapuskannya pajak kepala tahun 1946, digantikannya pajak tanah dengan pajak pendapatan tahun 1951, dan diberikannya hak milik perseorangan turun-temurun tahun 1954.

Secara umum Selo Sumardjan menyimpulkan: “dimasa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani hanya mempunyai kewajiban dan tak mempunyai hak, bahwa antara 1918 dengan 1951 mereka mempunyai kewajiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah di tahun 1951 mereka hanya mempunyai hak dan boleh dikata tidak mempunyai kewajiban”.

       Periode ketiga berlangsung sejak tahun 1950-an, hingga tahun 1984 yakni saat diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebelum membahas lebih jauh hukum pertanahan pada masa ini, terlebih dahulu harus diingat bahwa pada tahun 1950 Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman telah dibentuk dengan UU No. 3 tahun 1950 menjadi Daerah Istime­wa Yogyakarta, sehingga kekuasaan untuk mengatur hak atas tanah beralih dari Pemerintah Kasultanan dan paku Alaman kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hak asal-usul.

       Adapun peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah DIY dibidang agrar­ia adalah: Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 Tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954 Tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa Mengenai Peralihan Hak Andarbe (erfelijk individueel bezitsrecht) Dari Kalurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel gebruiksrecht) dan Perubahan Jenis Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istime­wa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht); serta Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954 Tentang Tanda Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht).

       Perda No. 5 Tahun 1954 memberi ketentuan bahwa hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dengan Peraturan Daerah, sedang tentang hak atas tanah yang terletak didalam Kota Besar/Kora Praja Yogyakarta untuk semen­tara masih berlaku peraturan seperti termuat dalam Rijksblad Kasultanan tahun 1925 No. 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 No. 25 (pasal 1 dan 2).

       Dari ketentuan pasal 1 dan 2 tersebut diketahui bahwa Perda No. 5 Tahun 1954 hanya mengatur hak atas tanah di kalurahan-kalurahan diluar kota praja Yogyakarta. Sedangkan untuk dalam Kota Besar, sambil menunggu Perda yang baru, sementara masih berlaku Rijksblad-Rijksblad diatas. Tetapi ternyaa sampai dengan tahun 1984 saat pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY, Pemerintah DIY tidak menghasilkan Peraturan Daerah yang baru, sehingga hak atas tanah di Kota Besar Yogyakarta masih diatur dengan peraturan-peraturan lama.

Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman 1918 No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit penambahan dan perubahan.

Beberapa penambahan atau perubahan itu adalah:

1.    Dari segi peristilahan, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht.

2.    Ketentuan bahwa “semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan inlandsbezits­recht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa “semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak termasuk wilayah kalurahan diberi­kan dengan hak andarbe kepada orang yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe itu” (pasal 1 Rijksblad baru).

3.     Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang melar­ang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen Yogyakarta (pasal 2).

4.    Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta menye­wakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah (pasal 6).

Selanjutnya Perda No. 5 Tahun 1954 menentukan bahwa hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan setempat (beschikkings­recht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.Perda No. 5 tahun 1954 ini meningkatkan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempun­yai tanda hak milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun berturut turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal (pasal 4).

        Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah, dikeluarkan­lah Perda No. 12 Tahun 1954. Pasal 1 Perda No. 12 Tahun 1954 ini mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan jika tanda hak milik ini hilang, dupli­katnya dapat diminta dengan harga yang ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY.

Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut biaya oleh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5,- dan sebanyak-banyaknya Rp. 75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (pasal 2), dan sebelum tanda hak milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik sementara menurut model E (pasal 6).

Sehubungan dengan perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda No. 12 Tahun 1954 ini diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 184/KPTS/1980.

       Satu masalah lagi yang perlu dijelaskan dalam periode ketiga ini adalah mengenai peralihan hak andarbe dari kalurahan dan hak pakai turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16, menjadi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Perda No. 5 Tahun 1954. Menurut Perda No. 10 Tahun 1954, peralihan hak seperti ini dilaksa­nakan oleh pamong kalurahan bersama DPR kalurahan. Apabila peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR Kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis Desa dan pamong kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan.

        Dari pasal-pasal yang terdapat pada Peraturan Daerah-Peraturan Daerah diatas dapat difahami bahwa desa mempunyai wewenang yang besar dalam masalah pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. karena PPAT hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak Barat.

    C.2. Latar Belakang dan Proses Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY

        Sebagaimana diketahui, pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan UU tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada waktu itu Daerah Istimewa Yogyakarta belum memberlakukan peraturan tersebut. Hal ini disebabkan karena selain di DIY sudah ada peraturan tentang hukum pertanahan yang teratur, juga karena ketentuan pasal 4 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1950 yang memberi pengesahan bagi DIY — atas dasar hak-hak asal-usulnya — untuk melanjutkan urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban tertentu yang telah dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk dengan Undang-undang ini.

        Sesuai dengan asas lex posteriori derogat legi anteriori dan lex superiori derogat legi inferiori, dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1960 semestinya kewenangan untuk mengatur urusan agraria sebagai kewenangan otonom menjadi hapus. Akan tetapi kenyataan menunjukkan masih terdapatnya ketentuan-ketentuan yang memberi kemungkinan berkembangnya wewenang otonomi dalam bidang agraria tersebut, yakni ketentuan pasal 4 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1950 diatas, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Agraria yang khusus mengatur untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.

       Belum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di Yogyakarta mengakibatkan timbulnya dualisme dalam hukum pertanahan di Yogyakarta, disatu pihak berlaku peraturan perundangan daerah, dan dipihak lain berlaku peraturan Pemerin­tah Pusat. Perlu dijelaskan disini bahwa berlakunya UUPA sebagai produk perundangan Pusat di DIY hanya terbatas pada tanah-tanah bekas hak Barat. Dengan kata lain, UUPA sebenarnya sudah berlaku di DIY, hanya belum sepenuhnya.

        Dualisme pada hukum agraria di DIY demikian sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpas­tian hukum, serta tidak memberikan dukungan terhadap terwujudnya pembenahan kesatuan (unifikasi) hukum Nasional yang berwawasan Nusantara.

       Ketidakpastian hukum itu terutama terlihat pada banyaknya tanda hak milik atas tanah yang berlaku di DIY. Selain Kota Praja Yogyakarta tanda bukti hak miliknya dibuat menurut model D (Perda No. 12 Tahun 1950), didalam kota sertifikat tanahnya adalah kutipan dari Jatno Pustoko Karaton Ngayogyakarta, dan untuk tanah-tanah hak Barat diberikan sertifikat menurut pasal 19 UUPA, yaitu yang berlambang Garuda Pancasila. Sertifikat bentuk pertama dan kedua tidak bisa dija­dikan sebagai jaminan di bank, sehingga pemiliknya menghendaki agar sertifikatnya diganti dengan sertifikat menurut UUPA.Alasan-alasan itulah yang melatarbelakangi pemikiran Gubernur DIY untuk menggariskan pembenahan kewenangan agraria sebagai kewenangan dekonsentrasi sesuai dan serupa dengan propinsi lain.

       Dalam rapat dinas Pemerintah Propinsi DIY tanggal 12 Oktober 1983 dipu­tuskan bahwa kewenangan agraria di Yogyakarta perlu segera diselaraskan dengan peraturan perundangan agraria secara nasional. Sehubungan dengan hal itu, dike­luarkan Keputusan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 29/TEAM/1983 ten­tang Pembentukan Team Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY. Team ini diberi tugas seluas-luasnya untuk meneliti segala akibat yang ditimbulkan oleh pemberlakuan UU Pokok Agraria secara penuh di Propinsi DIY.

Penelitian terhadap sumber pendapatan menghasilkan gambaran sebagai berikut:

1.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah DIY dalam penanganan urusan agraria.

Dengan anggapan bahwa masalah agraria masih merupakan kewenangan otonomi, maka kewenangan pemberian hak atas tanah ada pada Gubernur Kepala Daerah c.q. Direktorat Agraria Propinsi DIY. Dari pemberian hak atas tanah ini, kepada para penerima hak dikenakan uang pemasukan yang menjadi pendapatan Pemerintah Daerah Tingkat I. Pelaksanaan pungutannya berpedo­man kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1973 dan No. 1 Tahun 1975 tentang Pembagian Pendapatan (income). Pungutan dibidang agrar­ia ini selama Pelita III sampai dengan bulan Nopember 1983 mencapai Rp. 743.048.949,27,-. Jumlah ini adalah jumlah bersih setelah dikurangi 20 % yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II di Yogyakarta. Dengan pelaksanaan dekonsentrasi jumlah ini nantinya berkurang 40 % karena harus diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

2.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Yogyakar­ta.

Sesuai dengan ketentuan Perda No. 5 Tahun 1954, maka Rijksblad Kasultanan dan Paku Alaman No. 23 dan 25 tahun 1925 masih tetap diperlu­kan sebagai dasar pelaksanaan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah di Kotamadya Yogyakarta. Untuk pelaksanaan peralihan dan pendaftaran terse­but, Pemerintah Kotamadya Yogyakarta berwenang memungut biaya pulasi taksasi nilai tanah sebesar 5 %, 1 % biaya turun waris, 1 % biaya pengeringan, dan 1,5 % biaya pemecahan persil.

Pemasukan dari pungutan-pungutan diatas pada tahun 1983 sampai dengan bulan Nopember mencapai Rp. 364.750.596,-. Kalau urusan agraria ini dialihkan dan menganut sistem dekonsentrasi, Pemerintah Kotamadya Yogya­karta akan mengalami ketiadaan pendapatan yang cukup banyak, meskipun pendapatan sebesar 20 % dari uang pemasukan masih tetap ada (sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1973).

3.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah Desa/Kalurahan.

Dengan dasar Peraturan Daerah No. 5, 11, 12 Tahun 1954, Kalurahan di wilayah Kabupaten memiliki kewenangan menyelesaikan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah. Dalam pelaksanaan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah ini kalurahan berwenang memungut biaya pulasi sebesar 5 % dari nilai taksasi tanah yang dialihkan. Namun pungutan sebesar 5 % ini hanya terbatas pada peralihan yang disebabkan karena jual beli, sedang perali­han karena warisan atau hibah dikenai biaya tata usaha sebesar Rp. 10,-. Dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Kalurahan dapat diketahui bahwa pendapatan kalurahan dari pungutan ini cukup menonjol. Akan tetapi dengan pelaksanaan sistem dekonsentrasi, pendapatan ini akan hilang karena hapusnya kewenangan keagrariaan itu.

        Disamping meneliti besarnya pendapatan yang diperoleh dari hasil pengelo­laan atas tanah, Tim Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY dalam makalahnya yang berjudul “Pokok-Pokok Pikiran dan Usul Pemecahan dari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Persoalan Pengalihan Wewenang Keagrariaan di DIY Yang Disesuaikan Dengan UUPA Menurut Sistem Dekonsentrasi”, telah pula menyampaikan kemungkinan pembenahan dari segi hukum yang dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1.    Pemerintah Pusat segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksa­naan lebih lanjut dari ketentuan yang termaktub dalam diktum KEEMPAT huruf B UU No. 5 Tahun 1960 dan aturan pelaksanaanya, serta dicabutnya peraturan perundangan yang memberi kemungkinan berkembangnya pengertian kewenangan otonomi dalam bidang keagrariaan. Peraturan Pemerintah yang diharap­kan serta peninjauan peraturan-peraturan perundangan ini sampai sekarang belum terwujud, sehingga perlu ditempuh cara kedua, yakni:

2.    Pemerintah Propinsi DIY melakukan penataan administrasi tata pemerintahan dengan mengadakan peninjauan serta mencabut sendiri peraturan perundangan daerah dalam bidang agraria yang telah dikeluarkan, seperti:

·     Rijksblad-rijksblad Kasultanan dan Paku Alaman yang mengatur tentang keagrariaan yang masih berlaku.

·        Peraturan Daerah No. 5, 10, 11 dan 12 Tahun 1954.

       Teknis pembenahan tersebut dilakukan dengan cara mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencabutan Peraturan Daerah dan Rijksblad yang mengatur masalah keagrariaan, dan dalam peraturan peralihannya ditetapkan “sambil menunggu” dikeluarkannya peraturan perundangan yang memberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY, sementara masih berlaku ketentuan-ketentuan yang lama. Berikut ini langkah selengkapnya yang ditempuh Pemerintah DIY menjelang pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di DI Yogyakarta.

        Pada tanggal 5 Maret 1984 Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan surat No. 590/406 kepada Ketua DPRD Propinsi DIY yang berisi konsep keputusan DPRD Propinsi DIY tentang Pernyataan Keinginan Pemerintah Propinsi DIY untuk memberlakukan UUPA secara penuh di DIY. Surat tersebut diikuti dengan surat No. 591/428 tanggal 10 Maret 1984 yang berisi pemberita­huan telah dibentuknya Team Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY dengan Keputusan Gubernur No. 29/TEAM/1983.

Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984 dikeluarkan Keputusan DPRD No. 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi DIY untuk memberlakukan secara penuh UUPA di DIY, disusul Keputusan DPRD No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul Kepada Presiden Republik Indonesia Untuk Mengeluarkan Keputusan Presiden yang Memberlakukan Secara Penuh UUPA di DIY. Kedua keputusan ini ditandatangani oleh Ketua DPRD Propinsi DIY beserta Gubernur dan Wakil Gubernur.

        Selanjutnya pada tanggal 22 Maret 1984 dikeluarkan Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 590/516 yang ditujukan kepada Presiden RI berisi laporan telah dikeluarkannya Keputusan DPRD No. 3/K/DPRD/1984, serta permo­honan untuk dapat segera dikeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan UUPA secara penuh di DIY. Sambil menunggu Keputusan Presiden di muka, telah dikeluarkan surat Guber­nur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 590/733 tanggal 26 April 1984 yang berisi pelbagai langkah yang segera diambil oleh Pemerintah DIY

C. 3. Pelaksanaan Keputusan Presiden  Nomor 33 Tahun 1984

       Keppres No. 33 Tahun 1984 menentukan bahwa pelaksa­naan pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Propinsi Daerah Istime­wa Yogyakarta diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Guna memenuhi ketentuan terse­but maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

       Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 menjadi dasar pemberla­kuan sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di DIY secara bertahap dimulai tanggal 24 September 1984. Dan mulai saat itu akan ditetapkan peraturan-peraturan tentang Pembentukan Kantor-Kantor Agraria di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakar­ta, tentang Pemberlakuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, serta peraturan tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketiga hal itu masing-masing tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 67, 68, dan 69 Tahun 1984.

        Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 1984 tentang Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul dan Kator Agraria Kotamadya Yogyakarta, memberi ketentuan bahwa Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kantor Agraria tersebut diatur sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 133 Tahun 1978 bab III Pasal 40 – 42. Sedang mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Agraria diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 133 Tahun 1978 bab II pasal 43-68, dan bab IV pasal 69-74.

        Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang sebelumnya ditangguhkan berlakunya di DIY berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972, sejak tahun 1984 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 1984 dinyata­kan berlaku bagi DIY, dan sekaligus mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 ini, maka Gubernur, Bupati/Walikota, dan Camat mendapat kewenangan-kewenangan tertentu dalam hal pemberian hak ats tanah, dengan rincian berikut:

       Berdasarkan ketentuan bab II Pasal 2 sampai 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, wewenang Gubernur mencakup 5 substansi, yaitu:

1.      Kewenangan memberi keputusan mengenai:

a.      Permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara dan menerima pelepasan hak milik yang luasnya:

·        untuk tanah pertanian tidak lebih dari 20.000 m2

·        untuk tanah bangunan/perumahan tidak lebih dari 2.000 m2

b.      Permohonan penegasan status tanah sebagai hak milik dalam rangka pelaksanaan Ketentuan-ketentuan Konvensi UUPA.

c.       Permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara:

·        kepada para transmigran,

·        dalam rangka pelaksanaan landreform,

·        kepada para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas gogolan tidak tetap.

2.      Kewenangan memberi keputusan mengenai perrmohonan pemberian, perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan, ijin pemindahan dan menerima pelepasan hak guna usaha atas tanah Negara, jika:

a.      Luas tanah tidak lebih dari 25 ha.

b.      Peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras.

c.       Perpanjangan jangka waktu tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

3.     Kewenangan memberi keputusan mengenai permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hak guna bangunan atas tanah Negara kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing yang:

a.      luas tanahnya tidak melebihi 2.000 m2.

b.      jangka waktunya tidak lebih dari 20 tahun.

4.      Kewenangan memberi keputusan mengenai:

a.     permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hakpakai atas tanah Negara kepada/oleh WNI atau Badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing yang:

·        luas tanahnya tidak melebihi 2.000 m2.

·        Jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.

b.     permohonan pemberian hak pakai atas tanah Negara yang kan digunakan oleh suatu Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga Negara Non Departemen atau Pemerintah Daerah.

5.      Kewenangan memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika luasnya lebih dari 10 ha tetapi tidak melebihi 50 ha.

       Sementara itu menurut Pasal 7-10, bupati mempunyai wewenang memberi keputusan mengenai: permohonan ijin untuk memindahkan hak milik, permohonan ijin untuk memindahkan hak guna bangunan kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing, permohonan ijin untuk memindahkan hak pakai kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing, serta permohonan ijin untuk membuka tanah jika luasnya lebih dari 2 Ha tetapi tidak lebih dari 10 Ha.

Sedangkan wewenang Camat adalah memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha, dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan (Pasal 11).

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 mengamanatkan pengaturan tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Milik Perorangan Berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954. Peraturan yang termuat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 ini dalam Pasal 1 nya menegaskan Perda DIY No. 5 Tahun 1954 adalah hak milik sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UU No. 5 Tahun 1960, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijen bezitrecht, altijderende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

        Penegasan Konversi dan pendaftaran hak-hak atas tanah-tanah tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 (Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984). Adapun prosedur permohonan untuk penegasan konversi hak atas tanah menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria itu adalah sebagai berikut:

1.      Mengenai hak-hak yang telah diuraikan dalam sesuatu surat tanah yang dibuat menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959, Ordonantie tersebut dalam Stb. 1873 No. 38, peraturan khusus di DIY, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat, diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dengan disertai:

a.      Tanda bukti haknya.

Yang dimaksud tanda bukti hak disini adlah tanda hak model D, model E dan kutipan dari daftar hak milik menurut Penetapan Walikotamadya Yogyakarta No. 13 Tahun 1962 (lihat pasal 3 ayat 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984).

b.      Tanda bukti kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960.

c.       Keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

2.      Mengenai hak-hak yang tidak diuraikan didalam sesuatu surat hak tanah, diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dengan disertai:

a.      Surat bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi atau bukti surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang.

      Apa yang dimaksud tanda bukti hak disini adalah Petikan Leter C yang dikeluarkan oleh Kepala Desa (Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984).

b.      Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yaitu:

·        membenarkan surat-surat bukti itu.

·        menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

·        Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu.

c.       Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yaitu: Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Selanjutnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 menentukan bahwa pendaftaran dan pemberian hak atas tanah dilaksanakan sebagai berikut.

Tanah dengan tanda hak milik model D dan kutipan buku daftar hak milik dibukukan dalam buku tanah dan kepada yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Tanah dengan tanda hak milik model E baru dapat dibukukan dalam buku tanah setelah dilaksanakan pengukuran dan kepad yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Dan tanah dengan tanda hak milik Petikan Leter C dilaksanakan setelah permohonan yang bersangkutan diumumkan menurut ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yaitu di Kantor Kepala Desa dan Asisten Wedana selama 2 bulan berturut-turut (pasal 4). Penting dikemukakan mengenai pasal Peraturan Menetri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 yang menyatakan bahwa:

1.      hak-hak yang disebut dalam pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ditegaskan dan didaftar menjadi:

a.      hak milik, jika yang mempunyainya pada tanggal 24 September 1960 memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik.

b.      hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah perumahan.

c.       hak guna usaha dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah pertanian.

2.      Hak-hak yang disebut dalam Pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA yaitu hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, brukleen, ganggam bauntuik, anggaduh, pituas, bengkok / lungguh dan hak-hak lain yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agararia, didaftar dan ditegaskan menjadi hak pakai.

D. Beberapa Catatan Pasca 1984

        Sejak berlakunya UUPA secara penuh di Propinsi DIY, dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum agraria di Indonesia. Meskipun demikian, paling tidak ada 2 (dua) permasalahan yang perlu mendapat sedikit perhatian.

Masalah pertama berkenaan dengan tanah-tanah Swapraja atau bekas Swapraja. Terhadap tanah-tanah semacam ini, diktum Kempat UU No. 5/1960 menentukan bahwa hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi kenyataannya, Peraturan Pemerintah seperti dimaksud diktum Keempat UUPA itu sampai sekarang belum ada, sehingga tanah-tanah tersebut diatas menjadi tidak jelas statusnya.

       Ketidakjelasan itu antara lain terletak pada pertanyaan siapa atau badan apa yang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah Swapraja/bekas Swapraja itu? Kemudian, apakah hak-hak dan wewenang tanah-tanah tersebut secara nyata benar-benar telah beralih kepada Negara ataukah masih dikuasai oleh bekas Pemerintahan Swapraja?

       Terlebih lagi manakala tanah tersebut hendak digunakan untuk keperluan umum, bagaimana mengenai prosedur pembebasan tanah misalnya? Seperti diketahui, tanah-tanah “Kagungan Dalem” yang di Yogyakarta diurus oleh Kantor Panitia Kismo, selain digunakan untuk keperluan tertentu, juga dapat dipakai oleh setiap orang atau badan hukum dengan cara Magersari atau Ngindung, setelah membuat suatu perjanjian.

       Mengenai perkembangan terakhir atas tanah Swapraja ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa: “Tanah Swapraja di Surakarta sesuai ketetentuan UUPA secara resmi telah menjadi milik negara, …. Untuk menangani kasus tanah Swapraja, BPN telah mengeluarkan surat yang isinya melarang siapapun melakukan inventarisasi.[2]

       Masalah kedua berkenaan dengan kebijakan Pemerintah DIY yang tertuang dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K./898/I/A/75, dimana sampai sekarang kepada seorang WNI non pribumi yang memerlukan tanah belum diberikan hak milik atas tanah. Dalam hal ini, apabila ada seorang WNI non pribumi membeli tanah milik rakyat, terlebih dahulu harus melalui pelepasan hak. Setelah tanah tersebut kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah DIY, barulah yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendapatkan sesuatu hak, yang biasanya akan diberi dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).

       Bilamana dibandingkan tingkat ekonomi golongan non pribumi yang lebih tinggi dari pada golongan pribumi, maka kebijakan Gubernur DIY ini dapat dipahami, yakni agar kepentingan rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelom­pok menengah keatas. Terlebih lagi bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah dengan hak milik oleh golongan non pribumi diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan “petani-petani berdasi”, sedang rakyat kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil.

       Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, apakah kebijakan tersebut tidak berten­tangan dengan UUPA? UUPA menganut “asas kebangsaan[9]”, yangmenurutPasal 9 ayat (2) dan Pasal 21 Ayat (1) ditegaskan:

Pasal 9 Ayat (2):˜Tiap-tiap Warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

Pasal 21 (1)“Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.

       Menurut kedua ayat tersebut tidak dibedakan antara golongan pribumi dan non pribumi. Akan tetapi selain asas kebangsaan, UUPA juga menganut ”asas perlindungan” bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warganegara yang kuat kedudukan ekonominya. Sebagai pedoman asas perlindungan ini, maka dalam pasal 26 ayat (1) ditegaskan:

Pasal 26 (1)”Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menu-rut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

       Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pula ketentuan yang termuat dalam pasal 11 ayat (1) yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperi kemanusiaan (penjela­san umum UU No. 5 Tahun 1960, bagian II angka 6). Lagipula dalam sejarahnya, Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25 pernah memuat ketentuan yang kurang lebih sama artinya dengan ketentuan Instruksi Gubernur di muka, sebagai berikut:

Pasal 6 (1)

”adol utawa angliyerake wewenang andarbeni utawa nganggo bumi … marang wong kang dudu bangsa Jawa lan maneh nyewaake utawa nggaduhake bumi gawe marang wong kang dudu bangsa Jawa, … kalarangan”.

(Menjual atau memindahkan hak milik atau hak pakai atas tanah … kepada yang bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) dan juga menyewakan atau menggaduhkan tanah kepada bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) … dilarang).

        Kesimpulan dari paparan di muka, bahwa kebijakan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut telah sesuai dan selaras dengan UUPA dan oleh karenanya tidak terdapat pertentangan satu sama lain. Bahkan hal ini dapat dibenarkan berdasarkan hak asal-usul yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang jelas, selama ini inventarisasi dan pembagian tanah oleh BPN atas tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Fakta ini dalam prakteknya selalu berhadapan dengan masalah pro dan kontra, disebabkan karena adanya anggapan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa PP No. 224 Tahun 1961 itu tidak bisa dijadikan dasar, dan oleh karenanya tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja itu tetap tidak jelas statusnya.

       Harus diakui bahwa fungsi PP No. 224 Tahun 1961 itu masih membingungkan. Sebab kalau memang dimaksudkan sebagai aturan organik (pelaksana) dari UU No. 5 Tahun 1960 khususnya Diktum Ke empat, dalam konsideran PP No. 224 Tahun 1961 semestinya dicantumkan “Diktum Ke empat UU No. 5 Tahun 1960”, tidak sekedar “UUPA (LN 1960 No. 104)”. Meskipun demikian, paling tidak ada 2 (dua) ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961, yakni:

1.     Tanah-tanah yang akan diredistribusikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara (Pasal 1 c).

2.     Tanah Swapraja/ eks Swapraja tersebut diberi peruntukan: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk masyarakat yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu, dan sebagian untuk rakyat yang memerlukan (Pasal 4).

      Menurut kajian Konsorsium Pembaruan Agraria dalam situsnya pada salah satu artikel dinyatakan sebagai berikut:

Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UU No.5/1960 (UUPA) yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya  harus dikecualikan dan penerapannya baru berjalan sekitar 24 tahun yang lalu. Namun hingga kini Yogyakarta masih memberlakukan Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dualisme pemberlakuan hukum tanah di Yogyakarta memang bisa dianggap hak istimewa Yogyakarta. Namun bila keistimewaan dapat mengalahkan kewenangan hukum maka hal itu merupakan persoalan serius bagi negara ini.     Rumusan tentang tanah yang terdapat Pasal 10 RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta mengandung banyak persoalan serta ketidakpastian. Pertama, tanah kraton (Sultan Grounds/SG dan Pakualaman Grounds/PAG) adalah tanah yang sejak dulu menjadi yurisdiksi kekuasaan Yogyakarta. Fenomena sejarah hukum inilah yang menempatkan kraton seakan-akan sebagai badan hukum publik bersifat privat. Konsekuensinya, proses peralihannya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara tidaklah terlalu sukar bilamana dibandingkan dengan hak milik pribadi.
       Kedua, banyak masyarakat DIY telah lama menggarap tanah-tanah SG dan PAG, bahkan ada yang sudah memiliki Hak Milik. Jika RUU tentang Keistimewaan DIY ini disahkan menjadi UU, maka dikhawatirkan akan muncul pengambilalihan tanah-tanah yang sudah digarap masyarakat oleh kraton. Seperti yang pernah dilansir oleh HIMMAH UII No.02/Thn.XXXIV/2002, contoh kasus SG ini misalnya dapat kita lihat di desa Cangkring, Kabupaten Bantul, dimana rakyat yang merasa sudah memiliki hak milik atas tanah harus berhadapan dengan aparat pemerintah desa dengan didukung oleh kraton yang mengklaim bahwa tanah itu adalah tanah kraton (SG).  Tanah itu sedianya akan digunakan untuk investor. Dari kasus ini bisa dilihat bahwa klaim kraton terhadap tanah-tanah yang ada di DIY berpotensi menimbulkan konflik dan reproduksi hegemoni[10].

             Mengacu pandangan Franz Magnis Suseno mengulas soal kekuasaan otoriter dan runtuhnya partisipasi masyarakat dikatakan:

    “kestabilan suatu negara tergantung dari luas pengakuan wewenangnya oleh masyarakat. Suatu kekuasaan yang hanya berdasarkan perasaan takut akan rapuh karena hanya dapat dipertahankan melalui aparatur penindas yang semakin besar. Supaya ancaman meyakinkan, penindas tidak boleh pandang bulu. Tetapi penindasan akan menimbulkan kebencian yang lebih besar lagi, sehingga untuk mempertahankan tertib yang sama diperlukan penindasan, dan dengan demikian aparatur penindas, yang lebih besar lagi. Dan seterusnya….[11]

      Jika melihat pada sistem pemerintahan keraton yang monarki paternalistik dengan kuatnya sistem kepercayaan Jawa[12] yang dari masa ke masa gaya kepemimpinan Sultan sebagai Gubernur DIY berbeda sesungguhnya selain menampakkan sisi demokratis, namun mendapatkan tantangan dari negara sebagai wadah kebhinekaan yang mengalami pergeseran dari sistem “demokrasi” ke “mobokrasi” dimana yang mengemuka adalah kepentingan politik golongan yang berkuasa. Sudah barang tentu, pada suatu ketika Gubernur dan Wakil Gubernur  dipilih melalui sistem pemilihan kepala daerah langsung, namun tidak memahami secara arif dan benar bagaimana budaya masyarakat DIY termasuk di dalamnya bagaimana relasi masyarakat dengan sumber daya tanah, sangat dimungkinkan muncul sifat otoriter, dengan semena-mena menghapuskan dan/ atau mengambilalih hak-hak masyarakat Adat, atau melepaskan dan/ atau melakukan tukar-menukar aset tanah wewengkon keraton kepada investor baik domestik apalagi investor asing melalui produk hukum Peraturan Gubernur yang dinyatakan RUU Keistimewaan DIY, kedudukan hukumnya lebih tinggi dari Peraturan Daerah DIY. Tak pelak lagi ungkapan yang dinyatakan oleh salah satu kerabat keraton DIY yang menyatakan bahwa wewengkon keraton sekarang hanya tinggal selebar terkembangnya payung ( mung kari sak megaring songsong), semakin tak terbantahkan.

       Sekalipun secara de iure UUPA telah diberlakukan sejak 1984, sesungguhnya tidak serta merta telah terjadi unifikasi hukum pertanahan di DIY, namun masih terdapat Dualisme pengaturan hukum tanah yakni hukum negara (State law) yakni UUPA dan hukum Adat tentang tanah (Indigenous Law Concerning Land), sehingga membuka peluang terjadinya konflik hukum.

       Secara filosofis F.Budi Hardiman menyatakan bahwa problematika yang mengemuka sehubungan dengan implementasi Pasal 18 B paragraf 2 dan Pasal 28 I paragraf 3 UUD 1945 khususnya makna negara mengakui, negara melindungi, dengan demikian masalah yang selanjutnya mengedepan adalah:

    From the bureaucratic prespective, the tribal group is the other who can still be tolerated,i.e.allowed to live. However what is tolerated here is determined from the power-holder’s perspective, not from a process of deliberation between the state and indigenous people. Furthermore, the other remains dangerous from the perspective of national security, because they do not think rationality or in the same way as bureaucracy does. From the bureaucratic perspective as far as posible, the other which can be considered an anomaly needs to be domesticated, homogenized and territorialized into sedentary entity. However, the other existed before politics and states were even established. In the sense there is an anti –ontology: the state sees itself as more real than the tribal group[13]

       Konflik antara negara dan masyarakat Adat sebagai beberapa konsekuensi dari relasi negara multikultural dengan komunitas kelompok etnis oleh Budi Hardiman ditawarkan tiga model: 1. Communitarian adopsi teori dari Mc Intyre dan Sandel M Walzer dimana negara sebagai keluarga besar berorientasi pada gemeinschaft dengan sistem hukum yang sama, sekalipun tantangannya demos is ethnos etnis yang berkuasa yang akan dominan atas etnis lain. 2. Model Liberal adopsi konsep John Rawls dimana sebagai manifestasi dari totalitas politik diintegrasikan melalui hukum positif moderen yang diupayakan bebas dari nilai-nilai kelompok etnik, karena secara abstrak terpisahnya negara dan komunitas etnis. Multikultural model adopsi teori Ch Taylor dan W Kymlica konsepsi multi kultural sebagai kritik terhadap liberalisme. Negara dalam hal ini tidak hanya mengenal dan memahami kepentingan perorangan tanpa melihat latar belakang kebudayaan masing-masing, namun harus mengakui identitas kultural dari kelompok-kelompok masyarakat Adat. Lebih jauh, negara layaknya bak cocktail identitas kolektif, melindungi hak-hak budaya secara kolektif. Walaupun nampak liberal, negara tidak hanya menjamin hak-hak individual yang kosmopolitan, namun melindungi dengan mengukuhi hak-hak budaya masyarakat[14]. Pilihan model ketiga sebagaimana dapat disarikan dari pandangan F Budi Hardiman sekiranya masyarakat lokal/Adat sebagai sebuah kenyataan dimana kedudukan hukum Adat dan hukum negara sebagai suatu yang solid. Diasumsikan masyarakat lokal sebagai realitas, namun ada sisi negatif mengedepannya etnosentrisme dan konservatisme dimana masyarakat lokal sedang berproses menjadi tak ada hak yang dapat diterapkan namun akan tertransformasi dari dalam dengan sendirinya. Dalam konteks relasi antara masyarakat lokal dengan negara sebagai wadah keberagaman Michael J Sandel menegaskan dalam relasi yang demikian kedudukan masing-masing pemangku kepentingan haruslah setara (egaliter) yakni kedudukan secara sosial ekonomi, sehingga nilai keadilan tidak dilihat dari perspektif negara semata melainkan dari sisi masyarakat lokal itu sendiri. Seperti kritik sandel atas pandangan Kant dan Rawls dinyatakan oleh Sandel:

    The first, is the claim that certain individual rights are so important that even the general welfare cannot override them. The second is the claim that the principles of justice that specify our rights do not depend for their justification on any particular conception of good life or as Rawls has put it more recently, on any comprehensive moral or religious conception[15]

     Dengan demikian Sandel hendak menegaskan akan arti pentingnya pemberian kebebasan dan perlindungan politik dan hak-hak sipil, sehingga negara harus bersikap netral diantara persaingan mencapai kehidupan yang baik. Walau demikian sudah tentu kondisi masyarakat Indonesia sangat berlainan dimana kesenjangan antara golongan masyarakat kaya dan golongan miskin begitu mencolok[16], kesenjangan pendapatan antara kelompok petani dan pengusaha sangat tajam, maka peran hukum sebagai garba keadilan sudah tentu harus berpihak pada kepentingan masyarakat yang kurang diuntungkan.

       Simpulan yang penulis dapat kemukakan ikhwal rencana pengundangan tentang keistimewaan Yogyakarta haruslah disikapi secara arif, harus dikaji secara mendalam mengenai untung rugi mengubah tatanan yang telah mentradisi. Sekalipun sebagian masyarakat mengajukan kritik feodalisme moderen yang menghasilkan penindasan sekelompok kecil orang yang berkuasa atas sebagian besar orang harus diakhiri. Sekali lagi proses demikian tidak semata-mata disimak dari perspektif politik belaka, melainkan sangat perlu dikaji dari perspektif multi disiplin dengan prosedur yang benar dari naskah akademik, sosialisasi kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi partisipasi genuine masyarakat, mendiskusikan secara multi pihak, merumuskan draf rancangan undang-undang, mensosialisasikan, mendiskusikan secara multi pihak. Sebuah proses panjang yang mesti harus ditempuh. Kaitannya dengan sumber daya tanah, sangat penting artinya pengaturan soal pluralisme hukum tanah posta belakunya UUPA, harus menekankan pada perlindungan tanah-tanah komunal/ tanah kas desa, tanah hak Indonesia, harus dilindungi dengan persyaratan konversi yang ketat dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa demikian, tidak lain untuk mencegah masuknya tanah hak Indonesia ke dalam arus kapitalisme global dengan free fight liberalism. Mampu dan terealisasikah ide demikian terpulang pada seberapa besar komitmen pembentuk undang-undang merumuskannya, bagaimana aparat penegak hukum bekerja mengawal dan mencegah terjadinya penyimpangan yang bisa terjadi.

DAFTAR  PUSTAKA

Dadang Juliantara.,2003., Pembaruan Desa, Bertumpu Pada Yang Terbawah, Edisi Revisi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta

Himawan Pambudi (Editor).,2006., Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri 80 tahun Mengabdi Sepanjang Masa, Kehati, HuMa, ICEL, Lappera, STPN, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006., The Structural Relationship Between Indigenous Peoples, Ethnic Groups, Nations and The State, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan UNDP, Jakarta

Iman Sudiyat,.1978., Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta

Lukas Sasongko Triyoga.,1998.,Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Gunung Merapi,  Cetakan Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Michael J Sandel.,2008., Liberalism And The Limits of Justice, Second Edition, 11th Printing, Cambridge University Press, New York

Muchsin dan Imam Koeswahyono.,2007., Soimin (Editor)., Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung

Mochammad Tauchid.,1952., Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, Tjakrawala, Djakarta

R Roestandi Ardiwilaga.,1962., Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV Masa Baru, Bandung

Selo Soemardjan.,1984.,Social Change in Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta

Stuart Hampshire.,2000., Justice is Conflict, Princeton University Press, USA

Supomo.,1970., Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, Tjetakan Kedelapan, Pradnja Paramita, Djakarta

Bahan Unduhan Dari Internetdan Sitasi Media Massa:

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum.html diunduh 4 Februari 2011

http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89, dunduh 5 Februari 2011

KOMPAS, Selasa 8 Februari 2011


      [1]Perubahan mendasar atas makalah diskusi rutin Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP-Otoda) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 9 Februari 2011, Terima kasih atas pertanyaan kritis dari sejawat Dr.Moh Ridwan,SH.MH. Ali Syafaat,SH.MH, Ngesti D Prasetya,SH.MH, Faizin Sulistya,SH.LL.M. Substansi tulisan bukan merupakan pandangan lembaga (PPHA FH-UB), namun semata-mata merupakan pandangan penulis, kontak penulis: pusbangagr@ub.ac.id

      [2] Sekretaris Pusat Pengembangan Hukum Agraria (PPHA), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1997-2010 dan 2010 sampai kini, Anggota KOMPILASI (Kelompok Kajian Penekun Socio-Legal Indonesia), 2006 – sekarang,

     [3]Soetandyo Wignyosoebroto dalam Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006., The Structural Relationship Between Indigenous Peoples, Ethnic Groups, Nations and The State, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan UNDP, Jakarta, hlm. x

      [4]Supomo.,1970., Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, Tjetakan Kedelapan, Pradnja Paramita, Djakarta, hlm.57-58 dan 60-63

      [5]Himawan Pambudi (Editor).,2006., Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri 80 tahun Mengabdi Sepanjang Masa, Kehati, HuMa, ICEL, Lappera, STPN, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm.336 – 338

      [6]Bandingkan dengan bagaimana perubahan sosial  masyarakat yang terjadi di DIY jika dibandingkan antara masa penjajahan kolonial dengan posta kemerdekaan Indonesia sebagaimana ditulis oleh Selo Soemardjan.,1984.,Social Change in Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta memudarnya kekentalan budaya Jawa, masuknya pola hubungan Gesellschaft yang mengubah pola Gemeinschaft dari hubungan berdasarkan kegotongroyongan, keguyuban dengan hubungan  yang menimbang untung-rugi atau take and give.

     [7]Iman Sudiyat,.1978., Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 17

       [8] Periksa pada http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum.html periksa pula R Roestandi Ardiwilaga.,1962., Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV Masa Baru, Bandung, khususnya hlm.378 mulai angka 16 – hlm 383 yang menerangkan status tanah Swapraja yang intinya tanah merupakan “Kagungan Dalem” (all the land owned by the King/ alle land kroondomein) dalam hal ini: Sultan. Bandingkan pula dengan tulisan Mochammad Tauchid.,1952., Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, Tjakrawala, Djakarta, hlm.135 – 149 yang esensinya hamper sama dengan Ardiwilaga dengan menambahkan membagi  kedudukan tanah dan fungsinya masing-masing yakni:

I.                    Tanah yang dipakai Sultan Sendiri

II.                  Tanah yang diberikan Sultan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk kantor, gedung

III.               Tanah yang diberikan kepada orang asing (WNA): hak Eigendom, Opstal

IV.                Tanah Golongan diberikan menurut golongan abdi dalem

V.                  Tanah Kasentanan diberikan kepada keluarga/ kerabat Raja

VI.                Tanah pekarangan Bupati, untuk pegawai dengan perkampungan di sekelilingnya

VII.             Tanah Kebonan dan pekarangan di luar pusat pemerintahan diberikan ke Patih (Rijkbestuurder)

VIII.           Pekarangan penduduk di luar tanah-tanah I-VII

IX.                Sawah Mahosan yang dikerjakan dan dipelihara Bekel dengan membayar pajak (Pajeg/ Paos) (cetak miring dan tebal dari penulis)

Masing-masing abdi dalem tinggal dalam lingkungannya (Krajan,Ambtserf) berdasarkan Surat Rijkbestuurder 1-08-1913 dinamakan ia sebagai Cangkok, dengan kualifikasi Hak Memakai Tanah Pekarangan, tanpa membayar untuk mendapatkannya namun membayar pajak kepada negara. Orang lain yang mendiami atau abdi dalem dari golongan lain dinamakan Indung Cangkok dan kawedanan berhak menarik pungutan atau kewajiban kerja (Diensten).

       [9] Dalam beberapa bahan pustaka dinamakan juga Prinsip Nasionalitas atau Azas Kebangsaan yang esensinya adalah perlindungan SDA khususnya tanah dari penguasaan dan pemilikan oleh warga negara asing (WNA) atas korporat asing termasuk tentunua ulti National/ Transnational Corporation (MNC/TNC)

     [10] Periksa http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89, dunduh 5 Februari 2011

    [11]Franz Magnis Suseno, 1999 dalam  Dadang Juliantara.,2003., Pembaruan Desa, Bertumpu Pada Yang Terbawah, Edisi Revisi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm. 1

    [12]Lukas Sasongko Triyoga.,1998.,Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Gunung Merapi,  Cetakan Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 1-12 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan bersifat magis religius antara Sultan sebagai manifestasi pemimpin masyarakat Jawa dengan penguasa Samodera Indonesia (Segoro Kidul) dan pengauasa Gunung Merapi (Mbah Merapi) sebagai penguasa bagian utara keraton yang akan menjaga dan melindungi Sultan dari ancaman makhluk ghaib dan musuh dengan memberi kekuatan supra natural kepada Sultan dengan imbalan sesaji yang dilakukan keraton menurut sistem kalender/ penanggalan Jawa seperti misalnya pada bulan Maulud dan Syura

       [13]F.Budi Hardiman dalam Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006 Op.Cit hlm. 56 -57

      [14]Ibid hlm. 58 – 61

       [15]Michael J Sandel.,2008., Liberalism And The Limits of Justice, Second Edition, 11th Printing, Cambridge University Press, New York, USA, hlm. x – xi

       [16]Berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 13, 3 juta orang dengan alokasi anggaran pengentasannya 94 triliun dibandingkan pada tahun 2009 mencapai 14 ,2 juta dengan anggaran 66, 2 triliun dengan asumsi PDB per kapita Rp.27 juta (3.004, 9 US dollar) sementara tahun 2009 sebesar Rp.23,9 juta (2.349,6 US dollar) periksa KOMPAS 8 Februari 2011, hlm.1

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}

MENGGUGAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG  KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA RELEVANSINYA DENGAN SUMBER DAYA TANAH PERLINDUNGAN ATAU ANCAMAN ?[1]

Oleh

Imam Koeswahyono[2]

Abstract

       YogyakartaSpecial Region (DIY) has a very important role in the history of the formation of the state of Indonesia, through deals between HB IX with Sukarno, had an advanced state capital. Some time last position was questioned by the central government by rolling the Bill of Privileges Yogyakarta. Although the crucial issue revolves around the governor and deputy governor who chaired by the Sultan and Pakualam with determination, turned into the election, the idea of Governor and Deputy Governor of the President and not the principal has a relationship with the future status of land rights owned by the Sultan and Pakualam (right of Andarbeni/ Inlandsch Bezitsrecht) which lasted until the enactment of legal unification in DIY land through the implementation of Act No.5 of 1960.
Although the de iure land law unification has occurred, but it is ipso facto dualism land law is ongoing. Threats against the existence of legal institutions, Kasultanan & Pakualaman land rights, as well as the more typical smooth entry of land resourceinto the capitalist market. Thus,will the obstruction of access to public lands under, otherwise destruction of the Kasultanan & Pakualamanas a center of Javanese culture a matter of time.

Key words: Special region,unification, pluralism, land rights

A.    Latar Belakang

       Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia menurut Pasal 18 UUD 1945 memiliki sejarah yang panjang yang khas ditinjau dari budaya-tradisi Jawa, sistem pemerintahan, peran dan kontribusi yang amat penting pada berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperbincangkan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lepas dari bagaimana peran raja (baca: Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bhuwana Kalifatullah Sayyidin Panatagama). Dengan demikian maka kedudukan Sultan sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin agama, atau tegasnya Umaro’ dan Ulama’. Hal demikian sudah barang tentu berlainan dengan kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Monarki Konstitusional seperti pada beberapa negara di Eropa Barat: Belgia, Belanda, Inggris, Spanyol yang hanya sebagai simbol dengan beberapa hak-hak privelege. Disamping itu, masalah pertanahan yang menurut konsep dan budaya bangsa menjadi hal yang amat penting dengan pepatah “Sakdhumuk bathuk sanyari bhumi, ditohi pati, pecahing dhadha wutahing ludira”, Makna dari ungkapan tersebut adalah: utamanya kedudukan tanah dalam konteks masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang agraris, nilainya setara dengan harga diri manusia yang dicerminkan dengan dahi, akan dikukuhi sampai pecahnya dada, tumpahnya darah.

        Dalam perkembangan selanjutnya terutama posta kemerdekaan Indonesia, seiring dengan pasang surut perkembangan politik, sosial, ekonomi serta budaya sejalan pula dengan perkembangan ilmu dan teknologi, DIY telah berubah menjadi kota pelajar yang metropolis, semakin padatnya hunian, lalu-lintas, carut-marutnya penataan ruang, beralih fungsi/ konversinya secara cepat sumber daya tanah pertanian menjadi non pertanian, bertambah pesatnya jumlah penduduk sebagai salah satu implikasi dari status DIY sebagai daerah tujuan wisata dan kota pelajar, serta akibat-akibat pergeseran sosial dan budaya yang mengikis keaslian budaya Jawa yang khas.

  1. Permasalahan

       Berkaitan dengan gagasan pemerintah pusat untuk mengubah status kepala daerah di DIY dari tradisi yang telah berlangsung sejak kemerdekaan Indonesia dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945 yakni Sultan sebagai Gubernur dan Pakualam sebagai Wakil Gubernur dengan penetapan menjadi pemilihan sebagaimana berlaku di provinsi yang lain. Bagaimana implikasi yang bakal terjadi apabila Undang-undang tentang Keistimewaan DIY diberlakukan terhadap status tanah dan hubungan hukum antara warga masyarakat DIY sebagai subyek hak atas tanah dengan tanah sebagai obyek ?

  1. Pembahasan

C.1. Telaah Status DIY Dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia

        Saat Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengirim surat kepada Presiden RI. Berdasarkan isi kawat, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman bergabung ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dengan tujuan mewujudkan  satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta . Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia . Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

       Mengacu pada ketentuan Pasal Bab VI tentang Pemerintah Daerah Pasal 18 B Ayat (1) yang dinyatakan: negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya pada bagian penjelasan angka II dinyatakan bahwa:

    Dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen seperti Desa di Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan yang aseli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu dengan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

       Apa yang termaktub pada Pasal 18 B Ayat (1) dan penjelasan UUD 1945 menyuratkan makna bahwa dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity) atau kesatuan dalam keberagaman memberikan keleluasaan pada masing-masing wilayah berdasarkan kesejarahan, karakteristik corak kemasyarakatan dan budayanya dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa. Berkaitan dengan kondisi negara Indonesia yang pluralitas, Soetandyo Wignyosoebroto menyatakan bahwa:

    “Socio-cultural plurality, however, does not make it easy to empower local cultures or mobilize them as part of a national political cuture. Indeed it may complicate such efforts. In a country with a multiple cultures like Indonesia, each development of political culture willl always place people in a stituation where they have to make difficult chiices between their preferences. Such dilemmas are often confusing. At the hands of nationalists who prioritize unity in all aspects of life, the principle of bhineka tunggal ika (unity in diversity) has been used more to justify activities in the name of unitary aims than to appreciate diversity in Indonesia cultures and traditions[3]

       Pertanyaan bagaimana dengan status DIY sebelum negara Indonesia berdiri yakni ketika Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) oleh pemerintah kolonial Belanda telah diberikan status sebagai daerah istimewa berdasarkan Rijksblad yang disebut daerah Swapraja, oleh Soepomo disebut “Pranatan[4]”. Pertimbangan lain mengapa DIY berbeda dengan Surakarta kemudian diberikan status sebagai daerah istimewa menurut Koesnadi Hardjasoemantri merupakan dua pilar sejarah di masa krisis agresi militer ke II kolonial Belanda  tahun 1948/ 1949 tepatnya 19 Desember 1948 sekalipun berhasil menawan presiden dan wakil presiden, namun tidak berhasil membentuk pemerintahan karena tak seorangpun bersedia menajdi pegawai Belanda[5].  Karakter masyarakat DIY walaupun kental ciri budaya Jawa yang patuh, santun, tidak suka berterus terang, namun soal nasionalisme sangat kuat yang dimanifestasikan dengan penolakan terhadap penjajahan asing[6]. Sebagai pusat budaya Jawa maka DIY dapat dikatakan sebagai barometer budaya yang melahirkan karya-karya monumental di bidang seni: tari, musik, drama, prosa, pusi, lukis dan sebagainya. Disamping itu, DIY juga menjadi referensi lembaga hukum Adat berasal dari istilah yang diperkenalkan Van Vollenhoven sebagai Adat Recht: “ keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi Bumi Putera dan orang Timur Asing yang mempunyai upaya pemaksa, lagi pula tidak dikodifikasikan[7]”.

       Pertanyaan selanjutnya, bagaimana relevansi Hukum Adat di DIY khususnya yang bersangkut paut dengan sumber daya tanah, menurut pendapat penulis sangat penting ditelaah karena dari faktor kesejarahan, realita pelaksanaannya kini (das sein) akan menjadi bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan di masa mendatang (das sollen).

Menurut hasil penelitian Triwidodo Utomo terdapat tiga pembabakan pengaturan pertanahan di DIY menurut kronologi sejarah yang intinya adalah sebagai berikut:

       Periode pertama[8] berlangsung hingga tahun 1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik raja; sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebi­dang tanah, tetapi hanya sekedar menggarapnya. Oleh karenanya zaman ini meru­pakan zaman penderitaan bagi rakyat kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat masih diwajibkan bekerja di perusahaan-perusa­haan pertanian.

       Periode kedua ditandai dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918 hingga tahun 1950-an. Seperti telah dipaparkan pada halaman 55-56, pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil tanah untuk penduduk desa. Peraturan perundangan yang mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1)   Sakabehe bumi kang wus kapranata maneh kang wus terang dienggo uwong cilik dienggoni utawa diolah ajeg utawa nganggo bera pangolahe, kadidene kang kasebut ing register kelurahan, iku padha diparingake marang kalurahan anyar mawa wewenang panggadhuh cara Jawa, dene bumi kang diparingake marang siji-sijine kalurahan mau, bumi kang kalebu ing wewengkone kalurahan miturut register kalurahan.

(Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kalura­han, diberikan kepada kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht. Adapun tanah yang diberikan kepada masing-masing kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).

(2)   wewenange penggadhuh kasebut ingadeg-adeg ndhuwur iki kasirnaake menawa saka panemune Bupati kang ambawahake bumine 10 tahun urut-urutan ora diolah utawa ora dienggoni.

(hak anggadhuh tersebut ayat 1 menjadi gugur/hapus jika menurut pendapat Bupati yang membawahi dalam jangka waktu 10 tahun berturut-turut tidak diolah atau tidak ditempati).

Pasal 4

Kejaba wewenange penggadhuh tumrap bumi lungguhe lurah sarta perabot kelurahan tuwin bumi kang diparingake minangka dadi pensiune (pengarem-arem) para bekel kang dilereni, iku wenang penggadhuh kang kasebut ing bab 3 diparingake marang kalurahan mawa anglestareake wewenange kang padha nganggo bumi ing nalika tumindake pembangune pranatan anyar, wewenange nganggo bumi kang dienggo nalika iku, ditetepake turun temurun, sarta siji-sijine kalurahan sepira kang dadi wajibe dhewe-dhewe, dipasra­hi amranata dhewe ngatase angliyaake bumi sajerone sawetara lawase sarta angliyerake wewenange nganggo bumi mau, semono iku mawa angelingi pepacak kang wis utawa kang bakal ingsun dhawuhake, utawa kang panin­dake terang dhawuhingsung.

(Kecuali hak anggadhuh atas tanah lungguh lurah dan perabot kelurahan serta tanah yang diberikan sebagai tanah pensiun para bekel yang diberhenti­kan, hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang tersebut pada pasal 3 diberikan kepada kalurahan dengan melestarikan hak para pemakai tanah pada saat berlakunya reorganisasi, hak pakai itu ditetapkan turun temurun (erfelijk gebruiksrecht), dan kelurahan diserahi mengatur sendiri mengenai ‘angliyaake’ tanah untuk sementara waktu (tijdelijke voorveending) dan ‘angliyer­ake’ hak pakai tanah (overdracht van dat gebruiksrecht), dengan mengingat peraturan yang sudah atau akan ditetapkan kemudian.

Pasal 5

(1)   ing samangsa-mangsa ingsung kena mundhut kondur bumi sawatara bageyan kang padha diparingake marang kalurahan mawa wewenang penggadhuh, menawa bumi mau bakal diparingake marang kabudidayan tetanen iku bakal ingsun paringi wewenang ing atase bumi mau miturut pranatan bab pamajege bumi, mungguh laku-lakune kang kasebut ing ndhuwur iki bakal kapranatan kamot ing pranatan.

(Sewaktu-waktu hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang diberikan kepada kalurahan dapat ditarik kembali jika tanah itu diperlukan untuk perusahaan pertanian/landbouw onderneming menurut aturan penyewaan tanah/grondhuur reglement).

(2)   padha anduweni bageyan bumi ing kalurahan kang bumine diparingake marang kabudidayan tetanen kasebut ing ndhuwur iki, padha kena diwajibake anindaake pegaweyan mawa bayaran tumrap kaperluane kabudidayen tetanen kasebut ing ater-ater ndhuwur iki. Mungguh tumin­dake ing pegaweyan mau tumeka ing wektu kang bakal ketetepake ing tembe.

(Orang-orang yang tanahnya diserahkan kepada perusahaan pertanian itu dapat diwajibkan bekerja pada perusahaan tersebut dengan menerima upah, sedang pelaksanaan pekerjaan itu sampai dengan waktu yang akan ditetapkan kemudian).

Pasal 6

Kejaba tumrap lelakon kang kasebut ing bab 5, ingsun ora bakal mundhut bumikang dianggo uwong cilik kang katemtoake ing bab 3, menawa ora tumrap kaperluane ngakeh, semono iku mawa amaringi karugian kang tinam­toake dening Pepatihingsun, sabiyantu kalayan Kanjeng Tuan Residen ing Ngayogyakarta, sawuse karembug dening kumisi juru taksir, dene panindake kang bakal tinamtoake ing tembe kamot ing layange undang-undang Pepatihingsun.

(Selain untuk keperluan dimaksud pasal 5, Pemerintah tidak akan menarik kembali tanah-tanah yang dipergunakan oleh penduduk, apabila tidak untuk kepentingan umum dan dengan ganti rugi yang ditetapkan oleh Patih Kera­jaan dengan persetujuan Residen di Yogyakarta dan telah mendengar penda­pat komisi taksir. Pelaksanaan hal ini akan diatur kemudian dengan peraturan Patih Kerajaan).

Pasal 7

(1)   Bumi sak cukupe sabisa-bisane amba-ambane saproliman bumi kabeh kudu lestari dadi milike kalurahan, kang sapisan minangka kanggo lung­guhe lurah sarta prabot kalurahan, kang kapindho dadi minangka pengar­em-arem para bekel sak alame dhewa kang kabekelane kasirnaake jalaran saka pembangune pranatan anyar, kang katelu kanggo anyukupi kaper­luane kang tumraping akeh.

(Sedapat mungkin seluas-luasnya 1/5 tanah keseluruhan harus tetap dikuasai kalurahan, pertama untuk lungguh lurah dan pamong, kedua untuk tanah pensiun bagi bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan ketiga untuk mencukupi kebutuhan kelurahan / kepentingan umum)

(2)   Pambagene kanggo anyukupi kaperluan telung bab kasebut ing adeg-adeg ndhuwur iki katindakake kalurahan sawise dimufakati Bupati kang ambawahake.

(Pembagian tanah untuk tiga keperluan tersebut diatas dilaksanakan kalurahan setelah disetujui oleh Bupati yang membawahi).

        Mengenai proses perubahan pertanahan di wilayah Paku Alaman diatur dalam Rijksblad Paku Alaman 1918 No. 18 tanggal 17 Agustus 1918 yang isinya sama atau hampir sama dengan ketentuan diatas.

         Periode akhir periode kedua ini tidak bisa dipastikan waktunya, disebabkan karena sekitar tahun 1950-an terjadi banyak peristiwa penting yang berkaitan dengan bidang agraria seperti dihapuskannya pajak kepala tahun 1946, digantikannya pajak tanah dengan pajak pendapatan tahun 1951, dan diberikannya hak milik perseorangan turun-temurun tahun 1954.

Secara umum Selo Sumardjan menyimpulkan: “dimasa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani hanya mempunyai kewajiban dan tak mempunyai hak, bahwa antara 1918 dengan 1951 mereka mempunyai kewajiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah di tahun 1951 mereka hanya mempunyai hak dan boleh dikata tidak mempunyai kewajiban”.

       Periode ketiga berlangsung sejak tahun 1950-an, hingga tahun 1984 yakni saat diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebelum membahas lebih jauh hukum pertanahan pada masa ini, terlebih dahulu harus diingat bahwa pada tahun 1950 Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman telah dibentuk dengan UU No. 3 tahun 1950 menjadi Daerah Istime­wa Yogyakarta, sehingga kekuasaan untuk mengatur hak atas tanah beralih dari Pemerintah Kasultanan dan paku Alaman kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hak asal-usul.

       Adapun peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah DIY dibidang agrar­ia adalah: Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 Tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954 Tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa Mengenai Peralihan Hak Andarbe (erfelijk individueel bezitsrecht) Dari Kalurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel gebruiksrecht) dan Perubahan Jenis Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istime­wa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht); serta Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954 Tentang Tanda Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht).

       Perda No. 5 Tahun 1954 memberi ketentuan bahwa hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dengan Peraturan Daerah, sedang tentang hak atas tanah yang terletak didalam Kota Besar/Kora Praja Yogyakarta untuk semen­tara masih berlaku peraturan seperti termuat dalam Rijksblad Kasultanan tahun 1925 No. 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 No. 25 (pasal 1 dan 2).

       Dari ketentuan pasal 1 dan 2 tersebut diketahui bahwa Perda No. 5 Tahun 1954 hanya mengatur hak atas tanah di kalurahan-kalurahan diluar kota praja Yogyakarta. Sedangkan untuk dalam Kota Besar, sambil menunggu Perda yang baru, sementara masih berlaku Rijksblad-Rijksblad diatas. Tetapi ternyaa sampai dengan tahun 1984 saat pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY, Pemerintah DIY tidak menghasilkan Peraturan Daerah yang baru, sehingga hak atas tanah di Kota Besar Yogyakarta masih diatur dengan peraturan-peraturan lama.

Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman 1918 No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit penambahan dan perubahan.

Beberapa penambahan atau perubahan itu adalah:

1.    Dari segi peristilahan, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht.

2.    Ketentuan bahwa “semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan inlandsbezits­recht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa “semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak termasuk wilayah kalurahan diberi­kan dengan hak andarbe kepada orang yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe itu” (pasal 1 Rijksblad baru).

3.     Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang melar­ang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen Yogyakarta (pasal 2).

4.    Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta menye­wakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah (pasal 6).

Selanjutnya Perda No. 5 Tahun 1954 menentukan bahwa hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan setempat (beschikkings­recht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.Perda No. 5 tahun 1954 ini meningkatkan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempun­yai tanda hak milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun berturut turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal (pasal 4).

        Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah, dikeluarkan­lah Perda No. 12 Tahun 1954. Pasal 1 Perda No. 12 Tahun 1954 ini mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan jika tanda hak milik ini hilang, dupli­katnya dapat diminta dengan harga yang ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY.

Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut biaya oleh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5,- dan sebanyak-banyaknya Rp. 75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (pasal 2), dan sebelum tanda hak milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik sementara menurut model E (pasal 6).

Sehubungan dengan perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda No. 12 Tahun 1954 ini diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 184/KPTS/1980.

       Satu masalah lagi yang perlu dijelaskan dalam periode ketiga ini adalah mengenai peralihan hak andarbe dari kalurahan dan hak pakai turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16, menjadi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Perda No. 5 Tahun 1954. Menurut Perda No. 10 Tahun 1954, peralihan hak seperti ini dilaksa­nakan oleh pamong kalurahan bersama DPR kalurahan. Apabila peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR Kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis Desa dan pamong kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan.

        Dari pasal-pasal yang terdapat pada Peraturan Daerah-Peraturan Daerah diatas dapat difahami bahwa desa mempunyai wewenang yang besar dalam masalah pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. karena PPAT hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak Barat.

    C.2. Latar Belakang dan Proses Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY

        Sebagaimana diketahui, pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan UU tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada waktu itu Daerah Istimewa Yogyakarta belum memberlakukan peraturan tersebut. Hal ini disebabkan karena selain di DIY sudah ada peraturan tentang hukum pertanahan yang teratur, juga karena ketentuan pasal 4 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1950 yang memberi pengesahan bagi DIY — atas dasar hak-hak asal-usulnya — untuk melanjutkan urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban tertentu yang telah dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk dengan Undang-undang ini.

        Sesuai dengan asas lex posteriori derogat legi anteriori dan lex superiori derogat legi inferiori, dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1960 semestinya kewenangan untuk mengatur urusan agraria sebagai kewenangan otonom menjadi hapus. Akan tetapi kenyataan menunjukkan masih terdapatnya ketentuan-ketentuan yang memberi kemungkinan berkembangnya wewenang otonomi dalam bidang agraria tersebut, yakni ketentuan pasal 4 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1950 diatas, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Agraria yang khusus mengatur untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.

       Belum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di Yogyakarta mengakibatkan timbulnya dualisme dalam hukum pertanahan di Yogyakarta, disatu pihak berlaku peraturan perundangan daerah, dan dipihak lain berlaku peraturan Pemerin­tah Pusat. Perlu dijelaskan disini bahwa berlakunya UUPA sebagai produk perundangan Pusat di DIY hanya terbatas pada tanah-tanah bekas hak Barat. Dengan kata lain, UUPA sebenarnya sudah berlaku di DIY, hanya belum sepenuhnya.

        Dualisme pada hukum agraria di DIY demikian sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpas­tian hukum, serta tidak memberikan dukungan terhadap terwujudnya pembenahan kesatuan (unifikasi) hukum Nasional yang berwawasan Nusantara.

       Ketidakpastian hukum itu terutama terlihat pada banyaknya tanda hak milik atas tanah yang berlaku di DIY. Selain Kota Praja Yogyakarta tanda bukti hak miliknya dibuat menurut model D (Perda No. 12 Tahun 1950), didalam kota sertifikat tanahnya adalah kutipan dari Jatno Pustoko Karaton Ngayogyakarta, dan untuk tanah-tanah hak Barat diberikan sertifikat menurut pasal 19 UUPA, yaitu yang berlambang Garuda Pancasila. Sertifikat bentuk pertama dan kedua tidak bisa dija­dikan sebagai jaminan di bank, sehingga pemiliknya menghendaki agar sertifikatnya diganti dengan sertifikat menurut UUPA.Alasan-alasan itulah yang melatarbelakangi pemikiran Gubernur DIY untuk menggariskan pembenahan kewenangan agraria sebagai kewenangan dekonsentrasi sesuai dan serupa dengan propinsi lain.

       Dalam rapat dinas Pemerintah Propinsi DIY tanggal 12 Oktober 1983 dipu­tuskan bahwa kewenangan agraria di Yogyakarta perlu segera diselaraskan dengan peraturan perundangan agraria secara nasional. Sehubungan dengan hal itu, dike­luarkan Keputusan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 29/TEAM/1983 ten­tang Pembentukan Team Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY. Team ini diberi tugas seluas-luasnya untuk meneliti segala akibat yang ditimbulkan oleh pemberlakuan UU Pokok Agraria secara penuh di Propinsi DIY.

Penelitian terhadap sumber pendapatan menghasilkan gambaran sebagai berikut:

1.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah DIY dalam penanganan urusan agraria.

Dengan anggapan bahwa masalah agraria masih merupakan kewenangan otonomi, maka kewenangan pemberian hak atas tanah ada pada Gubernur Kepala Daerah c.q. Direktorat Agraria Propinsi DIY. Dari pemberian hak atas tanah ini, kepada para penerima hak dikenakan uang pemasukan yang menjadi pendapatan Pemerintah Daerah Tingkat I. Pelaksanaan pungutannya berpedo­man kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1973 dan No. 1 Tahun 1975 tentang Pembagian Pendapatan (income). Pungutan dibidang agrar­ia ini selama Pelita III sampai dengan bulan Nopember 1983 mencapai Rp. 743.048.949,27,-. Jumlah ini adalah jumlah bersih setelah dikurangi 20 % yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II di Yogyakarta. Dengan pelaksanaan dekonsentrasi jumlah ini nantinya berkurang 40 % karena harus diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

2.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Yogyakar­ta.

Sesuai dengan ketentuan Perda No. 5 Tahun 1954, maka Rijksblad Kasultanan dan Paku Alaman No. 23 dan 25 tahun 1925 masih tetap diperlu­kan sebagai dasar pelaksanaan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah di Kotamadya Yogyakarta. Untuk pelaksanaan peralihan dan pendaftaran terse­but, Pemerintah Kotamadya Yogyakarta berwenang memungut biaya pulasi taksasi nilai tanah sebesar 5 %, 1 % biaya turun waris, 1 % biaya pengeringan, dan 1,5 % biaya pemecahan persil.

Pemasukan dari pungutan-pungutan diatas pada tahun 1983 sampai dengan bulan Nopember mencapai Rp. 364.750.596,-. Kalau urusan agraria ini dialihkan dan menganut sistem dekonsentrasi, Pemerintah Kotamadya Yogya­karta akan mengalami ketiadaan pendapatan yang cukup banyak, meskipun pendapatan sebesar 20 % dari uang pemasukan masih tetap ada (sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1973).

3.        Pendapatan yang diperoleh Pemerintah Desa/Kalurahan.

Dengan dasar Peraturan Daerah No. 5, 11, 12 Tahun 1954, Kalurahan di wilayah Kabupaten memiliki kewenangan menyelesaikan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah. Dalam pelaksanaan peralihan dan pendaftaran hak milik atas tanah ini kalurahan berwenang memungut biaya pulasi sebesar 5 % dari nilai taksasi tanah yang dialihkan. Namun pungutan sebesar 5 % ini hanya terbatas pada peralihan yang disebabkan karena jual beli, sedang perali­han karena warisan atau hibah dikenai biaya tata usaha sebesar Rp. 10,-. Dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Kalurahan dapat diketahui bahwa pendapatan kalurahan dari pungutan ini cukup menonjol. Akan tetapi dengan pelaksanaan sistem dekonsentrasi, pendapatan ini akan hilang karena hapusnya kewenangan keagrariaan itu.

        Disamping meneliti besarnya pendapatan yang diperoleh dari hasil pengelo­laan atas tanah, Tim Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY dalam makalahnya yang berjudul “Pokok-Pokok Pikiran dan Usul Pemecahan dari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Persoalan Pengalihan Wewenang Keagrariaan di DIY Yang Disesuaikan Dengan UUPA Menurut Sistem Dekonsentrasi”, telah pula menyampaikan kemungkinan pembenahan dari segi hukum yang dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1.    Pemerintah Pusat segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksa­naan lebih lanjut dari ketentuan yang termaktub dalam diktum KEEMPAT huruf B UU No. 5 Tahun 1960 dan aturan pelaksanaanya, serta dicabutnya peraturan perundangan yang memberi kemungkinan berkembangnya pengertian kewenangan otonomi dalam bidang keagrariaan. Peraturan Pemerintah yang diharap­kan serta peninjauan peraturan-peraturan perundangan ini sampai sekarang belum terwujud, sehingga perlu ditempuh cara kedua, yakni:

2.    Pemerintah Propinsi DIY melakukan penataan administrasi tata pemerintahan dengan mengadakan peninjauan serta mencabut sendiri peraturan perundangan daerah dalam bidang agraria yang telah dikeluarkan, seperti:

·     Rijksblad-rijksblad Kasultanan dan Paku Alaman yang mengatur tentang keagrariaan yang masih berlaku.

·        Peraturan Daerah No. 5, 10, 11 dan 12 Tahun 1954.

       Teknis pembenahan tersebut dilakukan dengan cara mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencabutan Peraturan Daerah dan Rijksblad yang mengatur masalah keagrariaan, dan dalam peraturan peralihannya ditetapkan “sambil menunggu” dikeluarkannya peraturan perundangan yang memberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY, sementara masih berlaku ketentuan-ketentuan yang lama. Berikut ini langkah selengkapnya yang ditempuh Pemerintah DIY menjelang pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di DI Yogyakarta.

        Pada tanggal 5 Maret 1984 Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan surat No. 590/406 kepada Ketua DPRD Propinsi DIY yang berisi konsep keputusan DPRD Propinsi DIY tentang Pernyataan Keinginan Pemerintah Propinsi DIY untuk memberlakukan UUPA secara penuh di DIY. Surat tersebut diikuti dengan surat No. 591/428 tanggal 10 Maret 1984 yang berisi pemberita­huan telah dibentuknya Team Penelaahan dan Perumusan Kewenangan Keagrariaan di Propinsi DIY dengan Keputusan Gubernur No. 29/TEAM/1983.

Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984 dikeluarkan Keputusan DPRD No. 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi DIY untuk memberlakukan secara penuh UUPA di DIY, disusul Keputusan DPRD No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul Kepada Presiden Republik Indonesia Untuk Mengeluarkan Keputusan Presiden yang Memberlakukan Secara Penuh UUPA di DIY. Kedua keputusan ini ditandatangani oleh Ketua DPRD Propinsi DIY beserta Gubernur dan Wakil Gubernur.

        Selanjutnya pada tanggal 22 Maret 1984 dikeluarkan Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 590/516 yang ditujukan kepada Presiden RI berisi laporan telah dikeluarkannya Keputusan DPRD No. 3/K/DPRD/1984, serta permo­honan untuk dapat segera dikeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan UUPA secara penuh di DIY. Sambil menunggu Keputusan Presiden di muka, telah dikeluarkan surat Guber­nur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 590/733 tanggal 26 April 1984 yang berisi pelbagai langkah yang segera diambil oleh Pemerintah DIY

C. 3. Pelaksanaan Keputusan Presiden  Nomor 33 Tahun 1984

       Keppres No. 33 Tahun 1984 menentukan bahwa pelaksa­naan pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Propinsi Daerah Istime­wa Yogyakarta diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Guna memenuhi ketentuan terse­but maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

       Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 menjadi dasar pemberla­kuan sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di DIY secara bertahap dimulai tanggal 24 September 1984. Dan mulai saat itu akan ditetapkan peraturan-peraturan tentang Pembentukan Kantor-Kantor Agraria di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakar­ta, tentang Pemberlakuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, serta peraturan tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketiga hal itu masing-masing tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 67, 68, dan 69 Tahun 1984.

        Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 1984 tentang Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul dan Kator Agraria Kotamadya Yogyakarta, memberi ketentuan bahwa Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kantor Agraria tersebut diatur sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 133 Tahun 1978 bab III Pasal 40 – 42. Sedang mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Agraria diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 133 Tahun 1978 bab II pasal 43-68, dan bab IV pasal 69-74.

        Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang sebelumnya ditangguhkan berlakunya di DIY berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972, sejak tahun 1984 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 1984 dinyata­kan berlaku bagi DIY, dan sekaligus mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 ini, maka Gubernur, Bupati/Walikota, dan Camat mendapat kewenangan-kewenangan tertentu dalam hal pemberian hak ats tanah, dengan rincian berikut:

       Berdasarkan ketentuan bab II Pasal 2 sampai 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, wewenang Gubernur mencakup 5 substansi, yaitu:

1.      Kewenangan memberi keputusan mengenai:

a.      Permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara dan menerima pelepasan hak milik yang luasnya:

·        untuk tanah pertanian tidak lebih dari 20.000 m2

·        untuk tanah bangunan/perumahan tidak lebih dari 2.000 m2

b.      Permohonan penegasan status tanah sebagai hak milik dalam rangka pelaksanaan Ketentuan-ketentuan Konvensi UUPA.

c.       Permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara:

·        kepada para transmigran,

·        dalam rangka pelaksanaan landreform,

·        kepada para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas gogolan tidak tetap.

2.      Kewenangan memberi keputusan mengenai perrmohonan pemberian, perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan, ijin pemindahan dan menerima pelepasan hak guna usaha atas tanah Negara, jika:

a.      Luas tanah tidak lebih dari 25 ha.

b.      Peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras.

c.       Perpanjangan jangka waktu tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

3.     Kewenangan memberi keputusan mengenai permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hak guna bangunan atas tanah Negara kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing yang:

a.      luas tanahnya tidak melebihi 2.000 m2.

b.      jangka waktunya tidak lebih dari 20 tahun.

4.      Kewenangan memberi keputusan mengenai:

a.     permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hakpakai atas tanah Negara kepada/oleh WNI atau Badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing yang:

·        luas tanahnya tidak melebihi 2.000 m2.

·        Jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.

b.     permohonan pemberian hak pakai atas tanah Negara yang kan digunakan oleh suatu Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga Negara Non Departemen atau Pemerintah Daerah.

5.      Kewenangan memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika luasnya lebih dari 10 ha tetapi tidak melebihi 50 ha.

       Sementara itu menurut Pasal 7-10, bupati mempunyai wewenang memberi keputusan mengenai: permohonan ijin untuk memindahkan hak milik, permohonan ijin untuk memindahkan hak guna bangunan kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing, permohonan ijin untuk memindahkan hak pakai kepada WNI atau Badan Hukum Indonesia yang bukan bermodal asing, serta permohonan ijin untuk membuka tanah jika luasnya lebih dari 2 Ha tetapi tidak lebih dari 10 Ha.

Sedangkan wewenang Camat adalah memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha, dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan (Pasal 11).

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 mengamanatkan pengaturan tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Milik Perorangan Berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954. Peraturan yang termuat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 ini dalam Pasal 1 nya menegaskan Perda DIY No. 5 Tahun 1954 adalah hak milik sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UU No. 5 Tahun 1960, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijen bezitrecht, altijderende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

        Penegasan Konversi dan pendaftaran hak-hak atas tanah-tanah tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 (Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984). Adapun prosedur permohonan untuk penegasan konversi hak atas tanah menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria itu adalah sebagai berikut:

1.      Mengenai hak-hak yang telah diuraikan dalam sesuatu surat tanah yang dibuat menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959, Ordonantie tersebut dalam Stb. 1873 No. 38, peraturan khusus di DIY, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat, diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dengan disertai:

a.      Tanda bukti haknya.

Yang dimaksud tanda bukti hak disini adlah tanda hak model D, model E dan kutipan dari daftar hak milik menurut Penetapan Walikotamadya Yogyakarta No. 13 Tahun 1962 (lihat pasal 3 ayat 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984).

b.      Tanda bukti kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960.

c.       Keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

2.      Mengenai hak-hak yang tidak diuraikan didalam sesuatu surat hak tanah, diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dengan disertai:

a.      Surat bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi atau bukti surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang.

      Apa yang dimaksud tanda bukti hak disini adalah Petikan Leter C yang dikeluarkan oleh Kepala Desa (Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984).

b.      Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yaitu:

·        membenarkan surat-surat bukti itu.

·        menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

·        Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu.

c.       Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yaitu: Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Selanjutnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 menentukan bahwa pendaftaran dan pemberian hak atas tanah dilaksanakan sebagai berikut.

Tanah dengan tanda hak milik model D dan kutipan buku daftar hak milik dibukukan dalam buku tanah dan kepada yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Tanah dengan tanda hak milik model E baru dapat dibukukan dalam buku tanah setelah dilaksanakan pengukuran dan kepad yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Dan tanah dengan tanda hak milik Petikan Leter C dilaksanakan setelah permohonan yang bersangkutan diumumkan menurut ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yaitu di Kantor Kepala Desa dan Asisten Wedana selama 2 bulan berturut-turut (pasal 4). Penting dikemukakan mengenai pasal Peraturan Menetri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 yang menyatakan bahwa:

1.      hak-hak yang disebut dalam pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ditegaskan dan didaftar menjadi:

a.      hak milik, jika yang mempunyainya pada tanggal 24 September 1960 memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik.

b.      hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah perumahan.

c.       hak guna usaha dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah pertanian.

2.      Hak-hak yang disebut dalam Pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA yaitu hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, brukleen, ganggam bauntuik, anggaduh, pituas, bengkok / lungguh dan hak-hak lain yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agararia, didaftar dan ditegaskan menjadi hak pakai.

D. Beberapa Catatan Pasca 1984

        Sejak berlakunya UUPA secara penuh di Propinsi DIY, dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum agraria di Indonesia. Meskipun demikian, paling tidak ada 2 (dua) permasalahan yang perlu mendapat sedikit perhatian.

Masalah pertama berkenaan dengan tanah-tanah Swapraja atau bekas Swapraja. Terhadap tanah-tanah semacam ini, diktum Kempat UU No. 5/1960 menentukan bahwa hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi kenyataannya, Peraturan Pemerintah seperti dimaksud diktum Keempat UUPA itu sampai sekarang belum ada, sehingga tanah-tanah tersebut diatas menjadi tidak jelas statusnya.

       Ketidakjelasan itu antara lain terletak pada pertanyaan siapa atau badan apa yang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah Swapraja/bekas Swapraja itu? Kemudian, apakah hak-hak dan wewenang tanah-tanah tersebut secara nyata benar-benar telah beralih kepada Negara ataukah masih dikuasai oleh bekas Pemerintahan Swapraja?

       Terlebih lagi manakala tanah tersebut hendak digunakan untuk keperluan umum, bagaimana mengenai prosedur pembebasan tanah misalnya? Seperti diketahui, tanah-tanah “Kagungan Dalem” yang di Yogyakarta diurus oleh Kantor Panitia Kismo, selain digunakan untuk keperluan tertentu, juga dapat dipakai oleh setiap orang atau badan hukum dengan cara Magersari atau Ngindung, setelah membuat suatu perjanjian.

       Mengenai perkembangan terakhir atas tanah Swapraja ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa: “Tanah Swapraja di Surakarta sesuai ketetentuan UUPA secara resmi telah menjadi milik negara, …. Untuk menangani kasus tanah Swapraja, BPN telah mengeluarkan surat yang isinya melarang siapapun melakukan inventarisasi.[2]

       Masalah kedua berkenaan dengan kebijakan Pemerintah DIY yang tertuang dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K./898/I/A/75, dimana sampai sekarang kepada seorang WNI non pribumi yang memerlukan tanah belum diberikan hak milik atas tanah. Dalam hal ini, apabila ada seorang WNI non pribumi membeli tanah milik rakyat, terlebih dahulu harus melalui pelepasan hak. Setelah tanah tersebut kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah DIY, barulah yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendapatkan sesuatu hak, yang biasanya akan diberi dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).

       Bilamana dibandingkan tingkat ekonomi golongan non pribumi yang lebih tinggi dari pada golongan pribumi, maka kebijakan Gubernur DIY ini dapat dipahami, yakni agar kepentingan rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelom­pok menengah keatas. Terlebih lagi bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah dengan hak milik oleh golongan non pribumi diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan “petani-petani berdasi”, sedang rakyat kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil.

       Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, apakah kebijakan tersebut tidak berten­tangan dengan UUPA? UUPA menganut “asas kebangsaan[9]”, yangmenurutPasal 9 ayat (2) dan Pasal 21 Ayat (1) ditegaskan:

Pasal 9 Ayat (2):˜Tiap-tiap Warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

Pasal 21 (1)“Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.

       Menurut kedua ayat tersebut tidak dibedakan antara golongan pribumi dan non pribumi. Akan tetapi selain asas kebangsaan, UUPA juga menganut ”asas perlindungan” bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warganegara yang kuat kedudukan ekonominya. Sebagai pedoman asas perlindungan ini, maka dalam pasal 26 ayat (1) ditegaskan:

Pasal 26 (1)”Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menu-rut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

       Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pula ketentuan yang termuat dalam pasal 11 ayat (1) yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperi kemanusiaan (penjela­san umum UU No. 5 Tahun 1960, bagian II angka 6). Lagipula dalam sejarahnya, Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25 pernah memuat ketentuan yang kurang lebih sama artinya dengan ketentuan Instruksi Gubernur di muka, sebagai berikut:

Pasal 6 (1)

”adol utawa angliyerake wewenang andarbeni utawa nganggo bumi … marang wong kang dudu bangsa Jawa lan maneh nyewaake utawa nggaduhake bumi gawe marang wong kang dudu bangsa Jawa, … kalarangan”.

(Menjual atau memindahkan hak milik atau hak pakai atas tanah … kepada yang bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) dan juga menyewakan atau menggaduhkan tanah kepada bukan bangsa Jawa (baca: bangsa Indonesia) … dilarang).

        Kesimpulan dari paparan di muka, bahwa kebijakan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut telah sesuai dan selaras dengan UUPA dan oleh karenanya tidak terdapat pertentangan satu sama lain. Bahkan hal ini dapat dibenarkan berdasarkan hak asal-usul yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang jelas, selama ini inventarisasi dan pembagian tanah oleh BPN atas tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Fakta ini dalam prakteknya selalu berhadapan dengan masalah pro dan kontra, disebabkan karena adanya anggapan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa PP No. 224 Tahun 1961 itu tidak bisa dijadikan dasar, dan oleh karenanya tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja itu tetap tidak jelas statusnya.

       Harus diakui bahwa fungsi PP No. 224 Tahun 1961 itu masih membingungkan. Sebab kalau memang dimaksudkan sebagai aturan organik (pelaksana) dari UU No. 5 Tahun 1960 khususnya Diktum Ke empat, dalam konsideran PP No. 224 Tahun 1961 semestinya dicantumkan “Diktum Ke empat UU No. 5 Tahun 1960”, tidak sekedar “UUPA (LN 1960 No. 104)”. Meskipun demikian, paling tidak ada 2 (dua) ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961, yakni:

1.     Tanah-tanah yang akan diredistribusikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara (Pasal 1 c).

2.     Tanah Swapraja/ eks Swapraja tersebut diberi peruntukan: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk masyarakat yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu, dan sebagian untuk rakyat yang memerlukan (Pasal 4).

      Menurut kajian Konsorsium Pembaruan Agraria dalam situsnya pada salah satu artikel dinyatakan sebagai berikut:

Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UU No.5/1960 (UUPA) yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya  harus dikecualikan dan penerapannya baru berjalan sekitar 24 tahun yang lalu. Namun hingga kini Yogyakarta masih memberlakukan Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dualisme pemberlakuan hukum tanah di Yogyakarta memang bisa dianggap hak istimewa Yogyakarta. Namun bila keistimewaan dapat mengalahkan kewenangan hukum maka hal itu merupakan persoalan serius bagi negara ini.     Rumusan tentang tanah yang terdapat Pasal 10 RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta mengandung banyak persoalan serta ketidakpastian. Pertama, tanah kraton (Sultan Grounds/SG dan Pakualaman Grounds/PAG) adalah tanah yang sejak dulu menjadi yurisdiksi kekuasaan Yogyakarta. Fenomena sejarah hukum inilah yang menempatkan kraton seakan-akan sebagai badan hukum publik bersifat privat. Konsekuensinya, proses peralihannya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara tidaklah terlalu sukar bilamana dibandingkan dengan hak milik pribadi.
       Kedua, banyak masyarakat DIY telah lama menggarap tanah-tanah SG dan PAG, bahkan ada yang sudah memiliki Hak Milik. Jika RUU tentang Keistimewaan DIY ini disahkan menjadi UU, maka dikhawatirkan akan muncul pengambilalihan tanah-tanah yang sudah digarap masyarakat oleh kraton. Seperti yang pernah dilansir oleh HIMMAH UII No.02/Thn.XXXIV/2002, contoh kasus SG ini misalnya dapat kita lihat di desa Cangkring, Kabupaten Bantul, dimana rakyat yang merasa sudah memiliki hak milik atas tanah harus berhadapan dengan aparat pemerintah desa dengan didukung oleh kraton yang mengklaim bahwa tanah itu adalah tanah kraton (SG).  Tanah itu sedianya akan digunakan untuk investor. Dari kasus ini bisa dilihat bahwa klaim kraton terhadap tanah-tanah yang ada di DIY berpotensi menimbulkan konflik dan reproduksi hegemoni[10].

             Mengacu pandangan Franz Magnis Suseno mengulas soal kekuasaan otoriter dan runtuhnya partisipasi masyarakat dikatakan:

    “kestabilan suatu negara tergantung dari luas pengakuan wewenangnya oleh masyarakat. Suatu kekuasaan yang hanya berdasarkan perasaan takut akan rapuh karena hanya dapat dipertahankan melalui aparatur penindas yang semakin besar. Supaya ancaman meyakinkan, penindas tidak boleh pandang bulu. Tetapi penindasan akan menimbulkan kebencian yang lebih besar lagi, sehingga untuk mempertahankan tertib yang sama diperlukan penindasan, dan dengan demikian aparatur penindas, yang lebih besar lagi. Dan seterusnya….[11]

      Jika melihat pada sistem pemerintahan keraton yang monarki paternalistik dengan kuatnya sistem kepercayaan Jawa[12] yang dari masa ke masa gaya kepemimpinan Sultan sebagai Gubernur DIY berbeda sesungguhnya selain menampakkan sisi demokratis, namun mendapatkan tantangan dari negara sebagai wadah kebhinekaan yang mengalami pergeseran dari sistem “demokrasi” ke “mobokrasi” dimana yang mengemuka adalah kepentingan politik golongan yang berkuasa. Sudah barang tentu, pada suatu ketika Gubernur dan Wakil Gubernur  dipilih melalui sistem pemilihan kepala daerah langsung, namun tidak memahami secara arif dan benar bagaimana budaya masyarakat DIY termasuk di dalamnya bagaimana relasi masyarakat dengan sumber daya tanah, sangat dimungkinkan muncul sifat otoriter, dengan semena-mena menghapuskan dan/ atau mengambilalih hak-hak masyarakat Adat, atau melepaskan dan/ atau melakukan tukar-menukar aset tanah wewengkon keraton kepada investor baik domestik apalagi investor asing melalui produk hukum Peraturan Gubernur yang dinyatakan RUU Keistimewaan DIY, kedudukan hukumnya lebih tinggi dari Peraturan Daerah DIY. Tak pelak lagi ungkapan yang dinyatakan oleh salah satu kerabat keraton DIY yang menyatakan bahwa wewengkon keraton sekarang hanya tinggal selebar terkembangnya payung ( mung kari sak megaring songsong), semakin tak terbantahkan.

       Sekalipun secara de iure UUPA telah diberlakukan sejak 1984, sesungguhnya tidak serta merta telah terjadi unifikasi hukum pertanahan di DIY, namun masih terdapat Dualisme pengaturan hukum tanah yakni hukum negara (State law) yakni UUPA dan hukum Adat tentang tanah (Indigenous Law Concerning Land), sehingga membuka peluang terjadinya konflik hukum.

       Secara filosofis F.Budi Hardiman menyatakan bahwa problematika yang mengemuka sehubungan dengan implementasi Pasal 18 B paragraf 2 dan Pasal 28 I paragraf 3 UUD 1945 khususnya makna negara mengakui, negara melindungi, dengan demikian masalah yang selanjutnya mengedepan adalah:

    From the bureaucratic prespective, the tribal group is the other who can still be tolerated,i.e.allowed to live. However what is tolerated here is determined from the power-holder’s perspective, not from a process of deliberation between the state and indigenous people. Furthermore, the other remains dangerous from the perspective of national security, because they do not think rationality or in the same way as bureaucracy does. From the bureaucratic perspective as far as posible, the other which can be considered an anomaly needs to be domesticated, homogenized and territorialized into sedentary entity. However, the other existed before politics and states were even established. In the sense there is an anti –ontology: the state sees itself as more real than the tribal group[13]

       Konflik antara negara dan masyarakat Adat sebagai beberapa konsekuensi dari relasi negara multikultural dengan komunitas kelompok etnis oleh Budi Hardiman ditawarkan tiga model: 1. Communitarian adopsi teori dari Mc Intyre dan Sandel M Walzer dimana negara sebagai keluarga besar berorientasi pada gemeinschaft dengan sistem hukum yang sama, sekalipun tantangannya demos is ethnos etnis yang berkuasa yang akan dominan atas etnis lain. 2. Model Liberal adopsi konsep John Rawls dimana sebagai manifestasi dari totalitas politik diintegrasikan melalui hukum positif moderen yang diupayakan bebas dari nilai-nilai kelompok etnik, karena secara abstrak terpisahnya negara dan komunitas etnis. Multikultural model adopsi teori Ch Taylor dan W Kymlica konsepsi multi kultural sebagai kritik terhadap liberalisme. Negara dalam hal ini tidak hanya mengenal dan memahami kepentingan perorangan tanpa melihat latar belakang kebudayaan masing-masing, namun harus mengakui identitas kultural dari kelompok-kelompok masyarakat Adat. Lebih jauh, negara layaknya bak cocktail identitas kolektif, melindungi hak-hak budaya secara kolektif. Walaupun nampak liberal, negara tidak hanya menjamin hak-hak individual yang kosmopolitan, namun melindungi dengan mengukuhi hak-hak budaya masyarakat[14]. Pilihan model ketiga sebagaimana dapat disarikan dari pandangan F Budi Hardiman sekiranya masyarakat lokal/Adat sebagai sebuah kenyataan dimana kedudukan hukum Adat dan hukum negara sebagai suatu yang solid. Diasumsikan masyarakat lokal sebagai realitas, namun ada sisi negatif mengedepannya etnosentrisme dan konservatisme dimana masyarakat lokal sedang berproses menjadi tak ada hak yang dapat diterapkan namun akan tertransformasi dari dalam dengan sendirinya. Dalam konteks relasi antara masyarakat lokal dengan negara sebagai wadah keberagaman Michael J Sandel menegaskan dalam relasi yang demikian kedudukan masing-masing pemangku kepentingan haruslah setara (egaliter) yakni kedudukan secara sosial ekonomi, sehingga nilai keadilan tidak dilihat dari perspektif negara semata melainkan dari sisi masyarakat lokal itu sendiri. Seperti kritik sandel atas pandangan Kant dan Rawls dinyatakan oleh Sandel:

    The first, is the claim that certain individual rights are so important that even the general welfare cannot override them. The second is the claim that the principles of justice that specify our rights do not depend for their justification on any particular conception of good life or as Rawls has put it more recently, on any comprehensive moral or religious conception[15]

     Dengan demikian Sandel hendak menegaskan akan arti pentingnya pemberian kebebasan dan perlindungan politik dan hak-hak sipil, sehingga negara harus bersikap netral diantara persaingan mencapai kehidupan yang baik. Walau demikian sudah tentu kondisi masyarakat Indonesia sangat berlainan dimana kesenjangan antara golongan masyarakat kaya dan golongan miskin begitu mencolok[16], kesenjangan pendapatan antara kelompok petani dan pengusaha sangat tajam, maka peran hukum sebagai garba keadilan sudah tentu harus berpihak pada kepentingan masyarakat yang kurang diuntungkan.

       Simpulan yang penulis dapat kemukakan ikhwal rencana pengundangan tentang keistimewaan Yogyakarta haruslah disikapi secara arif, harus dikaji secara mendalam mengenai untung rugi mengubah tatanan yang telah mentradisi. Sekalipun sebagian masyarakat mengajukan kritik feodalisme moderen yang menghasilkan penindasan sekelompok kecil orang yang berkuasa atas sebagian besar orang harus diakhiri. Sekali lagi proses demikian tidak semata-mata disimak dari perspektif politik belaka, melainkan sangat perlu dikaji dari perspektif multi disiplin dengan prosedur yang benar dari naskah akademik, sosialisasi kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi partisipasi genuine masyarakat, mendiskusikan secara multi pihak, merumuskan draf rancangan undang-undang, mensosialisasikan, mendiskusikan secara multi pihak. Sebuah proses panjang yang mesti harus ditempuh. Kaitannya dengan sumber daya tanah, sangat penting artinya pengaturan soal pluralisme hukum tanah posta belakunya UUPA, harus menekankan pada perlindungan tanah-tanah komunal/ tanah kas desa, tanah hak Indonesia, harus dilindungi dengan persyaratan konversi yang ketat dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa demikian, tidak lain untuk mencegah masuknya tanah hak Indonesia ke dalam arus kapitalisme global dengan free fight liberalism. Mampu dan terealisasikah ide demikian terpulang pada seberapa besar komitmen pembentuk undang-undang merumuskannya, bagaimana aparat penegak hukum bekerja mengawal dan mencegah terjadinya penyimpangan yang bisa terjadi.

DAFTAR  PUSTAKA

Dadang Juliantara.,2003., Pembaruan Desa, Bertumpu Pada Yang Terbawah, Edisi Revisi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta

Himawan Pambudi (Editor).,2006., Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri 80 tahun Mengabdi Sepanjang Masa, Kehati, HuMa, ICEL, Lappera, STPN, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006., The Structural Relationship Between Indigenous Peoples, Ethnic Groups, Nations and The State, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan UNDP, Jakarta

Iman Sudiyat,.1978., Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta

Lukas Sasongko Triyoga.,1998.,Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Gunung Merapi,  Cetakan Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Michael J Sandel.,2008., Liberalism And The Limits of Justice, Second Edition, 11th Printing, Cambridge University Press, New York

Muchsin dan Imam Koeswahyono.,2007., Soimin (Editor)., Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung

Mochammad Tauchid.,1952., Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, Tjakrawala, Djakarta

R Roestandi Ardiwilaga.,1962., Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV Masa Baru, Bandung

Selo Soemardjan.,1984.,Social Change in Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta

Stuart Hampshire.,2000., Justice is Conflict, Princeton University Press, USA

Supomo.,1970., Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, Tjetakan Kedelapan, Pradnja Paramita, Djakarta

Bahan Unduhan Dari Internetdan Sitasi Media Massa:

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum.html diunduh 4 Februari 2011

http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89, dunduh 5 Februari 2011

KOMPAS, Selasa 8 Februari 2011


      [1]Perubahan mendasar atas makalah diskusi rutin Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP-Otoda) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 9 Februari 2011, Terima kasih atas pertanyaan kritis dari sejawat Dr.Moh Ridwan,SH.MH. Ali Syafaat,SH.MH, Ngesti D Prasetya,SH.MH, Faizin Sulistya,SH.LL.M. Substansi tulisan bukan merupakan pandangan lembaga (PPHA FH-UB), namun semata-mata merupakan pandangan penulis, kontak penulis: pusbangagr@ub.ac.id

      [2] Sekretaris Pusat Pengembangan Hukum Agraria (PPHA), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1997-2010 dan 2010 sampai kini, Anggota KOMPILASI (Kelompok Kajian Penekun Socio-Legal Indonesia), 2006 – sekarang,

     [3]Soetandyo Wignyosoebroto dalam Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006., The Structural Relationship Between Indigenous Peoples, Ethnic Groups, Nations and The State, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan UNDP, Jakarta, hlm. x

      [4]Supomo.,1970., Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, Tjetakan Kedelapan, Pradnja Paramita, Djakarta, hlm.57-58 dan 60-63

      [5]Himawan Pambudi (Editor).,2006., Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri 80 tahun Mengabdi Sepanjang Masa, Kehati, HuMa, ICEL, Lappera, STPN, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm.336 – 338

      [6]Bandingkan dengan bagaimana perubahan sosial  masyarakat yang terjadi di DIY jika dibandingkan antara masa penjajahan kolonial dengan posta kemerdekaan Indonesia sebagaimana ditulis oleh Selo Soemardjan.,1984.,Social Change in Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta memudarnya kekentalan budaya Jawa, masuknya pola hubungan Gesellschaft yang mengubah pola Gemeinschaft dari hubungan berdasarkan kegotongroyongan, keguyuban dengan hubungan  yang menimbang untung-rugi atau take and give.

     [7]Iman Sudiyat,.1978., Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 17

       [8] Periksa pada http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/hukum-pertanahan-di-yogyakarta-sebelum.html periksa pula R Roestandi Ardiwilaga.,1962., Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV Masa Baru, Bandung, khususnya hlm.378 mulai angka 16 – hlm 383 yang menerangkan status tanah Swapraja yang intinya tanah merupakan “Kagungan Dalem” (all the land owned by the King/ alle land kroondomein) dalam hal ini: Sultan. Bandingkan pula dengan tulisan Mochammad Tauchid.,1952., Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Pertama, Tjakrawala, Djakarta, hlm.135 – 149 yang esensinya hamper sama dengan Ardiwilaga dengan menambahkan membagi  kedudukan tanah dan fungsinya masing-masing yakni:

I.                    Tanah yang dipakai Sultan Sendiri

II.                  Tanah yang diberikan Sultan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk kantor, gedung

III.               Tanah yang diberikan kepada orang asing (WNA): hak Eigendom, Opstal

IV.                Tanah Golongan diberikan menurut golongan abdi dalem

V.                  Tanah Kasentanan diberikan kepada keluarga/ kerabat Raja

VI.                Tanah pekarangan Bupati, untuk pegawai dengan perkampungan di sekelilingnya

VII.             Tanah Kebonan dan pekarangan di luar pusat pemerintahan diberikan ke Patih (Rijkbestuurder)

VIII.           Pekarangan penduduk di luar tanah-tanah I-VII

IX.                Sawah Mahosan yang dikerjakan dan dipelihara Bekel dengan membayar pajak (Pajeg/ Paos) (cetak miring dan tebal dari penulis)

Masing-masing abdi dalem tinggal dalam lingkungannya (Krajan,Ambtserf) berdasarkan Surat Rijkbestuurder 1-08-1913 dinamakan ia sebagai Cangkok, dengan kualifikasi Hak Memakai Tanah Pekarangan, tanpa membayar untuk mendapatkannya namun membayar pajak kepada negara. Orang lain yang mendiami atau abdi dalem dari golongan lain dinamakan Indung Cangkok dan kawedanan berhak menarik pungutan atau kewajiban kerja (Diensten).

       [9] Dalam beberapa bahan pustaka dinamakan juga Prinsip Nasionalitas atau Azas Kebangsaan yang esensinya adalah perlindungan SDA khususnya tanah dari penguasaan dan pemilikan oleh warga negara asing (WNA) atas korporat asing termasuk tentunua ulti National/ Transnational Corporation (MNC/TNC)

     [10] Periksa http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89, dunduh 5 Februari 2011

    [11]Franz Magnis Suseno, 1999 dalam  Dadang Juliantara.,2003., Pembaruan Desa, Bertumpu Pada Yang Terbawah, Edisi Revisi, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm. 1

    [12]Lukas Sasongko Triyoga.,1998.,Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Gunung Merapi,  Cetakan Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 1-12 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan bersifat magis religius antara Sultan sebagai manifestasi pemimpin masyarakat Jawa dengan penguasa Samodera Indonesia (Segoro Kidul) dan pengauasa Gunung Merapi (Mbah Merapi) sebagai penguasa bagian utara keraton yang akan menjaga dan melindungi Sultan dari ancaman makhluk ghaib dan musuh dengan memberi kekuatan supra natural kepada Sultan dengan imbalan sesaji yang dilakukan keraton menurut sistem kalender/ penanggalan Jawa seperti misalnya pada bulan Maulud dan Syura

       [13]F.Budi Hardiman dalam Ignas Tri (Editor) Frans Magnis Suseno dkk.,2006 Op.Cit hlm. 56 -57

      [14]Ibid hlm. 58 – 61

       [15]Michael J Sandel.,2008., Liberalism And The Limits of Justice, Second Edition, 11th Printing, Cambridge University Press, New York, USA, hlm. x – xi

       [16]Berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 13, 3 juta orang dengan alokasi anggaran pengentasannya 94 triliun dibandingkan pada tahun 2009 mencapai 14 ,2 juta dengan anggaran 66, 2 triliun dengan asumsi PDB per kapita Rp.27 juta (3.004, 9 US dollar) sementara tahun 2009 sebesar Rp.23,9 juta (2.349,6 US dollar) periksa KOMPAS 8 Februari 2011, hlm.1

Share Post Ini :

Twitter
Telegram
WhatsApp

Artikel Dan Berita Terkait

Gandeng Empat Kampus, FH UB Perluas Jejaring Kajian Sosio-legal di Indonesia

Oleh: Agus Sahbani Bertempat di auditorium Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang pada 10...

Memahami Ulang Ragam Pendekatan Riset Hukum

Oleh: Normand Edwin Elnizar Secara garis besar, pendekatan riset hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doctrinal dan...

LOG IN

Belum Join Member? Klik tombol dibawah