Konsesi Perkebunan dan Hak Tanah Komunal Orang Melayu di Sumatera Timur: Suatu Analisis yang Diperluas

Oleh:
Edy Ikhsan

Pengalaman-pengalaman pertama dan luar biasa yang dialami para Sultan dan para pemimpin adat di pesisir Timur Sumatera, pekebun asing dan penduduk setempat dengan diperkenalkannya onderneming tembakau pada babakan ketiga abad ke 19, dipenuhi dengan berbagai eksperimentasi di atas claim kekuasaan, kekaburan kewenangan kuasa atas tanah, perlawanan sosial dari penduduk di bawah naungan para pemimpin kampung (Datuk/Penghulu) dan motif kepentingan kolonial untuk menjejakkan pengaruhnya di kawasan ini. Penemuan tembakau sebagai komoditi yang menguntungkan di dataran-dataran rendah pesisir Sumatera Timur memicu adrenalin para pemegang tampuk kekuasaan politik terutama dua pihak penting pertama dalam penandatanganan kontrak awal konsesi perkebunan tembakau (Pihak kesultanan dan pekebun asing). Mendadak sontak, wilayah yang dulunya hampir tidak pernah mendapat perhatian pemerintah kolonial di Batavia, berubah menjadi satu sorotan yang paling penting di antara wilayah-wilayah lain di kawasan buiten gewesten (luar Jawa dan Madura). 

Diperkenalkannya konsesi model Barat sebagai sebuah bentuk sewa jangka panjang atas tanah- dan hutan belantara memicu perhatian yang lebih dalam untuk melihat, menilai dan menyimpulkan tempat dari satu hak yang dianggap paling tinggi dalam penguasaan tanah, yakni hak atas tanah komunal (beschikkingrecht). Pertanyaan pokoknya adalah apakah konsesi-konsesi tersebut memberi naungan (memproteksi) hak-hak sedia kala yang dimiliki oleh penduduk setempat atau dengan cara apa para penyusun konsesi itu mengartikulasikan atau mengkonseptualisasikan hak-hak tanah komunal itu dalam bingkai kapitalisasi perkebunan di wilayah ini. Dengan memakai bahan model kontrak konsesi yang diseragamkan sejak tahun 1877, elaborasi di bawah ini mencoba melihatnya dalam kerangka yang lebih luas dari hanya sekedar mendiskusikan kerangka normatif yang membingkai elemen-elemen penting isi konsesi terkait hak-hak komunal atas tanah yang disebutkan di atas.

Model Akte Konsesi 1877: Tafsir Politik atas Woeste Grond dan Konsekuensinya

Tahun 1877, empat belas tahun setelah “riuh-rendah” dan juga kesewenang-wenangan kooptasi tanah di wilayah ini, sebuah aturan baru dibuat melalui penyeragaman sebuah model akte konsesi untuk Sumatera Timur. Sebuah Besluit pemerintah Hindia Belanda bernomor 4, tertanggal 27 Januari 1877 dikeluarkan sebagai rujukan bagi model yang hendak diberlakukan tersebut. Dalam pasal 1 Besluit tersebut dinyatakan bahwa: “persetujuan yang dituntut menurut aturan-aturan kontrak yang berlaku bagi Kerajaan Siak Sri Indrapura dari pihak pemerintah atas kontrak di kerajaan tersebut, tidak diberikan kecuali kontrak tersebut disesuaikan dengan model terlampir pada keputusan ini. Di Keresidenan Pantai Timur Sumatra kewenangan diserahkan untuk memberikan persetujuan pada kontrak perkebunan yang dibuat atas dasar ini dan atas nama pemerintah seperti yang dimaksud di atas’.[1]

Surat tersebut tidak hanya menyebutkan kebutuhan akan adanya keseragaman untuk semua konsesi yang dikeluarkan sebagai dasar dibuatnya model akte (1877) namun juga bertujuan untuk mencegah keterlambatan yang merugikan dalam awal pembukaan lahan, yang menurut dugaan Residen, permohonan ini bertumpu pada alasan bahwa di Siak Sendiri (yang sangat mengecewakan bagi Sultan) belum ada satupun perkebunan yang dibuka.[2]

Dalam catatan sejarah, model akte konsesi 1877 bukanlah yang pertama dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Beberapa tahun sebelum Nienhuijs mendapatkan konsesi di tahun 1863, tercatat dan dianggap sebagai konsesi perkebunan pertama di Hindia Belanda yang diberikan kepada pengusaha asing di daerah swapraja adalah kontrak konsesi perkebunan yang diperoleh J.W.Neys dari Raja dan para orang besar Limboto (Residensi Menado) melalui Besluit No.17, tertanggal 19 Mei 1860 untuk jangka waktu 15 tahun bagi penanaman cokelat. Syarat-syarat yang ada dalam konsesi yang diterima Neys merujuk kepada aturan-aturan yang tertera dalam koninglijk Besluit 1856 No.64. Sejumlah syarat utama yang kelak bisa dibandingkan dengan akte konsesi 1877 dan seterusnya menunjukkan ada kemiripan diantara akta-akta tersebut.[3]

Mahadi[4] yang banyak mengurai soal-soal krusial dalam semua model akte yang pernah dikeluarkan di Pantai Timur Sumatera (mulai model 1877, 1878, 1884 dan 1892), tidak sempat mengurai perdebatan dalam tubuh pemerintah Hindia Belanda tentang apa yang mereka risaukan sehubungan dengan dikeluarkannya model akte konsesi pertama di tahun 1877. Padahal ini menjadi sangat relevan untuk melihat bagaimana cara pandang dan dukungan mereka terhadap para pekebun dalam rangka eksploitasi tanah di wilayah ini.

Dari 10 pasal yang tertera dalam akte konsesi 1877, sekurangnya ada tiga (3) pasal  krusial dimata pemerintah Hindia Belanda yang menimbulkan perdebatan antara Residen dan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, terkait hak tanah komunal dan pemiliknya. Pertama, Pasal 1.  “Overeenkomst gesloten tusschen Z.H. den Sultan  en de Rijksgrooten van Siak  Sri Indrapoera eenerzijds en  den heer ……  ter andere zijde.  De Sultan en de Rijksgrooten van Siak Indrapoera staan aan den contractan ter andere zijde , voor eene landbouw onderneming een stuk woeste grond af  van ….. bouws, , gelegen te ……….  en grenzende aan ………. , de bouw gerekend op vijfhonderd vierkante  rijnlandsche roeden. (Perjanjian dibuat antara Sultan dan Orang-Orang Besar Siak Sri Indrapoera pada satu sisi dan Tuan…… pada sisi lainnya. Sultan dan Orang-Orang Besarnya afstaan.

Menurut Penjelasan dari pasal tersebut, penyebutan Sultan dan Orang-Orang Besarnya tersebut karena adanya pengakuan dari Sultan (Siak) dan Orang besarnya bahwa tanah-tanah tersebut dibawah kepemilikan mereka (dat Sultan en de rijksgrooten  de gronden eigener autoriteit uitgeven) dan pernyataan bahwa Sultan-Sultan di Deli, Langkat dan Serdang dianggap berada pada level yang lebih rendah yang tak berhak mencampuri urusan-urusan berkaitan penguasaan atas tanah. Pernyataan ini sebenarnya bertolak belakang dari apa yang dikatakan oleh Hymans van Anrooy bahwa hak milik atas tanah tidak berada pada tangan para Sultan, tapi ada pada penduduk yang mengusahakan tanah tersebut.[5] Ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Koreman: “sebesar apapun perbedaan adat orang Melayu dan Batak  terkait dengan tanah komunal (atas tanah-tanah liar), kepala kampunglah (apakah kampung kecil atau besar), dengan pemahaman mereka yang sangat kuat tentang bidang tanah, sebagai pemilik kekuasaan atas tanah-tanah tersebut untuk digunakan atau tidak digunakan.[6]

Terlihat bahwa sejak awal sekali saja, sudah ada anggapan yang mendua atas posisi para Sultan atas kewenangan-kewenangan mereka atas tanah-tanah yang dikategorikan sebagai tanah liar (woeste grond). Keadaan ini boleh jadi dipicu oleh cara pandang pemerintah Hindia Belanda selepas ditandatanganinya traktat London di tahun 1824 dan takluknya raja Siak pada tahun 1858, bahwasanya kesultanan Siak dan seluruh taklukannya sejatinya telah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda. Kondisi lainnya berada pada wilayah keraguan atas asal-usul Sultan yang memerintah saat itu yang dipandang bukan penduduk setempat melainkan berasal dari Johor (Malaysia) atas bantuan orang-orang Minangkabau yang berdiam di sana.[7]

Kedua, Pasal 5. “Voor den afgestanen grond zal door den contractan ter andere zijd eene jaarliksche pacht worden voldaan van een gulden per bouw. De pacht of huur wordt gerekend terstond na de goedkeuring van het contract te zijn ingegaan, met dien verstaande, dat in het eerste jaar de pacht moet worden voldaan voor het aantal bouws, dat in ontginning is gebracht, en in elk geval minstens een vijfde gedeelte der geheele pachtsom, in het tweede jaar tweede vijfden, in het derde jaar drie vijfden, in het vierde jaar vier vijfden en in het vijfde en in de volgen de jaren de geheele pachtschtat.” (terjemahan bebasnya: Bagi tanah yang dilepaskan, suatu uang sewa tahunan harus dibayarkan oleh pengontrak, sebesar satu gulden per bahu. Uang sewa atau uang borongan ini segera setelah persetujuan terhadap kontrak dibuat, dibayarkan dengan pengertian bahwa pada tahun pertama uang sewa harus dibayar untuk sejumlah bahu yang akan dibuka, dan pada setiap kasus setidaknya seperlima bagian dari uang sewa, pada tahun kedua sebesar dua perlima, pada tahun ketiga sebesar tiga perlima, pada tahun keempat sebesar empat perlima dan pada tahun kelima dan tahun-tahun berikutnya yakni seluruhnya).

Perdebatan terjadi antara Residen dan Dewan Hindia Belanda di Batavia. Residen Pantai Timur Sumatera menganggap pasal ini masih membebani bagi pengusaha. Namun Dewan tidak bisa membenarkan hal ini. Menurut Dewan, satu gulden per bahu setiap tahun merupakan uang sewa yang sangat murah, yang bagi pengusaha tidak akan menimbulkan keberatan, apalagi dengan cara pembayarannya, yang menurut ayat keduanya , pada tahun pertama hanya dibayarkan seperlima bagian dari uang sewa dan baru pada tahun kelima seluruh uang sewa dilunasi. Selain itu Dewan menganggap dipertahankannya pasal 5, sangat diperlukan atas kompensasi pelepasan lahan yang sangat luas kepada beberapa orang.[8]

Kecendrungan Residen Sumatera Timur yang lebih berpihak kepada para pengusaha perkebunan mungkin lebih disebabkan karena menilai akan semakin besarnya pendapatan sultan-sultan di wilayah ini. Pelzer menunjukkan, dalam ketajaman pikirannya, sultan mengaitkan penarikan modal asing dan penghasilan yang lebih besar bagi drinya dengan kenaikan hasil dalam ekspor. Sultan mengutip bea dari semua impor dan ekspor – atau cukup menugaskan seorang Cina untuk mengumpulkannya. Tetapi pengumpulan bea-bea ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1876, Sultan Deli sesudah itu menerima ganti rugi untuk penghasilannya.[9] Maka, bisa dibayangkan pundi-pundi kesultanan akan semakin besar dengan mendapatkan tambahan dari hasil sewa 1 gulden per bau tersebut.

Pendapatan Kesultanan tersebut sebenarnya berjalan sejajar dengan yang  diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda dan para pekebun asing. Data penghasilan dari eksploitasi tanah untuk perkebunan tembakau yang disebutkan di bawah ini menunjukkan tingkat signifikansi yang luar biasa terutama setelah intervensi normatif dan politis yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Data yang diambil dari Henri Dentz[10] ini juga bisa menggambarkan tingkat percepatan ekspansi pembersihan woeste grond melalui angka-angka pendapatan kolonial saat itu:

TahunPakken[11]NilaiTahunPakkenNilai[12]
186450ƒ 4000188393.532ƒ19.150.000
1865189 ƒ 40.0001884125.496ƒ 27.550.000
1866159,,  30.0001885124.911,, 26.976.000
1867210,,  20.0001886139.512,, 32.600.000
1868890,, 200.0001887144.157,, 26.650.000
18691381,, 250.0001888182.284,, 35.500.000
18702868,, 450.0001889184.322,, 40.600.000
18713922,, 750.0001890236.323,, 26.000.000
18726409,, 1.000.0001891225.629,, 31.400.000
18739238,, 2.500.0001892144.689,, 26.700.000
187412.895,, 2.850.0001893169.526,, 37.600.000
187515.355,, 3.900.0001894193.334,, 35.000.000
187629.034,, 6.500.0001895204.719,, 28.350.000
187736.157,, 6.800.0001896191.185,, 32.400.000
187848.545,, 9.200.0001897201.736,, 37.130.000
187957.596,, 10.350.0001898235.653,, 33.000.000
188064.965,, 11.250.0001899264.100,, 33.300.000
188182.356,, 14.750.0001900223.730,, 38.000.000
1882102.047,, 21.500.000   

Ketiga, Pasal 6. “Wanneer binnen de grenzen der in aƒrtikel 1 dezer overeenkomst bedoelde gronden, kampongs of bij de bevolking nog in gebruik zijnde gronde worden aangetroffen, mag der contractant ter andere zijde niet over deze gronden beschikken. De Sultan en zijne rijksgrooten verbinden zich, om als dan eene gelijke uitgestrektheid woeste gronden aan de concessie toe te voegen ter vervanging, mits zoodanig gronden geheel ter beoordeeling van de Sultan en rijksgrooten aanwezig en beschikbaar zijn. Wanneer binnen de grenzen der concessie vruchtboomen worden aangetroffen, behoorende aan vroegere bewoners, verbindt de contractant ter andere zijde zich de waarde dier de vruchtboomen naar billijkheid aan de rechthebbenden te vergoeden. In geval van verschil beslissen de Sultan en zijne rijksgrooten, des verkiezende in overleg met het hoofd van Geweestlijk of Plaatselijk Bestuur”. (terjemahan bebasnya: Jika dalam batas-batas tanah yang di maksud dalam pasal 1 kesepakatan ini, dijumpai kampung atau tanah-tanah lain yang digunakan oleh penduduk, pengontrak tidak bisa menguasai tanah tersebut. Sultan dan para orang-orang besarnya wajib menyediakan sebidang tanah liar dengan luas yang sama  sebagai pengganti konsesi , asalkan tanah-tanah itu cocok dan tersedia seluruhnya menurut penilaian Sultan dan orang-orang besarnya. Jika dalam batas-batas konsesi dijumpai pohon buah-buahan milik penghuni sebelumnya, pengusaha wajib untuk mengganti nilai pohon ini menurut prinsip keadilan kepada pemegang haknya. Dalam kasus perselisihan, Sultan dan Orang besarnya memutuskan melalui kesepakatan dengan kepala pemerintahan wilayah atau daerah).

Mahadi sama sekali tidak menyinggung pasal 6 yang berbicara soal larangan pemakaian tanah kampung pemukiman dan tanah-tanah lainnya (tanah ladang) berikut pembayaran ganti rugi atas tiap-tiap pohon buah-buahan yang terletak di dalam konsesi. Namun, beliau secara komparatif mencoba meletakkan dan menafsirkan posisi hukum kepemilikan satu jenis tanah yang sebenarnya menjadi pokok persoalan dari semua konsesi yang ada yakni apa yang disebutkan sebagai tersedia atau tidaknya woeste grond[13] yang cocok sebagai pengganti bagi penduduk yang tinggal di dalam areal konsesi.

Mahadi berkata: “kalau woeste grond diartikan sebagai tanah hutan, yaitu tanah yang tiada seseorang tertentu mengakui sebagai haknya, maka kita dapat bertitik tolak dengan sebuah dalil bahwa bahwa Sultan/Raja juga tidak merupakan pemilik tanah tersebut (susunan aslinya sebenarnya adalah: Sultan/Raja tidak mengakui tanah adalah miliknya)”.[14] Walaupun di awalnya Mahadi sedikit ragu dalam menunjukkan pihak yang paling tepat dianggap sebagai pemilik atas woeste grond tersebut, namun dari elaborasi data yang dia deskripsikan kemudian beliau sampai pada kesimpulan, dengan meminjam perkataan seorang sarjana Belanda, Lekkerkerker, de regeling van de beschikking over gebruiksrechten op grond toekomst aan gemeenshappen (pengaturan dan kekuasaan terhadap tanah terletak ditangan persekutuan hukum).[15] Hak Raja tidak ada. Kalaupun Raja itu menganggap dirinya (zich beschouwen) sebagai pemilik tanah, maka anggapan itu harus kita tinjau dalam rangka sejarah naiknya seseorang itu sampai menduduki kursi tahta kerajaan, yaitu melalui peperangan/pertempuran/perkelahian.

Penafsiran yang dipakai oleh Pemerintah Hindia Belanda tentang woeste grond secara jelas menunjukkan cara pandang “Barat” atas tanah. Dengan woeste grond diartikan sebagai tanah-tanah yang tidak dibudidayakan atau tidak digarap oleh penduduk pribumi dan juga bukan milik bersama atau tidak termasuk ke dalam kekuasaan pimpinan/kepala kampung (gronden, niet door de inlanders ontgonnen, noch als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde  tot de dorpen behoorende).[16] Adakah tanah-tanah yang tidak digunakan dalam cara pandang pribumi dan oleh karena itu tidak ada yang memilikinya atau memegang kekuasaan atasnya? Pelzer menunjukkan bahwa di mata orang Melayu dan Batak tidak ada tanah yang sama sekali tak terpakai, karena semua tanah berguna sebagai tanah perburuan dan juga dipakai untuk tempat penimbunan hasil-hasil hutan seperti bahan bangunan, kayu api, damar, bahan pangan, bahan-bahan mentah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi produk-produk lainnya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah potensial bagi perladangan huma. Pendeknya, semua tanah dalam cara apapun mendukung kehidupan seluruh penghuninya.[17]

Woeste grond  inilah sebenarnya yang menjadi objek tanah dalam konsesi. Tanah hutan, tanah liar, tanah tak terpakai, tanah kosong, tanah tak dibudidayakan atau apapun namanya adalah jenis tanah yang dikonsesikan oleh Sultan-Sultan di Sumatera Timur kepada pengusaha onderneming yang boleh jadi adalah tanah-tanah yang berada dalam wilayah kampung dan susunan-susunan organisasi komunal di bawahnya. Inilah tanah yang disebutkan oleh Kleintjes sebagai het recht,  hetwelk tot inhoud heeft de bevoegheid van een inlandsche gemeenschap – hetzij een territoriale als een dorp of dorpenbond, hetzij een genealogische als een stam om aan zichzelf en haar leden het recht toe te kennen binnen een zekeren gebiedskring den woestgebleven grond naar goedvinden in gebruik te nemen en aan anderen it recht toe te kennen, alleen met haar toestemming tegen betaling van retributie of een huldegift.[18] (Tanah yang kewenangannya ada pada komunitas pribumi, yang bersfat teritorial sebagai sebuah kampung atau kesatuan kampung, yang bersifat genealogis sebagai sebuah suku yang memberikan hak kepada anggota komunitas kampung untuk menggunakan tanah yang kosong dan juga buat orang luar dengan persetujuan dan pembayaran retribusi atau pemberian yang bersifat penghormatan).

Uraian Kleintjes di atas bersesuaian dengan deskripsi Bool untuk persoalan yang sama. Bool mengatakan: “vroeger dan had iedere kampong zijn eigene gronden, in cultuur gabrachte en woest, waarvan de grenzen nauwkeurig bekend waren. Die kampongs met hunne gronden vormden een zelfstandig deel van het rijk. De Datoes confereerden met de kamponghoofden. De Kampongbewoners hadden een collectief bezit op de gronden.” ( Dahulu, setiap kampung memiliki tanahnya masaing-masing, baik tanah-tanah yang diusahakan maupun tanah-tanah liar (hutan), yang batas-batasnya diketahui dengan cermat. Kampung-kampung tersebut beserta tanah-tanahnya membentuk sebuah wilayah otonom dari kerajaan. Para Datuk bermusyawarah dengan kepala-kepala kampung. Penduduk kampung memiliki hak milik kolektif atas tanah).[19]

Perhitungan yang dibuat oleh Veth, dan kemudian diikuti oleh Perret menunjukkan bahwa pada tahun 1875, dari luas keseluruhan 1.100.000 hektar kesultanan Langkat, Deli dan Serdang (yang semula adalah berbentuk woeste gronden), 77.000 hektar, atau 7% diantaranya, dijadikan konsesi perkebunan Barat (terutama tembakau). Dan kelak di tahun 1939 (lebih setengah abad sejak kedatangan Nienhuijs), untuk luas tanah yang sama, 520.000 hektar diantaranya dipakai oleh perkebunan Barat, atau 47% (255.000 hektar  merupakan perkebunan tembakau dan 265.000 hektar tanaman yang tahan lama, seperti karet, kelapa sawit dan teh). Diantara 580.000 hektar yang tersisa, 283.000 merupakan hutan lindung. Dengan demikian, tinggal 300.000 hektar (27%) yang tersedia bagi penduduk setempat.[20]

Model akte 1877 yang memberikan kekuasaan kepada Sultan Siak dan Orang-Orang besarnya untuk menyerahkan sebidang tanah hutan kepada pekebun asing menandai awal terpenjaranya hak tanah komunal orang Melayu di Pesisisir Timur Sumatra secara lebih formal. Senyatanya sejak konsesi-konsesi awal yang berusia 10 sampai 14 tahun, tanah-tanah itu sudah disewakan melalui kontrak-kontrak konsesi yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha lain. Model akte 1877 menandai campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang lebih jauh untuk “menata” dan sekaligus intervensi atas kontrak-kontrak perdata yang selama ini dibuat antara sultan dan para pengusaha onderneming.

Catatan-catatan dalam pandecten van adatrecht  seperti tertulis: “di kampung-kampung Melayu, didekat muara sungai, untuk menandakan sudah ada yang punya, sebatang pohon dalam hutan diberi tanda bulan-bulan dan panca (bintang) empat ditambah dengan menyebarkan keping-keping kayu pada kaki pohon”,[21] mulai tergerus dan menandai satu zaman pergolakan baru atas hilang atau memudarnya hak-hak tanah komunal orang Melayu. Woeste grond  menjadi suatu “mainan” diantara tiga pemain utama, yakni para Sultan, pengusaha onderneming dan pemerintah Hindia Belanda. Posisi masyarakat atau penduduk pribumi terpinggirkan dan hanya menjadi objek yang seolah-olah dilindungi dalam model akte yang dilahirkan.

Pendirian Mahadi yang berbunyi bahwa “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi hak-hak itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu mendapat kodifikasi, memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan”,[22] mestilah dipertanyakan secara lebih kritis. Hak yang mana yang masih mereka kuasai selepas penyeragaman model akte konsesi 1877? Apakah hak atas woeste grond masih dimiliki? Apakah hak-hak komunalisme itu semakin diperkukuh atau diperkuat selepas diberlakukannya model akte tersebut? Pendirian kami adalah bahwa kewenangan-kewenangan yang semula jadi telah dimiliki oleh kampung dan komunitasnya memudar (secara konstitusional) dengan intervensi Pemerintah Hindia Belanda melalui regulasi-regulasi erfpacht atas woeste gronden  untuk wilayah luar Jawa dan Madura, khususnya lagi wilayah Pantai Timur Sumatera.

Jadi seandainya kemudian menurut Mahadi, jika Raja memandang semua tanah adalah kepunyaannya, namun di dalam kenyataan, rakyat bebas membuka hutan, boleh berladang secara berpindah-pindah, dimungkinkan membuka dan memelihara kebun seluas kesanggupan, boleh kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga, boleh dengan memakai tenaga upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk bermacam-macam keperluan, diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan sehari-hari tetapi untuk diperniagakan dan seterusnya[23], mestilah itu berada pada satu periode yang mendahului sebelum akte-akte konsesi dibakukan dalam model yang kami sebutkan di atas, atau sekurang-kurangnya jika pasal 9[24] model akte ini diperturutkan, adalah sebuah keganjilan bagi penduduk, karena boleh tidaknya mereka membuka dan menikmati hasil hutan digantungkan kepada izin dari pemegang konsesi, yang nota bene adalah penduduk dari luar kampung.

Terkait pernyataan Mahadi soal bahwa akhirnya ada semacam pengukuhan dan pengakuan atas tanah-tanah penduduk dalam akte-akte konsesi, oleh Buffart diberi makna lain yang membuat kita kembali mempertanyakan apakah pengakomodasian itu benar-benar didasarkan pada pemahaman yang benar tentang hak-hak asli penduduk tersebut. Beliau secara kritis mempertanyakan apakah sebenarnya bukan sesuatu yang terbalik meletakkan (atau mungkin lebih tepat melekatkan) hak-hak penduduk atas tanah dalam akte-akte konsesi hanya sebagai asesoris saja yang kesemuanya disandarkan atas perjanjian atau permufakatan antara pemerintahan swapraja (kesultanan Deli) dan para konsesionaris (pemegang hak konsesi). Padahal, menurut beliau, hak penduduk atas tanahlah yang sebenarnya harus menjadi pilar penting dalam penyusunan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak-pihak di dalam perjanjian konsesi tersebut.

Dengan sedikit sinis ia mengatakan: “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian antara dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak tersebut , tapi hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang ada  dalam kontrak atas hak-hak penduduk (jadi, semacam asesoris saja). Hak-hak penduduk oleh karena itu hanya dituliskan secara insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh karena itu mungkin  bisa dihilangkan juga dari akte konsesi tersebut.”[25]

Catatan-catatan di atas kembali meneguhkan kesimpulan Bremen bahwa pengangkatan Sultan merupakan instrumen penting bagi lahirnya sistem perkebunan. Pengakuan secara tegas  kekuasaan penguasa lokal menunjukkan telah ditemukan dasar yang sah untuk membatasi dan akhirnya membatalkan hak-hak rakyat, padahal sebelumnya  para penguasa itu tak memiliki hak demikian.[26]

Model Akte Konsesi 1878: Lahirnya identitas Baru Pemegang Hak

Campur tangan pemerintah Hindia Belanda kelihatannya semakin mengkristal dan itu ditunjukkan bagaimana mereka mencampuri satu perjanjian yang awalnya berbentuk sewa-menyewa tanah dan oleh karena itu bersifat persoonlijk menjadi seolah-olah zakenlijk.[27] Asumsi kita diletakkan pada bagaimana pemerintah Hindia Belanda melihat bahwa tanah pengganti atas tanah-tanah penduduk di areal konsesi harus diberi batas maksimum dan bukan dibiarkan bebas seluas-luasnya. Satu pertimbangan yang ditemukan dari surat Residen Sumatera Timur tertanggal 14 Januari 1878 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda membukakan hal itu. Residen menulis: “Penetapan empat bau per penduduk untuk itu cukup memadai. Karena itu saya memandang perlu bahwa ayat 1 pasal 6 dari konsep kontrak diubah sebagai berikut: Ketika dalam batas-batas tanah yang dimaksud dalam pasal 1 perjanjian ini ditemukan penduduk, tanah-tanah yang digunakan oleh orang ini bagi penanaman sendiri akan dilengkapi dengan tanah yang cocok untuk ditukarkan sampai luas seluruhnya 4 bau bagi setiap penduduk yang akan tetap menguasainya”.[28]

Secara lengkap terjemahan pasal 6 dari model akte 1878 berbunyi: “ (ayat 1) Seandainya di atas tanah yang dimaksudkan dalam pasal 1 perjanjian ini terdapat opgezetenen, maka terhadap orang ini diberikan hak untuk menguasai tanah yang mereka kerjakan ditambah tanah yang baik (cocok) sebagai pengganti seluas empat bau. (ayat 2) Dengan opgezetenen dimaksudkan adalah mereka yang memiliki rumah sendiri di atas tanah yang diserahkan (dikonsesikan) itu.  (ayat 3) Apabila di dalam batas-batas konsesi terdapat pohon buah-buahan, kepunyaan penduduk yang terdahulu, pihak perkebunan berkewajiban untuk membayar  harga secara adil kepada yang berhak. Jika terjadi sengketa atas hal itu, Sultan beserta orang-orang besarnya akan memutuskan setelah berunding dengan Kepala wilayah atau daerah.

Setidaknya ada 3 perubahan penting pasal 6 model akte 1878 dibandingkan dengan yang dikeluarkan pada tahun 1877. Pertama, perubahan penggantian atas hak tanah milik pribumi bukan lagi ditumpukan pada adanya kampung atau tanah-tanah lain yang digunakan penduduk pribumi dalam areal konsesi, melainkan pada orangnya (adanya penduduk). Perubahan ini satu dan lain hal untuk mengurangi tuntutan penduduk pribumi atas tanah-tanah yang mereka tinggalkan akibat pola pertanian huma yang berpindah. Asumsi kami adalah bahwa dengan menumpukan pada bukti adanya penduduk, jauh lebih mengurangi resiko daripada tanah. Dalam Surat Residen Sumatera Timur ditemukan kekhawatiran yang akan muncul dari tuntutan penduduk atas tanah-tanah yang hanya ditanami beberapa tahun yang lalu, kemudian ditinggal dan seterusnya, apalagi dalam masa itu jumlah penduduk sangat sedikit, sebaliknya luas lahan relatif luas.[29]

Kedua, adanya kemungkinan penyempitan/pengurangan  jumlah atau luas tanah yang wajib diganti terhadap tanah yang dimiliki opgezetenen di atas wilayah konsesi, dari menyiapkan sebidang tanah liar menjadi mengganti seluas empat bau untuk tiap opgezetenen. Tentang siapa yang mesti mencarikan tanah empat bau tersebut tidak begitu jelas bunyi pasal enam tersebut, namun dalam sejumlah tulisan, hal itu dibebankan kepada pihak pemerintah dan atau onderneming, sementara jika dilihat pasal 6 model akte 1877, jelas-jelas Sultan dan para orang besarnya yang harus menyediakan tanah pengganti tersebut.[30]

Namun yang jelas, dalam prakteknya keengganan dari pihak onderneming untuk melakukan survey dan pencaharian tanah yang cocok/baik seluas 4 bau tersebut itu secara simultan menawarkan satu bentuk kerjasama untuk menyerahkan tanah tembakau yang habis dipanen kepada semua keluarga di wilayah konsesi untuk dimanfaatkan selama satu panen musim hujan (kelak inilah yang kemudian dinamakan tanah Jaluran). Menurut Pelzer, hal ini ternyata lebih merupakan tindakan licik daripada bijaksana.[31] Padahal tanah empat bau yang akan dialokasikan itu sama sekali tidak mencukupi untuk satu orang petani yang pola pertaniannya bersifat swidden (petani berpindah) seperti apa yang dikatakan Stoler: ”under the prevailing swidden system this was grossly inadequate for a household’s substistence needs”.[32]

Residen Sumatera Timur saat itu kelihatannya membiarkan praktek ini berlangsung. Dalam laporannya ke Gubernur Hindia Belanda dikatakan bahwa banyak pengusaha besar sekarang ini mengijinkan penduduk setelah selesai panen tembakau untuk menanam padi di sawah yang sebelumnya ditanami dengan tembakau tanpa meminta ganti rugi dari mereka. Penduduk biasanya sangat puas karena mereka terutama tidak perlu membersihkan lahan itu terlebih dahulu. Malah beberapa pengusaha sebaliknya kini mulai juga memanfaatkan fasilitas ini bagi kepentingannya sendiri dan memberikan izin untuk menanam padi di tanah-tanah yang masih kosong setelah panen usai, selanjutnya dibarengi syarat bahwa sebagian panen diserahkan kepada para pengusaha perkebunan tersebut dengan harga yang mereka tentukan.[33]

Ketiga, diperkenalkan terminologi opgezetenen,[34] sebagai tambahan status lain dari kategori bevolking. Mahadi dengan menarik dan baik sekali  mengkritisi secara kultural definisi yang diturunkan oleh model akte 1878 atas terminologi opgezetenen (sebagai mereka yang mempunyai rumah sendiri di atas tanah yang diserahkan). Dengan membuat sebuah contoh, Mahadi menunjukkan betapa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mempunyai cultural sensitivity terhadap kebiasaan-kebiasaan Melayu. Pada adat Melayu, seorang yang baru kawin, tidak segera pindah membawa isterinya dari rumah mertuanya, pada hal ia sudah mempunyai mata pencaharian sendiri, sudah mempunyai keluarga, sudah menjadi tanggungan. Tambahan pula, sesuai juga dengan adat Melayu, mungkin dua, tiga keluarga bersama-sama tinggal dalam satu rumah, terutama kalau rumah itu adalah pusaka mendiang orang tua. Rumah tidak segera dijual untuk dibagi-bagi hasilnya, sebab rumah itu dipandang sebagai tali pengikat diantara para ahli waris, menjadi kenang-kenangan kepada yang telah meninggal. Di atas contoh tersebut, Mahadi mengatakan dengan rumusan yang dipakai dalam pasal 6 model akte 1878 tersebut, terluputlah mereka-mereka (yang masih menumpang) untuk mendapatkan tanah, karena dianggap bukan pemilik rumah.[35]

Terkait dengan pasal 9 yang tidak mengalami perubahan dari model akte 1877 (het zal aan de bevolking ten allen tijde vrij staan in het nog niet ontgonnen gedeelte der aan den contracten ter andere zijde afgestane gronden rotting en andere boschprodukten te verzamelen/ kepada penduduk setiap saat diberikan kebebasan di bagian tanah yang diserahkan kepada pemegang kontrak (pengusaha) namun belum dibuka, untuk mengumpulkan rotan dan hasil-hasil/produk hutan lainnya) perlu diberi penjelasan yang lebih jauh tentang arti kebebasan yang dibuka dalam pasal ini.

Dengan penafsiran yang berbeda, sebenarnya arti kebebasan dalam pasal 9 ini bisa dilihat sebagai sebuah pembatasan. Dengan digantungnya hak untuk menikmati hasil hutan atas syarat jika tanah konsesi masih belum digarap senyatanya penduduk pribumi anggota dari persekutuan hukum yang ada dibatasi hak-hak sedia kala yang dimilikinya untuk dan atas nama anggota persekutuan hukum tersebut. Jika yang dikatakan Koreman[36] bahwa tiap anggota persekutuan hukum berhak untuk mengolah hutan dengan terlebih dahulu memberitahukan niatnya kepada kepala kampung itu memang ada, maka setelah konsesi terjadi, hak ini menjadi dibatasi.[37]

Apa yang di atur dalam pasal 9 model akte 1877 dan 1878 ini adalah perpanjangan tangan dari kebijakan atas woeste grond yang telah disebutkan dalam alinea-alinea terdahulu, dimana posisi pemerintah Hindia Belanda telah semakin kuat dan mencengkram penguasaan atas sumber-sumber agraria milik komunal penduduk pribumi. Dalam cara pandang seperti ini jugalah sinyalemen yang mengatakan bahwa Raja-Raja ikut serta untuk memberi perlindungan atas hak-hak tanah penduduk menjadi lemah, bersamaan ditundukkannya mereka melalui kontrak politik dan korte verklaring. Kesultanan menjadi parasit seperti apa yang pernah dituliskan Stoler untuk menggambarkan karakter Sultan-Sultan di Sumatera Timur.[38]

Satu surat rahasia dari Departemen Kehakiman Hindia Belanda yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 20 Agustus 1878, degan nomor surat 4666 menunjukkan cara pandang mereka terhadap Sultan dan apa yang seharusnya dilakukan terhadap woeste grond, tak perduli bahwa letak tanah tersebut berada di wilayah kekuasaan daerah swapraja (daerah pemerintahan tak langsung). Surat itu berbunyi: “Pelepasan tanah liar (woeste grond) seperti yang tertulis dalam pasal 1 model akte 1877/1878 itu merupakan peralihan suatu hak seperti halnya hak erfpacht yang dilepaskan di tanah-tanah pemerintah dan melalui ketentuan hukum perdata (BW). Hal ini bisa berlaku bagi kesepakatan tanpa batas asalkan seluruhnya. Semua campur tangan lebih lanjut dari pihak Sultan tidak diperkenankan. Campur tangan lebih lanjut dari Sultan akan membuka peluang kesewenang-wenangan dan tuntutan keuangan kepada pengusaha Eropa. Kini pemerintahan semakin banyak telah beralih kepada kita, campur tangan lebih lanjut dalam peralihan hak (oleh Sultan) tidak akan dilakukan kecuali demi kepentingan kita.”[39]

Pada sisi lainnya, kecurigaan atau mungkin juga kecemburuan mereka terhadap pemasukan Sultan dari uang sewa serta konflik antara Raja dan para Kepala Kampung mendorong pemerintahan Hindia Belanda sangat berhati-hati terhadap campur tangan Kesultanan dalam kontrak konsesi ini. Residen Sumatera Timur dalam suratnya bernomor 585, yang dibuat di Bengkalis pada tanggal 24 Maret 1878, yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda memberikan satu contoh temuan lapangan yang bersifat general atas fakta di Bila (kawasan Labuhan Batu sekarang) ada 7 akta kontrak perkebunan yang telah dikeluarkan, yang sebelumnya tidak disetujui oleh Residen sebelumnya karena adanya keraguan tentang mereka yang memiliki hak atas tanah tersebut, dan alasan lainnya terkait uang sewa yang diperoleh Raja dan protes para kepala kampung yang merasa memiliki hak atas tanah dan oleh karena itu tidak sependapat dengan Raja dan orang-orang besanya (para bangsawan).[40]

Model Akte Konsesi 1884: Siasat Penyediaan Tanah Jaluran dan Intensifikasi Lahan

Protes dan keluhan dari para pekebun di Deli atas akte 1878, terutama terkait soal pengalihan perusahaan di atas ketidakmampuan membayar sewa-sewa tanah yang diusahakan menjadi pemicu awal dimulainya usaha untuk membuat perubahan atas model kontrak yang sudah ada.[41] Melalui keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 19, tertanggal  26 April 1884 dicapai kesepakatan untuk mengatur ulang (menambah dan merubah) model akte yang lama. Untuk pasal 1 sampai dengan 5, tidak ada perbedaan dengan model akte 1877 dan 1878.

Pasal 6 (terutama ayat 2-nya) dari akte ini mestilah diperiksa lebih seksama sehubungan dengan adanya penambahan atas redaksi dari pasal yang sama pada akte 1878. Secara lengkap pasal 6 berbunyi: “  (ayat 2) Onder opgezetenen moeten hier verstaan worden alle hoofden van huis gezinnen, ‘t zij tijdens, ‘t zij na de uitgifte, op de in art 1 bedoelde gronden gevestigd, en die volgens de inheemsche instellingen te rekenen zijn tot de rechthebbenden op grond. (terjemahan bebasnya: Dengan opgezetenen dimaksudkan adalah semua kepala keluarga, yang telah tinggal pada saat penyerahan konsesi atau setelahnya, yang berdasarkan hukum adat termasuk sebagai orang-orang yang berhak atas tanah).

Setidaknya ada dua hal yang berubah dari pasal yang sama di model akte konsesi 1878, yang perlu mendapat penjelasan terkait penguasaaan atas beschikkingsrecht. Yang pertama adanya perubahan rumusan opgezetenen dari mereka-mereka yang memiliki rumah sendiri di lahan konsesi menjadi semua kepala keluarga baik yang telah ada ataupun datang setelah konsesi dibuat, dan yang kedua adalah kalimat penutupnya: “asal dianggap sebagai orang yang berhak menurut inheemsche instellingen” (yang arti arfiahnya adalah lembaga/pranata penduduk asli).

Tentang yang pertama, ada  proses yang mendahului yang dikemukakan Bool. Beliau menunjukkan pada tahun 1881, Deli Maatschappij mengajukan usul kepada Residen untuk membuat daftar siapa-siapa saya yang termasuk sebagai opgezetenen pada saat penyerahan tanah konsesi. Hal ini terkait dengan penambahan penduduk yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan tanah-tanah penganti. Akhirnya Pemerintah menyadari bahwa dalam sebuah rumah orang Melayu terbuka lebar kemungkinan adanya kaum kerabat lain yang tinggal bersama-sama pemilik rumah dan oleh karenanya juga mengajukan permohonan untuk mendapatkan tanah pengganti. Atas perkembangan kependudukan tersebut,  pada tanggal 5 Oktober 1883, Residen Kroesen mengajukan usul untuk menambah kategori opgezetenen  juga dengan orang-orang yang berdiam setelah penyerahan konsesi.[42] Kelihatan hal ini untuk menampung tuntutan semakin banyaknya orang yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan tanah empat bau sebagai pengganti.

Jika dilihat sepintas rumusan itu akan semakin membebani planters untuk mencari tanah-tanah pengganti yang dimaksud, namun kalau kemudian narasi pasal itu dibaca dengan mengikutkan kalimat berikutnya, nyatalah bawa ini adalah usaha untuk menghambat orang di luar kelompok penduduk setempat untuk mendapatkan tanah secara langsung. Izin dan pengakuan oleh inheemsche instellingen menjadi syarat mutlak untuk ini. Ketentuan ini nampaknya sejalan dengan salah satu beschikkingsrecht yang ditemukan Van Vollenhoven, yakni bila orang luar hendak mengusahakan suatu tanah komunal suku, maka mesti ada izin dari para pemimpin suku atau kelompok tersebut. Dengan cara ini, Residen Kroesen  berpandangan maka orang-orang Batak yang pindak ke kawasan konsesi setelah penyerahan, atau kawin dengan salah seorang perempuan dari opgezetenen tidak akan mendapatkan tanah pengganti tersebut. Namun jika dalam perkawinan tersebut, ada dilahirkan anak, maka anak tersebut kelak berhak mendapatkan hak atas tanah pengganti tersebut, sepanjang dia tetap tinggal di areal konsesi tersebut[43]

Contoh ini setidaknya menunjukkan pula bagaimana pemerintah Hindia Belanda berhasil memasukkan anasir-anasir hukum adat  ke dalam sebuah konsep peraturan yang sama sekali belum dikenal dalam masyarakat pribumi, yakni kontrak konsesi yang berbau hukum perdata Barat. Cara ini dianggap akan lebih menghindarkan pemerintah Hindia Belanda dan para planters untuk berhadapan langsung dengan para pendatang suku Batak dan lebih mendorong institusi adat Melayu menyelesaikan persoalan ini. Setidaknya peristiwa tahun 1872 pada Batak Oorlog telah memberikan pelajaran yang banyak bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk berhati-hati mengelola isu seputar hak tanah penduduk dan kaitannya dengan konsesi.

Kelihatannya Pemerintah Hindia Belanda menggunakan semua cara untuk mengoptimalkan pengusahaan atas woeste grond. Dimana dipandang akan menguntungkan mereka, misalnya dalam kasus tafsir atas woeste grond dan staatdomein mestilah dipandang sebagai kerangka normatif yang di-insert ke dalam kehidupan pribumi, maka pemerintah akan “memaksakan” tafsir tersebut yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai-nilai lokal. Dimana dipandang bahwa ada ancaman terhadap mereka, maka dengan “cerdas” mereka bersembunyi dibalik pranata pribumi (inheemsche instellingen).

Isu penting lainnya dalam model akte 1884 ini tersimpan dalam pasal 11, yang kelihataannya mesti dimasukkan sebagai akibat alamiah dari sifat tanaman tembakau dan siasat onderneming atau pemerintah untuk tidak menyediakan tanah empat bau kepada opgezetenen. Pasal 11 berbunyi: “ (ayat 1) De contractant ter andere zijde verbindt zich om boven  en behalve  de in de artt. 6 en 10 bedoelde, voor de bevolking gereseerveerde bouw en kampong gronden, de afgesneden velden, die hij niet voornemens is in het daarop volgend jaar te beplanten, bij voorkeur boven andere , voor een oogstjaar ter beschikking te stellen van de in art 6 bedoelde opgezetenen, om daarop rijst en djagong te teelen, en zulks zonder dat het hem vergund zal zijn daarvoor enige retributie te vorderen. Alleen zal hij daarbij  als uitdrukkelijke voorwarde kunnen stellen, dat de opgezetenen, die deze gronden gebruiken, het door hen daarvan verkregen en voor verkop bestemd product bij voorkeur boven anderen aan hem zullen leveren tegen  marktprijs. (ayat 2) Ook zal hij niet meer dan anderhalven bouw voor elkaar opgezetene behoeven af te staan. De alzoo in gebruik te geven velden zullen zoo na mogelijk bij de woonplaatsen dier opgezetenen gelegen zijn. (ayat 3) Bij geschillen tusschen de contractant ter andere zijde en de bevolking, wordt de beslissing van het bestuur ingeroepen.

Marilah kita analisis  pasal 11 di atas (utamanya ayat 1 dan 3). Secara bebas ayat 1 diterjemahkan sebagai berikut” Pemegang kontrak (konsesi) selain terikat kepada pasal 6 dan 10 dimaksud dari model kotrak ini, menyediakan tanah cadangan dan tanah kampung[44], juga harus menyerahkan tanah (tembakau) yang sudah dipanen, dan belum dipergunakan pada tahun hadapannya, untuk ditanami pada dan jagung selama satu tahun kepada opgezetenen yang dimaksudkan dalam pasal 6. Dipersyaratkan juga dengan tegas bahwa opgezetenen  yang menggunakan tanah tersebut memprioritaskan penjualan hasil tanah (padi dan jagung) kepada pemegang kontrak dengan harga pasar.

De afgesneden velden yang kemudian sangat populer dengan istilah tanah jaluran di sana sini dianggap sebagai sebuah keberuntungan bagi opgezetenen dan kemurahan tuan-tuan onderneming, menjelma menjadi kasus besar di akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh. Sejumlah penulis[45] mengaitkannya dengan sisa-sisa dari tanah ulayat orang Melayu dan oleh karena itu menjadi alat perjuangan kelompok, dan berjalan jauh dengan dinamikanya sampai setelah merdekanya Indonesia. Kami menilai bahwa tanah jaluran bukanlah orisinalitas tanah adat yang dikenal dalam kebiasaan-kebiasaan lama orang Melayu, (pertanian ektensif dan bukan intensif) melainkan satu temuan sejarah sosial agraria yang merupakan kombinasi karakter tanaman tembakau yang tidak baik ditanam terus menerus sepanjang tahun dan kelicikan pemerintah Belanda untuk menghindar dari  kewajiban memberikan tanah 4 bau sebagai kompensasi atas tanah-tanah penduduk yang ada dalam areal konsesi.

Satu bukti ditemukan atas pernyataan  yang kami utarakan dalam kalimat terakhir alinea di atas. Dalam Memorie van Overgave-nya J.A. Netz, beliau ada menuliskan bahwa di daerah hulu (Deli) penduduk menanam padi di sawah dan ladang. Komplek perkebunan yang penting dijumpai di daerah Bukom, Basukom, Pagar Batu, Dua Ruman Pinangkonga, Raja Berneh, Tanduk Benoa, Nagaraja, Gunung Jae, Namirik dan Tanguran. Bila di daerah hulu tidak terdapat sawah yang memadai, pertanian kering diterapkan. Di daerah hilir oleh penduduk umumnya, di lahan-lahan tembakau yang sudah dipanen milik perkebunan ditanami tembakau. Pada masa lalu, tanah-tanah liar yang ada masih tersedia bagi penduduk. Pelepasan lahan tembakau yang baru saja dipanen kepada penduduk memang menguntungkan. Bila sebagai akibat dari perluasan tanaman tembakau selama beberapa tahun kepada penduduk tidak ada hutan lama yang lebih banyak tersedia, pelepasan tanah jaluran menjadi kewajiban bagi pengusaha perkebunan.[46]

Dalam prakteknya, pembagian jaluran tidaklah sesederhana seperti apa yang dimaui dalam pasal 11 model akte 1884 ini. Di sana sini terdapat kendala-kendala dan penyimpangan terkait siapa yang akhirnya berhak atas  lahan tembakau yang baru habis dipanen, siapa yang melakukan pembagian dan berapa bagian tiap opgezetenen (walaupun dalam ayat ayat 2 pasal 11 ada bagian satu setengah bau per opgezetenen). Dari sebuah sumber laporan serah terima jabatan tertulis bahwa masih terlalu sering terjadi bahwa perusahaan perkebunan mencoba untuk menghindari kewajiban menyerahkan jaluran kepada rakyat. Mereka mencoba untuk mempertahankan sendiri tanah jaluran itu dan menyewakannya, untuk diberikan kepada tenaga kerja mereka sendiri atau untuk ditanami bambu.[47] Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa Kontrolir setiap tahun harus mengawasi pelepasan lahan tembakau yang baru saja dipanen ini kepada penduduk yang berhak oleh pengelola perkebunan. Karena terhadap hal ini, kembali nampak bahwa penghulu dan penduduk pemegang hak (opgezetenen) terlalu sering untuk meminta lebih banyak lahan dari hak yang seharusnya diperoleh. Tujuannya agar bisa menyewakan tanah-tanah jaluran yang diperoleh dengan harga sewa yang menguntungkan.[48]

Dua  surat pembaca ditemukan dalam Pewarta Deli setidaknya bisa memperkuat narasi di atas:

Beras Mahal Poenja Pengaruh?[49]

Demikianlah kepala satoe tulisan jang dikirim oleh seorang Petisah yang menamai dirinya Abdul Adjaib boeat dimasukkan ke dalam P.D. (Pewarta Deli, pen.) dengan pengharapan boleh  diselidik apa jang terseboet alam toelisan itu oleh jang berhak.

            Di bawah ini  kami ambil saja maksoed toelisan itu  boleh moedah difahamkan.

            Seorang wakil penghoeloe nama M….R….jo di kampoeng S.M. soedah terima tanah djaloeran  tahun 1918 dari toean besar keboen akan dibagi-bagi kepada ra’iat boeat perladangan padi  dengan perdjanjian menoeroet biasa menoelak 75 gantang padi dari kehasilan tiap-tiap djaloer kepada tuan besar keboen dan djang menolak menerima bajaran dari padi toelakan itu.

            Wakil pengoeloe jts. telah menggoenting dalam lipatan, artinya mengambil keoentoengan diam-diam diantara jang poenya tanah dan jang mengoesahakan. Boekan 75 gantang jang dimintanja dari ra’iat dari tiap-tiap djaloer, tetapi 80 gantang.

            Ada ± 80 djaloer tanah jang dibagi-bagikan itoe, djadi wakil pengoeloe itu mendapat oentoeng ± 80 x 5 gantang = 400 gantang.

Ada djuga diantara jang mengoesahakan tanah djaloeran itoe jang enggan menoelak 80 gantang, sebab mereka tahoe tjuma 75 gantang jang diminta oleh toean besar keboen, tapi mereka itoe dapat antjaman dari wakil pengoeloe itoe.

Perboetan Seorang Pengoeloe[50]

            Dari Bindjai Nina Pangarihi toelis:

            Biasanja penanaman padi kaoem ra’iat jang tinggal pada tanah keboen P.Berahrang diatoer oleh toean keboen menoeroet konterak:

            Segala  pendoedoek jang dinamai Boemiputera atau ra’iat sedjati (penoenggoel), mendapat tiap-tiap satu djaboe (gezin) 1 djaloer dan jang baloe (weduwe) mendapat 1 djaloer. Ditetapkan dalam 5 tahoen sekali dengan memeriksa djaboe-djaboe (gezinnen) dalam tiap-tiap kampoeng.

            Si Bidai, pengoeloe dari kampoeng Begoeldah district Sungai Bingei Boven Langkat, ketahoen sudah tidak loeroes membagi-bagian tanah djaloeran kepada ra’iat. Pengoeloe itoe rupanja “menggunting dalam lipatan” saban tahoen dengan djalan begini:

            Apabila jang berhak minta keterangan djaboe-djaboe padanja, ditoelisnjalah lebih dari jang sebetoelnya, supaja ia menerima lebih banjak tanah djaloeran. Oempamanya 10 djaboe, ditoelisjalah 15 djaboe, djadi lebih bahagian 5 djaboe itoelah djadi keoentoengannya. Dengan djalan begitoe ia bisa beroentoeng riboe rupiah setahoen.

            Perboetan tidak loeroes dari pengoeloe itoe sudah orang-orang adoekan kepada District Hoofd Sungai Bingei.

            Sesoenggoehnja hal ini tidak djadi keheranan lagi. Dari sana sini kita selaloe mendengar peri lakoe pengoeloe jang suka menggoenting dalam lipatan.

Praktek-praktek yang menyimpang dari aturan dalam pelepasan tanah jaluran sebenarnya tidak saja dilakukan oleh para kamponghoofd (Penghulu) melainkan juga melibatkan pihak onderneming. Pihak onderneming  ternyata sering menunda-nunda pelepasan jaluran serta membagi tanah tersebut kepada para buruh perkebunan (terutama orang Jawa dan Cina), yang notabene bukan termasuk ke dalam kategori opgezetenen. Hal yang sama juga dilakukan oleh opgezetenen yang menyewakan tanahnya kepada orang-orang Jawa karena letak tanah jaluran yang disediakan kadang kala jauh dari tempat mereka berdiam.[51]

Ayat 1 pasal 11 model akte konsesi 1884 tersebut juga mewajibkan penanaman dua jenis tanaman di areal afgesneden velden (tanah jaluran). Tentang ini Mahadi mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh pembicaraan-pembicaraan awal antara perkebunan dan pemerintahan Swapraja agar kebiasaan suku Melayu yang menanam padi setiap tahun tidak hilang. Mahadi menekankan lagi bahwa hakekat peristiwa ini ialah, kedatangan perkebunan asing hendaknya tidak menghilangkan adat yang sudah ada.[52]

Dari sumber yang lain ditemukan alasan yang lebih pragmatis dan tidak mengait-ngaitkannya dengan adat dan kebiasaan suku Melayu. Broersma menunjukkan situasi Pesisir Timur Sumatera Utara pada saat itu mengalami kekurangan (het gebrek) bahan pangan utama (padi) yang tersedia bagi penduduk yang ada akibat masuknya pendatang-pendatang dari luar. Kenyataan mana tidak pernah terjadi sebelum 1870, dimana orang-orang Batak mampu mengelola sawah dan ladangnya untuk dipertukarkan dengan orang-orang Melayu di dataran rendah.[53]

Sekali lagi hal ini menunjukkan politik agraria yang “licik” dari para pekebun untuk memerangkap opgezetenen dan bevolking bertahan pada satu bidang tanah saja (intensif), sementara pihak pekebun dengan leluasa mengeksekusi lahan-lahan yang masih liar sesuka hati mereka. Tentang hal ini, ada satu gugatan yang cukup sengit untuk membela kepentingan penduduk dari Residen Michielsen. Ia berkata Was het billijk, dat de planters van de bevolking overgang tot intensieve cultuur eischen, terwijl zij zelf volhardden in hun roofbouw? (apakah adil jika para pekebun itu menuntut penduduk untuk mengerjakan pertanian intensif, sementara mereka melakukan penanaman bergilir dengan cara memeras habis sumber daya alam yang ada?)[54]

Cara-cara ini ternyata berhasil dan sangat membantu ketika krisis ekonomi terjadi kelak di daratan Eropa dalam kurun waktu 1931-1934. Hasil padi di atas tanah jaluran mampu mengurangi beban akibat krisis ekonomi tersebut. Satu perbandingan atas hasil panen berikut (walaupun terjadi penurunan) bisa menggambarkan keuntungan yang diperoleh dari penanaman padi. Tahun 1931 diperoleh hasil f. 1.556.000 (per jaluran berkisar f. 55); tahun 1932, diperoleh hasil f.935.000 (per jaluran f.34.54); tahun 1933, diperoleh hasil f.632.000 (per jaluran f.31.85) dan tahun 1934, diperoleh hasil f.508.000 (per jaluran f.22.68).[55]

Terkait ayat 3 pasal 11 model akte ini (terjemahannya: jika ada sengketa antara pemegang kontrak dan penduduk, keputusan akan diambil oleh pemerintah). Siapa yang dimaksud dengan pemerintah (het Bestuur) dalam hal ini. Jika menilik ayat 1 dari model akte ini, yang melakukan perjanjian adalah Sultan dan Orang-orang besarnya dengan pengusaha perkebunan, dimana Sultan dan Orang-orang besarnya menyediakan sebidang woeste grond kepada pengusaha perkebunan. Tentulah orang akan mengira bahwa yang dianggap het Bestuur dalam hal ini adalah de Inheemsche Bestuur  alias Raja dan Orang-Orang Besarnya. Namun ternyata anggapan dan dalam prakteknya merujuk kepada Europeesch Bestuur. Dualisme tafsir ini bisa dirujuk pada pasal 6 model akte ini (ayat 3 nya) yang menunjukkan Inlandsch Bestuur, namun sebaliknya jika melihat pasal 14 (terkait dengan kewajiban penyediaan peta dan surat ukur tanah konsesi) umum merujuknya kepada Europeesch Bestuur.[56]

Pemenggalan kewenangan Sultan dan Orang-Orang besarnya terlihat jelas dari tidak tegasnya penyebutan kategori bestuur  dalam modek ate 1884 ini, maka tidak mengherankan jika akhirnya melalui Resident Besluit tertanggal 26 April 1884, bernomor 19 diputuskan dat ingaande met de dagtekening  zijner beschikking  alle nieuwe landbouwcontracten moeten zijn ingericht als volgt (bahwa sejak hari ditandatanganinya kontrak perkebunan yang baru, harus disesuaikan sebagai berikut) dianalogkan bahwa karena keputusan itu keluar dari Resident, sebagai perpanjangan pemerintah Hindia Belanda, maka  sepenggal kata het Bestuur  dimaknai dengan Europeesch Bestuur.[57]

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap pemerintahan Swapraja mencerminkan strategi memakan bubur panas. Makan dari pinggirnya secara bertahap, dan terus sampai ke tengah. Kewenangan-kewenangan kesultanan berkurang sejalan semakin menguatnya imperialisme kolonial. Dalam bentuk yang lain, menjadi pertanyaan bagi kita semua apakah ini juga buah dari kealpaan mereka (kesultanan) untuk memberi proteksi terhadap kawulanya yang terus menerus mengalami tekanan atas hak kuasa tanah yang mereka miliki sebelum bersintuhan dengan formasi kekuasan politik formal, baik formasi kerajaan maupun pemerintahan Hindia Belanda.

Model Akte Konsesi 1892: Mempertanyakan Karakternya (zakelijk  atau persoonlijk)

Kalimat pertama  dari model akte 1892, sebagai model akte konsesi terakhir yang dikenal dalam konteks landbouwonderneming dalam pemerintahan Hindia Belanda menunjukkan sejumlah perbedaan dari akte-akte sebelumnya. Kalimat tersebut berbunyi di atas judul Akte Konsesi: De Radja[58] ……. en zijne betrokken rijksgrooten verleenen aan …….  met uitsluiting van alle anderen, concessie tot het drijven van eene landbouwonderneming op de gronden, blijkens de bij deze akte behoorend schetskaart begrensd als volgt: ……. tot eene nominale uitgestrektheid van ongeveer ……. en zulks onder de voorwaarden en bedingen, die hieronder zijn aangegeven. (Raja …. dan orang-orang besarnya yang terkait menganugerahkan kepada ….. dengan mengenyampingkan satu dan lain hal, konsesi untuk mengusahakan sebuah perkebunan di atas tanah, seperti tertera dalam peta gambar akte ini, dengan batas-batas sebagai berikut: ……..  sampai luas nominal sebesar kira-kira….. dan hal tersebut dibawah syarat-syarat yang disebutkan dibawah ini).

Penyebutan Raja sebagai pengganti Sultan Siak menandai berakhirnya kewenangan-kewenangan yang diperoleh Kesultanan ini atas kerajaan-kerajaan di pantai Timur Sumatera, seperti Deli, Serdang, Langkat dan lainnya. Tahun 1884, Sultan Siak melepaskan segala tuntutan politiknya terhadap kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Dan kelak di tahun 1887, kantor Residen Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Tahun-tahun tersebut menandai dimulainya bentuk komunikasi politik yang langsung antara Pemerintahan Hindia Belanda dan daerah Swapraja, seperti Deli, Serdang dan lainnya.

Penyebutan zijne betrokken rijksgrooten, untuk mempertegas saja bahwa tidak semua orang-orang besar mempunyai kedudukan yang sama dan kewenangan untuk bersama-sama Raja atau Sultan menyerahkan atau menganugerahkan sebidang tanah kepada pengusaha perkebunan. Di Deli yang dimaksud dengan zijne betrokken rijksgrooten adalah apa yang disebut dengan Datuk Empat Suku, yakni Sepuluh Dua Kuta, Sunggal, Sukapiring dan Senembah.  Dengan demikian kejuruan Percut, Denai, Bedagai dan lainnya tidak termasuk dalam zijne betrokken rijksgrooten.[59]

Penyebutan woeste gronden yang terdapat dalam tiga model akte terdahulu dihilangkan dan diganti dengan gronden tanpa embel-embel woeste. Tentang hal ini, tidak ada diulas secara jelas dalam penjelasan pasal tersebut. Labberton hanya menyatakan bahwa penyebutan woeste gronden hanyalah suatu kuasi (kepura-puraan) saja yang akan menimbulkan problema, apalagi jika batas-batas konsesi itu berdekatan dengan kerajaan lain. Apalagi hal ini akan menimbulkan banyak kerugian dari sisi waktu dan pikiran jika terjadi sengketa tentang itu.[60] Namun menurut Bool, Usulan perubahan itu berasal dari Residen belahan Barat Borneo terkait konflik-konflik mereka dengan orang-orang Dayak di sana.[61] Satu kata lainnya yang hilang dari kalimat pembuka konsesi di atas adalah bouw, satu ukuran setara dengan 0.7 Ha. Dalam penjelasan dikatakan bahwa penamaan ukuran bouw tidak dikenal di semua wilayah di Hindia Belanda, namun untuk wilayah Sumatera Timur ukuran itu tetap dipakai.

Dalam prakteknya memang pihak onderneming  mengalami kesulitan untuk mencari tanah tak terpakai, khususnya untuk ditanami tanaman tembakau. Tanah-tanah yang diyakini sebagai tanah-tanah terbaik diantara Sei Wampu dan Sei Ular sudah mulai dan hampir dieksploitasi untuk kepentingan penanaman tembakau. Setidaknya ada 148 perkebunan tembakau di tahun 1884 (paling tinggi selama ekspansi tembakau di Pantai Timur Sumatera)  dan secara perlahan menyusut menjadi 120 pada tahun 1896 dan menjelang tahun 1958 hanya tinggal 26 perkebunan tembakau yang tersisa di wilayah ini. Peralihan pada tanaman-tanaman lain seperti karet, teh dan kelapa sawit bisa dikatakan mulai digiatkan pada awal pembuka abad ke 20.[62]

Menarik untuk selanjutnya melihat isi pasal 9, yang memperbincangkan soal tanah jaluran. Ayat 1 nya mengatakan bahwa Selain dari tanah yang dimaksud dalam pasal 4 (tanah cadangan) dan pasal 7 (tanah kampung), pihak perkebunan akan menyerahkan tanah yang telah dikerjakannya dan tidak akan diusahakannya pada tahun berikutnya, sebagian kepada rakyat  yang tinggal dalam perbatasan kebun untuk selama satu panen untuk ditanami padi dan jagung, atau kedua jenis tanaman itu sekaligus, sedangkan perkebunan untuk itu tidak boleh memungut retribusi.

Catatan kita yang pertama adalah bahwa pasal ini membuat suatu syarat di bawah kondisi bahwa penyerahan itu baru akan terjadi jika perkebunan tidak akan mengusahakannya pada tahun berikutnya. Syarat ini setidaknya menunjukkan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi dari pemerintah dan pengusaha perkebunan atas beban dan persoalan-persoalan yang dialami dalam hal tanah jaluran ini.

De Ridder menyebutkan 3 masalah utama yang dihadapi sehubungan dengan persoalan tanah jaluran (djaluranvraagstuk) yakni: Pertama, Areal tanah jaluran itu terbatas, sehingga tanaman yang bisa ditanami oleh penduduk menjadi lebih kecil; selain itu akibat krisis, areal tembakau-tembakau yang ditanami diperkecil. Kedua, Dari pihak pemerintah diusulkan untuk membagi dua kelompok pemegang hak jaluran, yakni mereka-mereka dan keturunan-keturunan orang yang pada saat penyerahan konsesi telah terlebih dahulu ada/tinggal di kawasan konsesi dan yang kedua, kelompok yang setelah penyerahan konsesi, berdasarkan aturan-aturan dari rakyat penunggu dianggap sebagai orang-orang yang memiliki hak atas tanah jaluran. Kesulitan datang, jika orang-orang pada kelompok kedua ini ingin merubah pembagian yang sudah diputuskan sebelumnya, yang jelas-jelas itu tidak bisa dilakukan. di dalam pembagian itu; Ketiga, jauh sebelumnya, pemegang konsesi telah mempunyai pendirian akan memberikan jaluran kepada pemegang hak jaluran saja (namun dalam prakteknya berbeda), seperti tertera dalam kontrak konsesi; sebab dengan dihapuskannya poenale sanctie dan menurunnya upah kuli, jaluran menjadi pengikat untuk mempertahankan tenaga kerja pribumi (Meer dan vroeger stellen zich de concessionarissen op het standpunt, slechts aan djaloerans ter beschikking van de rechthebbenden af te staan, wat contractueel is bedongen; omdat met afschaffing der poenale sanctie en de sterk verminderde koeliloonen, de djaloerans een voornaam bindmiddel vormen voor het behoud der inlandsche werkkrachten).[63]

Kelak di tahun 1920, sebuah peraturan lagi dikeluarkan (Peraturan Nolen) dengan menyusun pengelompokan dalam perolehan tanah jaluran. Kelompok pertama (kelompok A) mencakup orang-orang dari garis keturunan laki-laki yang tinggal di daerah konsesi sebelum konsesi diberikan; Kelompok B mencakup kepala-kepala keluargayang lahir di luar daerah konsesi dan kemudian menetap di dalam tanah konsesi, atau kepala-kepala keluarga yang meskipun lahir di daerah konsesi tetapi merupakan keturunan dari seseorang yang menetap di kawasan konsesi setelah penandatanganan konsesi; Kelompok C mencakup orang-orang yang tidak memiliki hak atas tanah, tetapi memperoleh hak khusus dalam bentuk jaluran. Tahun 1921, dari 4000 jaluran yang diberikan, lebih dari stengahnya diberikan kepada pemilik hak, 600 diberikan kepada pemimpin, 900 disewakan kepada penduduk, sementara sisanya disediakan Cuma-Cuma atau disewakan kepada buruh dan pengurus perkebunan.[64]

Ketidakjelasan dalam praktek (atau perluasan kategori)  tentang siapa yang dianggap opgezetenen seperti yang disebutkan di atas menginspirasi Kerapatan Serdang untuk menyusun satu rumusan baru dari terminologi ini dan semenjak 1924 rumusan ini dipakai oleh seluruh kesultanan yang ada di Pesisir Timur ydan dipakai sebagai pedoman penentuan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah di wilayah konsesi. Secara lengkap opgezetenen atau Rakyat Penunggu itu diartikan dengan : Pertama, Orang-orang jang lebih doeloe soeda beroemah tangga dimana tanah jang toewan soedagar bekin contract. Kedua, Doeloenja dia beroemah tangga di tanah itoe, kemoedian dia pinda di lain keradjaan, sesoedah toewan soedagar ambil itoe tanah, dia datang kombali, beroemah disitoe dengan anak bininja. Ketiga, Anak Raajat yang terseboet di nomor 2 (kedua) ada dngan roemah tangganja. Keempat,  Raajat djadjahan Sri Padoeka Tengkoe Sulthan jang datang derri lein tempat, sesoedahnja tanah toewan soedagar ambil mendirikan roemah sendiri. Kelima, Raajat asal anak negeri  moelanya tinggal di perwatasan lain kebon, djadjahan Serdang djuga; kemoedian dia pindah di tanah itoe sesoedahnja toewan  kebon bikin contract. Keenam, Raajat asal derri  lain negri (lain keradjaan) sabeloenja toewan soedagar ambil contract berpindah ia kasitoe membawa anak bini, dan kemoedian anaknja itoe bernikah serta beroemah sendiri poela. Ketujuh, Raajat penoenggoe punja djanda, jang ada roemah sendiri , jang punja anak. Kedelapan, Raajat laki-laki jang kematian bini, ada roemah tangga dan anak yang dipiaranja. Kesembilan, Asal Batak Keadjaan Serdang laki-laki dan perampoewan doeloenja belum kawin, sesoedahnja tanah contract makanja poenja kawin dan beroemah sendiri. Kesepuluh, Raajat jang berdoedoek , mempunjai doea rumah, kadoeanja itoe  ada mempunjai bini , jang satoe rumah masoek di dalam perhinggan tanah itoe dan jang satoe di tempat lain djauh, maka dapat pada bini jang toeha.[65]

Penutup

Perbedaan-perbedaan penerapan apa yang diatur dalam model akte konsesi dan dalam prakteknya boleh jadi juga disebabkan ketidakjelasan karakter model akte konsesi yang disusun. Orang akan bertanya apakah akte konsesi tersebut merupakan atau menimbulkan persoonrecht (hak perseorangan) dalam bentuk huurrecht (hak sewa menyewa) atau zakelijkrecht (hak kebendaan) dalam formasi erfpacht (hak guna usaha). Mengakhiri elaborasi atas semua model akte konsesi yang dipaparkan di atas menarik  untuk memahami lebih luas karakter dari model landbouwconcessie dalam perspektif hukum perdata (Barat), semata karena apa yang diturunkan dalam semua moel konsesi tersebut dikonsep oleh Pemerintah Hindia Belanda dan usulan, komentar dan pengalaman lapangan yang dialami oleh para pengusaha perkebunan.

Secara analog Lekkerkerker[66] mencoba menurunkan beberapa karakteristik akte konsesi baik dalam perspektif persoonrecht maupun zakelijkrecht. Beberapa ciri zakelijkrecht  dari sebuah konsesi bisa dilihat dalam: a. Tenggang waktu berlakunya hak (De duur van het recht), sama seperti erfpacht, jangka waktu konsesi paling lama adalah 75 tahun; b. Makna dari hak yang diberikan (strekking van het recht), bahwa baik konsesi maupun erfpacht ditujukan untuk pembukaan usaha pertanian atas tanah-tanah yang tidak diusahakan (woeste gronden); c. Sejarah Hak (de geschiedenis van het recht). Di tahun 1870, umum menjadi sadar bahwa jika konsesi dipertahankan sebagai persoonlijkrecht maka tidak akan mungkin bisa membawa modal (kapital) Eropa ke tanah jajahan di Hindia. Lebih dari itu, dalam pandangan para pengusaha kebun,  dalam waktu singkat kewenangan-kewenangan daerah swapraja  akan dialihkan kepada pemerintahan Hindia Belanda (pemerintahan gubernemen); d. Harga sewa tanah (acil tanah) yang rendah. Ini sama seperti canon (pajak tanah sewa) yang juga rendah dan malah untuk tahun pertama tidak dibayar secara menyeluruh; e. Kewenangan yang luas yang diberikan kepada pengusaha perkebunan (pemegang konsesi), yang kelihatannya sama seperti pemegang erfpacht; f. Fakta , setelah pemberlakukan erfpachtsordonantie tahun 1919, untuk wilayah pemerintahan swapraja di luar Jawa dan Madura, dimana konsesi perkebunan ditempatkan sebagai het zakelijk erfpachtsrecht.

Pada sisi yang lain sejumlah ciri dari persoonlijksrecht  dalam konotasi kontrak sewa menyewa bisa juga dilihat dalam akte konsesi, yakni: a. Bahwa konsesi perkebunan tidak bisa dibuka/diadakan di atas cara-cara yang dikenal dalam hak-hak kebendaan; b. Kebanyakan penulis menerima pandangan bahwa pihak-pihak dalam kontrak konsesi tidak bisa sewenang-wenang menggunakan hak-hak kebendaan di luar dari undang-undang yang ada tanpa  pengumuman yang mengaturnya;c. Seluruh atau sebahagian hak tidak bisa dipisahkan tanpa izin (persetujuan),  demikian juga dalam sewa kembali atau menyewakan kepada orang orang lain (pasal 1559 BW); d. Pembayaran sewa tanah tidak dianggap sebagai bagian integral dari konsesi perkebunan, seperti yang berlaku dalam sewa tanah dalam erfpacht. Dalam bentuk  konsesi-konsesi awal, malah sewa tanah tidak dibebankan; e. Pemerintah Hindia Belanda juga menganggap bahwa kontrak konsesi adalah persoonlijksrecht (tertulis dalam Keputusan Pemerintah 19 September 1884), dimana dalam Keputusan tersebut dinyatakan bahwa dalam konsesi tidak dikenal (tidak dikutip) pajak bumi dan bangunan (verpondingbelasting), seperti yang dikenal dalam hak-hak kebendaan.

Di dalam prakteknya terlihat bahwa pemegang konsesi  sebagai pemegang hak kebendaan, mempunyai posisi yang zelfstandig (mandiri/otonom) terhadap pihak ketiga, namun dalam kacamata persoonlijk, pemegang konsesi harus mendapatkan izin pemerintahan swapraja (kesultanan) dalam perubahan apapun tentang kontrak, jika tidak ia akan dianggap telah melakukan perbuatan wanprestatie. Sebagai pemegang persoonlijksrecht, pemegang konsesi tidak bisa seenak hati mengalihkan hak yang ada padanya; termasuk juga membenankannya dengan jaminan hypotheek.

Pelzer menunjukkan bahwa kondisi yang mengambang ini lebih disebabkan oleh motif dari para pengusaha perkebunan untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya atas kenyataan bahwa ada ketidakcocokan antara konsesi-konsesi dalam hubungan dengan hak-hak agraria pribumi. Kecaman terhadap hal ini semakin menjadi-jadi pada masa politik etik, yang melihat konsesi-konssesi tersebut sebagai alat yang licik yang membuat onderneming-onderneming mampu memperoleh tanah-tanah yang luas, selanjutnya mengaduk-aduk hak-hak agraria rakyat, sehingga selalu dianggap sebagai sumber ketidakadilan bagi para petani yang tak berdaya. Jika raja-raja itu tidak melindungi kawula mereka sendiri, bagaimana seorang pengusaha onderneming asing dapat diharapkan memperhatikan perhatian yang sungguh-sungguh bagi kesejahteraan kawula raja-raja. Pernyataan Pelzer tersebut kemudian ditutup dengan sebuah kalimat yang tegas: “ Memang lebih mudah membuat hukum daripada menegakkan semangat hukum.”[67]

25 Ramadhan 1432 H/25 Agustus 2011

eikhsan@indosat.net.id


[1] Lihat lebih jauh Besluit No.4. yang dikeluarkan di Batavia, 27 Januari 1877.Surat tersebut ditandatangani oleh Sekretaris I Pemerintah.

[2] Ibid.

[3] Labberton, K.van Hinloopen. De Indische Landbouwconcessie. Amsterdam, De Bussy, 1903. Hal 24. Beberapa persyaratannya adalah: a.kontrak dilakukan setelah ada persetujuan dari pemerintahan setempat; b. Sejauh mungkin dikelola/diurus sendiri; c. Tidak boleh dialihkan tanpa persetujuan pemerintah; d. Keberadaan penduduk yang berdiam di konsesi tersebut tidak dibenarkan; e. Para buruh yang dipekerjakan diperoleh dengan sukarela..

[4] Mahadi menuliskan Bab VI dengan judul  “Tanah untuk Rakyat” dalam bukunya Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975). Bandung,Penerbit Alumni, 1978,  untuk mengurai kaitan antara konsesi  perkebunan dan hak-hak tanah rakyat. Sekurangnya ada 100 halaman yang dituliskannya dalam buku tersebut. Selanjutnya lihat Mahadi, Op.cit. Hal. 80 s/d 181.

[5] Van Anrooy, Hymans, Tijdschrift  van het Bataviasche Genootschap: 1885, Hal.272.

[6] Koreman, P.J in het verslag van Indische Genootschap,  8 Januari 1901: Hal.7. Cukup menarik juga dalam penjelasan pasal 1 model akte ini dikatakan bahwa penyebutan nama Sultan beserta orang besarnya adalah sebagai upaya untuk membangkitkan/meningkatkan (opwekken) marwah/sensitifitas (gevoeligheid) dari Sultan dan orang-orang besarnya itu (para bangsawan).

[7] Van Anrooy, Loc.cit.

[8] Surat Dewan Hindian Belanda tertanggal 5 Januari 1876 No.154

[9] Pelzer, K.J. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria.  Jakarta, Sinar Harapan, 1978: Hal. 92-93

[10] Dentz, Henri.  Beschowingen en Gegevens op Handels en Financieel Gebied over het Jaar 1901  (oogstjaar 1900).

[11]  1 pak  setara dengan 80 Kg.

[12]  Nilai dalam Gulden Belanda (ƒ)

[13] Mahadi menerjemahkannya dengan Tanah Hutan. Pelzer menerjemahkannya dengan tanah tak terpakai (waste land). Lihat Mahadi, Op.cit. Hal.86. Pelzer, K. Ibid. Hal. 76/91.

[14] Mahadi, Ibid. Hal.87

[15] Lekkerkerker, J.G.W. Concessie en Erfpachten ten behoeve  van Landbouwondernemingen in de Buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den Haag, JB.Wolters, 1928. Hal.112

[16] Lekkerkerker, J.G.W. Op.cit. Hal. 71.

[17] Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.

[18] Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch- Indie. Amsterdam, 1924:Hal.294.

[19] Bool, H.J. De Landbouwconcessie in de Residentie Sumatra oostkust van Sumatra. Tanpa tahun, Hal.53.

[20] Veth, P.J. Het Landschap Deli. TNAG II, 1877: Hal. 152-170. Perret, D. Op.cit. Hal.199.

[21] Pandecten van Adatrecht. IX, Hal.752. Walaupun , Pelzer mengungkapkan juga bahwa pada tahun 1877, di Kerajaan Langkat ada peraturan bahwa hutan belukar tidak bisa dianggap sebagai tanah yang tak terpakai (woeste grond). Lihat Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.

[22] Mahadi, Op.cit. Hal.191.

[23] Mahadi, Ibid.

[24] Pasal 9 berbunyi, kepada penduduk setiap saat diberikan kebebasan di bagian tanah yang diserahkan kepada pengusaha tapi belum dibuka untuk mengumpulkan rotan dan produk hutan lainnya.

[25] Buffart, op.cit. hal. 6.

[26] Bremen, Jan. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke 20. Jakarta: PT.Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. 1992: Hal.30.

[27] Tentang karakter konsesi yang bersifat mendua ini akan diurai nanti dalam halaman-halaman berikutnya.

[28] Surat Residen Sumatera Timur kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda 14 Januari 1878.

[29] Surat Residen Sumatera Timur, Ibid.

[30] Lihat saja misalnya Pelzer, K. , yang menuliskan dengan tamsilan, sebenarnya pemerintahdi Borneo pada saat yang sama memberikan 21 bau bagi tiap-tiap keluarga. Dan di halaman lain ia menuliskan “ pengusaha onderneming  dapat mengelakkan penyerahan tanah (empat bau) yang sungguh-sungguh kepada petan.” Lihatlah Pelzer, K. Op.cit. Hal.97-98.

[31] Pelzer, K. Ibid. Hal.97.

[32] Stoler, Ann, Op.cit. Hal.23. Pandangan yang salah datang dari Agsutono dkk yang sebaliknya mengatakan      ahwa diberlakukannya akta  konsesi semakin mengubah cara bertani orang Melayu yang menetap menjadi berpindah-pindah sesuai dengan panen embakau. Lihat Agustono, Budi dkk. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu vs PTPN II. Akatiga dan Wahana Informasi Masyarakat. 1997: Hal.38.

[33] Surat Residen Sumatera Timur, Loc.cit.

[34] Bandingkan dengan Sinar, T Luckman yang menyebutkan terminologi opgezetenen ini baru ditasbihkan pada model akte 1884. Sinar, T. Luckman. Bangun dan Runtuhnya..dst Op.cit. Hal.318. Etimologi, kata opgezetenen berasal dari kata kerja opzetten (zette op; opgezet) – sebuah kata kerja yang bisa dipisahkan (scheidbaar werkwoorden) – yang salah satu artinya adalah  “mendirikan” atau “memasang”. Dengan mengimbuhkan akhiran enen dimaksudkan kepada subjek atau orang-orang yang telah mendirikan atau memasang sesuatu. Dalam konteks ini dianalogikan telah berada atau telah ada dan mengusahakan tanah sebelum konsesi diikat antara Sultan dan para pengusaha onderneming. Lihatlah, Moeman Susi dan Hein Steinhauer. Kamus Belanda Indonesia. Jakarta, KITLV dan PT Gramedia Pustaka Utama, 2005: Hal. 756.

[35] Mahadi, Op.cit. Hal.99.

[36] Koreman, Pandecten I, 12, De Gouvernementskoffiecultuur ter Sumatra Westkust, Het Maleische Belangstellingstelsel en de Adat,  1900.

[37] Pernyataan ini agak berbeda atau mungkin bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Kalo bahwa dalam akte konsesi tahun 1877 dan 1878 tersebut diatas, telah terdapat perlindungan hukum dan pengakuan adanya hak-hak ulayat atas tanah suku Melayu dan Batak Karo. Lihat, Kalo, Syafruddin. Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat versus PTPN II dan PTPN III di Sumatera Utara. Medan, Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana Sumatera Utara, 2003: Hal.80.

[38] Stoler menulis: “This parasitic sovereignty and long history of contact and cooperation with foreign traders made the Malay Sultans eager and accomodating allies when it came time  to establish European rule. Stoler,  Ann, Op.cit. Hal.22.

[39] Surat Departemen Kehakiman No.4666, tertanggal 20 Agustus 1878 yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda

[40] Surat Residen Sumatera Timur No.585, tertanggal 24 Maret 1878.

[41] Lekkerkerker, Op.cit. Hal. 65.

[42] Bool.H.J. Op.cit. Hal. 51.

[43] Bool, H.J. Ibid. lihat juga surat yang diajukan oleh surat planterscomite  tertanggal 23 Desember 1883 yang diajukan kepada Residen Sumatera Timur, yang menambahkan tafsir untuk ayat tersebut dengan kalimat hetzij daar later binnen  geboren en op de gereserveerde kamponggrond geveistigd.

[44] Dua jenis tanah ini ternyata jarang diterapkan dalam prakteknya. Moyenfeld menyebutkan kedua jenis tanah ini (tanah penukar/pengganti 4 bau dan tanah kampong) tak bisa dipenuhi karena mengancam kemungkinan ekspansi lahan tembakau, selain itu ternyata penduduk lebih menyukai jaluran yang siap dibuka di luar penyediaan hutan yang siap tanam. Lihatlah MvO H.D. Moyenfeld, Controleur van Beneden Deli, 9 April 1934.

[45] Antara lain lihatlah, Noeh, Afnawi. Op.cit. Hal. 138 (bahwa tanah rabian, tanah perkampungan, tanah hutan lindung dan tanah jaluran adalah tanah yang wajib disediakan oleh pihak perkebunan dan hal ini sesuai dengan hukum adat rakyat penunggu). Agustono, Budi, Agustono, Op.cit. Hal.41 meyatakan bahwa akta konsesi 1884 tidak saja memasukkan hak-hak rakyat, melainkan juga tanah jaluran.

[46] MvO  J.A.Netz, Controleur van Boven Deli, 17 Mei 1924. Pelzer, K. Loc.cit.

[47] MvO J.Reuvers, Controleur van Beneden Deli, 15 maret 1926

[48] Kelak melalui surat keputusan Sultan Deli Nomor 80, tertanggal 1 Juli 1921, ditetapkan bahwa para kawula Sultan tidak boleh menyewakan lebih dari 25% dari tana jaluran yang diperolehnya.

[49] Pewarta Deli 4 Pebruari 1920.

[50]  Pewarta deli 9 Juni 1920, Padahal dalam prakteknya para penghulu menerima satu lahan ekstra karena posisinya sebagai pimpinan dan tugas tambahan dalam mengelola pengerjaan jaluran tersebut. Lihat, MvO G..J.D. Kok, Op.cit. Hal.87.

[51] MvO C..E. Meier. Controleur Langkat, 28 Juli 1931. Hal.10.

[52] Mahadi, Op.cit. Hal.121.

[53] Broersma, Oostkust van Sumatra, De Ontwikkeling van het Gewest (Tweede Deel). Deveneter, Uitgave van Charles Dixon, 1922: Hal.242. Situasi terparah (krisis ekonomi) kelak terjadi juga pada kurun waktu 1931, 1932, 1933 dan 1934. Lihat Ridder, Op.cit. Hal: 47.

[54] Broersma, Oostkust van Sumatra, De Ontluiking van Deli.Batavia, De Javaasche Bookhandel & Drukkerij, 1919. Hal: 118.

[55] Ridder, Op.cit. Hal: 47-48. Penurunan jumlah panenan dan nilai harga padi disebabkan karena terjadinya penyempitan tanah jaluran dan penurunan harga padi saat itu.

[56] Ini adalah pandangan Lekkerkerker, Op.cit. Hal. 70.Padahal letterlijk pasal 14 tidak menuliskan Europeesch Bestuur, melainkan kata het Bestuur saja.

[57] Labberton, Ibid. Hal.71.

[58] Sultan, Panembahan, Soetan dan lain-lain

[59] Wilayah Suku sering disebut urung, yang menurut Perret meliputi tanah di antara dua aliran sungai, dari pesisir sampai ke bagian atas dari Dusun. Tanah itu terbagi dalam tiga bagian yang berurutan dari pesisir ke arah gunung, masing-masing dinamakan luak, sinuan bungan  dan  sinuan gambir. Luak  terdiri dari sekelompok kampung yang berada langsung di bawah kekuasaan wakil sultan (salah satu orang besar), sebagaimana di Deli, Serdang dan Langkat. Setiap Sinuan terdiri dari sejumlah perbapaan (gabungan kampung). Perbapaan terdiri dari sebuah kampung induk (kuta  atau perbapaan) yang dikepalai oleh seorang pemimpin (perbapaan) dan kampung-kampung yang terpencar dari kampung induk ini, dan masing-masing berada di bawah kekuasaan seorang penghulu kitik. Lihat Husny, Op.cit. Hal. 196; Perret, Op.cit. Hal 143.

[60] Labberton, Op.cit. Hal.85

[61] Bool, H.J. Op.cit. Hal.26.

[62] Pelzer K. Op.cit. Hal.73.

[63] De Ridder, Op.cit. hal.47.

[64] MvO Pronk, Beneden Deli, 1923:Hal.34.

[65] Bool. H.J. Op.cit. Hal. 55. Pada kenyataannya. Pekebun tidak pernah merasa terikat oleh peraturan ini. Paling-paling peraturan tersebut mereka anggapa sebagai pedoman. Pelzer, K. Op.cit. Hal.81.

[66] Lekkerkerker, Op.cit. Hal 68-69.

[67] Pelzer, K. Op.cit. Hal.113.

Share Post Ini :

Twitter
Telegram
WhatsApp

Artikel Dan Berita Terkait

Gandeng Empat Kampus, FH UB Perluas Jejaring Kajian Sosio-legal di Indonesia

Oleh: Agus Sahbani Bertempat di auditorium Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang pada 10...

Memahami Ulang Ragam Pendekatan Riset Hukum

Oleh: Normand Edwin Elnizar Secara garis besar, pendekatan riset hukum terbagi dalam dikotomi yang bersifat doctrinal dan...

LOG IN

Belum Join Member? Klik tombol dibawah